HousingEstate, Jakarta - Nama Joe Kamdani, pemilik PT Datascrip, memang tidak terlalu akrab di telinga konsumen perumahan. Tapi, ke depan Anda boleh jadi akan makin banyak memakai produk yang dipasarkannya, karena seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi, kebutuhan kantor dan rumah makin sulit dibedakan.

Produk yang dulu hanya dipakai di kantor, kini digunakan pula di rumah: penjepit kertas, stapler, marker, printer, kertas, mesin faks, sampai personal computer (PC) atau notebook. Bahkan, kini kantor tak mesti di luar rumah. Rumah bisa jadi kantor, kantor sekaligus rumah. Istilah kerennya SOHO (small office home office).

Karena itu menarik mengenal Joe yang 36 tahun konsisten memasarkan aneka keperluan kantor melalui Datascrip. Produk yang dijajakannya sangat komplit dan beragam, mengikuti perkembangan teknologi. Jadi, Anda cukup datang ke satu perusahaan untuk mendapatkan semua kebutuhan bisnis dan kantor.

Joe dilahirkan di Bogor sebagai anak pertama dari 11 bersaudara. Ayahnya seorang pegawai negeri rendahan dengan istri ibu rumah tangga biasa. Saat berusia tiga tahun, keluarganya pindah ke Kwitang, Jakarta Pusat. Joe sempat kuliah di FHUI namun drop out satu tahun kemudian karena ketiadaan biaya.

Masa kecil dan remaja Joe memang sangat sederhana. Apalagi, saat itu suasana negara tidak normal. Ia pernah menangis di depan sebuah toko minta dibelikan mainan kereta api. Namun, ayahnya tak mampu membelikanya. Karena itu kemudian ia membuat sendiri hampir semua mainannya memanfaatkan kertas, karton, kotak korek api, kaleng, kelos benang, dan lain-lain.

Sederhana dan jujur

Kesederhanaan hidup dalam kejujuran yang diajarkan orang tuanya membentuk kepercayaan dan harga diri Joe. Ia ingin selalu mencapai sesuatu yang lebih baik: makan lebih baik, hidup lebih baik, dan bergaul lebih baik atas usaha sendiri, tanpa menipu dan mengharapkan fasilitas dari siapapun.

Ia sangat terinspirasi dengan lirik lagu Tony Bennet “From Rags to Riches” yang bercerita tentang orang yang tak punya apa-apa (rags) tapi merasa kaya (riches) dengan apa yang dimilikinya. “Lirik lagu itu seakan potret, romantisme, pembentukan karakter, dan perjalanan hidupku,” katanya.

Ia juga sangat terkesan dengan kucing panjang akal dalam “Kucing Bersepatu Lars” yang didongengkan guru SD-nya di Cikini, Jakarta Pusat. Dengan latar belakang seperti itu, tidak aneh ia memutuskan keluar dari sebuah perusahaan Inggris untuk menjalani profesi mandiri: salesman lepas alat tulis kantor. Kenapa salesman?

“Karena saya hanya anak pegawai rendahan, tidak punya pendidikan tinggi, tidak punya relasi, tidak pula modal finansial. Jadi, mana mungkin punya visi gede-gede. Yang pertama terpikir, bagaimana bisa makan. Kalau saya anak pengusaha, presiden, atau gubernur, visi saya mungkin lebih luas,” jawabnya.

Profesi salesman men-drill-nya menghidupi diri sendiri secara disiplin. Kalau tidak, ia tak akan berhasil. Dari situ kemudian cakrawala menjadi pengusaha terbuka. Bukankah pengusaha orang yang berupaya hidup dari hasil upayanya sendiri? Akhirnya, setelah 10 tahun menjadi salesman, pada 10 Agustus 1969 Joe membuka toko alat tulis kantor dengan nama PD Matahari.

“Matahari itu memberi energi, cahaya, dan kehidupan. Kalau tak ada matahari gelap, orang tidur, nggak ada kehidupan. Matahari juga terkesan maskulin. Lawannya bulan yang romantis dan feminin,” katanya tentang pilihan nama itu. Lokasi tokonya sebuah rumah jelek berlantai tanah dan dinding geribik (bambu) di Jl Pacenongan 45, Jakarta Pusat. “Saya beli murah karena rumahnya berhantu,” ujarnya. Rumah itu kemudian ia bangun ruko satu lantai.

Laman: 1 2