HousingEstate, Jakarta - Banjir yang terjadi setiap tahun di Jakarta tidak dapat dihilangkan tapi hanya bisa dikurangi. Ada lima langkah yang dapat ditempuh, yaitu revitalisasi seluruh drainase, normalisasi sungai, optimalisasi waduk dan situ di Jakarta, audit tata ruang, dan edukasi masyarakat. Selama ini ada kesalahan cara berpikir (paradigma) dalam menghadapi hujan dan banjir. Hujan dianggap musibah sehingga air limpasan dibuang secepatnya ke saluran kemudian ke laut. “Mestinya air hujan itu sebanyak-banyaknya diresapkan ke tanah untuk tabungan kita di musim kemarau, sisanya baru dibuang,” kata Nirwono Yoga, pengamat perkotaan dan Koordinator Peta Hijau Jakarta.
Ada dua persoalan utama yang menjadi penyebab banjir di Jakarta, tata ruang yang salah dan banjir lokal akibat buruknya saluran drainase. Contoh kesalahan tata ruang tampak dari banyaknya pemukiman di cekungan, daerah tangkapan air, dan bantaran kali. “Kalau banjir lokal karena hujan sebentar itu contoh buruknya drainase kota,” tambahnya. Untuk itu seluruh drainase makro dan mikro termasuk saluran di depan rumah harus direvitalisasi, terkoneksi, dan tidak ada yang mampet.
Nirwono mengakui normalisasi sungai di Jakarta bukan perkara mudah. Itu baru bisa dilaksanakan apabila pemerintah berhasil merelokasi masyarakat dari bantaran kali. Soal waduk pemerintah tidak perlu membuat yang baru. Pasalnya, di Jakarta ada 78 situ dan waduk yang menjadi bagian dari 204 situ dan waduk di seluruh Jabodetabek. Kalau itu direvitalisasi banjir di Jakarta akan berkurang secara signifikan. Karena itu Nirwono sangat menyesalkan banyaknya waduk dan situ yang dialihfungsikan menjadi perumahan.
Di bidang tata ruang audit perlu dilakukan dari hulu hingga hilir. Tindakan itu tidak pernah dilakukan. Padahal antara perencanaan di daerah hulu dengan di hilir harus berkesinambungan dan bersinergi. Audit itu juga untuk memastikan sejauh mana kaveling yang dilakukan perkerasan baik di perumahan dna non-perumahan tetap bisa meresapkan air. Tidak kalah penting melakukan rekayasa sosial, misalnya mengedukasi warga agar tidak membuang sampah ke saluran air dan sungai, gerakan membuat sumur resapan mandiri, dan mendorong warga untuk berpindah secara sukarela dari bantaran kali.
Menurut Nirwono, apabila kelima langkah itu dilaksanakan konsisten tiga tahun ke depan hasilnya akan terlihat. Area yang tergenang bisa 10 – 15 persen, yaitu daerah-daerah yang memang menjadi tempat air, misalnya waduk dan daerah tangkapan air yang sekelilingnya berupa ruang terbuka hijau (RTH). “Kalaupun airnya meluber tidak menggenangi pemukiman,” terang Nirwono. Yudis