HousingEstate, Jakarta - Pemerintah diharapkan dapat mengalokasikan anggaran minimal 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk pembiayaan infrastruktur di berbagai daerah guna menunjang laju pertumbuhan tingkat perekonomian Indonesia sebesar 6,6 persen.
“Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi diperlukan pembiayaan pembangunan infrastruktur minimal 5 persen PDB,” kata Kepala Pusat Kajian Strategis Kementerian Pekerjaan Umum Guratno Hartono dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Menurut Guratno Hartono, dengan demikian maka pada saat ini dibutuhkan sekitar Rp2.095 triliun untuk pembiayaan infrastruktur.
Namun kenyataannya, ujar dia, masih terdapat kesenjangan pembiayaan infrastruktur untuk tahun 2014 yaitu sebesar Rp225 triliun.
Sedangkan khusus untuk infrastruktur pekerjaan umum dan permukiman, diperkirakan terdapat kebutuhan investasi 2010-2014 sebesar Rp419 triliun.
“Pada tahun 2014 saja diketahui bahwa total kebutuhan pendanaan infrastruktur PU dan permukiman adalah sebesar Rp105,84 triliun dan pemerintah hanya mampu membiayai sebesar Rp84,15 triliun atau 79 persen sehingga masih terdapat gap pendanaan sebesar Rp5,1 triliun,” ujar Guratno.
Ia berpendapat, adanya gap pendanaan infrastruktur mengisyaratkan betapa pentingnya upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka mendorong peran swasta dan badan usaha untuk dapat berkontribusi dalam pembiayaan infrastruktur.
Namun demikian, lanjutnya, pelibatan pihak lain di luar pemerintah dalam pembiayaan infrastruktur menyebabkan perlunya kerja sama yang sinergis dan terintegrasi antarpelaku sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.
Sementara itu, Kepala Badan Konstruksi Hediyanto Husaini mengatakan, dengan adanya keterbukaan pasar jasa konstruksi di ASEAN pada 2015, Indonesia mesti bersiap menghadapi persaingan dari pelaku konstruksi negara besar seperti Jepang, Korea, dan Tiongkok.
Untuk itu, Hediyanto mengimbau agar semua bagian masyarakat jasa konstruksi memperbaiki atau meningkatkan kualitas konstruksi di Indonesia.
Sebelumnya, pelaku jasa konstruksi di Indonesia diharapkan dapat menerapkan “green construction” guna dapat mendirikan bangunan yang ramah lingkungan dan berkeselarasan dengan alam di sekitar bangunan tersebut.
“Konsep ‘green construction’ mampu mereduksi terjadinya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh berbagai aktivitas pembangunan,” kata Kepala Badan Pembinaan Konstruksi Hediyanto Husaini di Jakarta, Selasa (11/3).
Menurut dia, berbagai pihak mesti menyadari bahwa sebagian besar proyek infrastruktur mengakibatkan perubahan kondisi alam sehingga diperlukan upaya inovasi yang lebih untuk mengurangi dampak itu.
Ia mengakui bahwa penerapan “green construction” rata-rata lebih mahal 10 persen dibandingkan dengan aktivitas pembangunan yang menerapkan metode-metode konvensional.
“Hal ini karena kita terbiasa mengukur biaya pembangunan infrastruktur untuk periode yang relatif pendek dan tidak memperhitungkan biaya berdasarkan siklus hidup yang memberikan perspektif jangka panjang,” katanya. Antara