HousingEstate, Jakarta - Menyebut Cinere kita akan teringat wilayah di selatan Jakarta yang kini menjadi salah satu kantong permukiman kelas menengah di Jabodetabek. Belasan perumahan berikut fasilitas komersial, pendidikan dan kesehatannya memadati daerah di wilayah Depok yang dulu kebun dan empang itu. Banyak yang suka Cinere karena selain dekat dengan Jakarta, lingkungannya juga masih ijo.

Cinere identik dengan Megapolitan Group (MG), developer yang secara konsisten mengembangkan kawasan itu sejak 1986 sampai menjadi seperti sekarang. Sebagian besar perumahan dan fasilitas komersial di sana adalah karya MG. Developer lain seperti Grup Metropolitan dan Grup Ongko (Vila Cinere Mas) hanya berhenti di satu proyek, tidak berlanjut ke proyek berikutnya.

Dan bicara MG kita harus menyebut Melani Lowas, wanita yang membidani dan membesarkan MG sejak 1976 bersama Sudjono Barak Rimba, pria kolega ayahnya yang dinikahinya pada 1973. Ia sangat fasih bicara soal Cinere karena 19 tahun melalui MG mengembangkan sejumlah perumahan menengah atas di daerah itu. Lokasinya menyebar, tidak menyatu dalam satu kawasan yang memungkinkannya membangun sebuah Cinere City.

Bahwa dalam perjalanannya nama Sudjono lebih populer ketimbang Melani, itu lebih karena pembagian tugas di antara mereka. Sebagai chairman Sudjono menangani urusan eksternal seperti perizinan, pembebasan tanah, termasuk berhubungan dengan publik (pers).

Sedangkan Melani yang sejak awal menjadi presiden direktur mengelola urusan dalam mulai dari membuat konsep pengembangan proyek, desain rumah, pemasaran, keuangan sampai SDM. “Pendeknya, urusan manajemen dan marketing full di tangan saya,” kata mantan Ketua Umum Asosiasi Bunga Indonesia itu.

Jadi, wanita energik yang menikah pada usia 25 tahun ini bukan sekedar konco wingking atau eksekutif pajangan. Dia boleh disebut rohnya MG, meskipun secara tegas ia menyebut Sudjono tetap bosnya.

Bukan sekali dua ia bersitegang dengan sang suami menyangkut konsep proyek. “Saya ingin begini, dia mau begitu,” kata alumni sebuah Akademi Bahasa Asing di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, ini. Kadang ia juga marah bila Sudjono dinilai lamban mengurus surat-surat yang diperlukan, karena tanpa surat-surat itu ia tidak bisa berjualan.

“Tapi perdebatan semacam itu biasa. Namanya juga perusahaan, semua demi kebaikan bersama,” ujar wanita berkulit putih yang sebelum menikah bekerja di sebuah kedutaan besar di Jakarta itu. Bahkan sejak 2002 manajemen MG ke luar dan ke dalam full di genggamannya, karena Sudjono fokus mengembangkan apartemen Bellagio di Kuningan-Jakarta Selatan, berkongsi dengan Gunarso Margono (Gapuraprima Group).

Agen properti dulu

MG didirikan Melani dan Sudjono saat dunia properti belum seriuh sekarang. Agen properti juga belum ada. Menjual rumah pun sulit karena harganya masih mahal. MG pun memulai dengan menjadi agen properti untuk belajar, tidak langsung menjadi developer. Sudjono sendiri waktu itu sudah berbisnis tekstil, kain tenun dan farmasi.

melani lowas 2

Proyek pertama yang dijual ibu Jenifer, Barbara dan Alexander ini adalah kaveling gudang di Sunter-Jakarta Utara yang di-develop Grup Agung Podomoro (GAP) milik ayah Trihatma K Haliman, chairman GAP saat ini. Sukses. Ia pun ditawari memasarkan kaveling rumah di lokasi yang sama sekaligus menjadi kontraktornya.

Disusul dengan kaveling di Permata Hijau, Jakarta Selatan, milik pengusaha Jan Darmadi (Grup Setiabudi). “Saya nyetir mobil sendiri nganter klien dari kantor di Duta Merlin ke Permata Hijau,” kisah perempuan kelahiran Jakarta Kota tapi menghabiskan masa remaja di Mayestik, Kebayoran Baru-Jakarta Selatan, ini.

Dari situ ia mulai mencoba membeli tanah sendiri, membangun dan menjualnya. Dengan bantuan kakaknya, ia juga dipercaya memasarkan perumahan Billy & Moon di Kalimalang, Jakarta Timur. Sang kakak kebetulan berteman akrab dengan developernya. Berikutnya kaveling di Jakasampurna, Bekasi, dan kaveling PT Urecon di Cinere.

“Jadi, hampir semua kawasan pernah kami pegang,” kata wanita yang tinggal di Permata Hijau itu. Pada 1986 Bank Bumi Daya (kini Bank Mandiri) menawari MG mengambilalih tanah PT Urecon seluas 60 ha di Cinere. Karena sudah berpengalaman menjual rumah, tahu strateginya, Melani menyambar tawaran itu. Itulah awal MG menjadi “penguasa” Cinere.

Mulanya tanah yang kini dikenal sebagai blok G, H, dan J di perumahan Megapolitan Estate Cinere itu dijual MG dalam bentuk kaveling. Tapi, setelah diperluas dengan meminta izin lokasi baru, Melani memasarkannya dalam bentuk tanah dan rumah. “Sejak itu kami menjadi full developer,” katanya.

Sesudah itu menyusul Graha Cinere (100 ha), Griya Cinere, Griya Cinere 2, Puri Cinere (50 ha), dan Bukit Griya Cinere. Puri untuk kalangan menengah atas, graha menengah, dan bukit griya menengah sedikit ke bawah. Di Puri ia membangun Mal Cinere, satu-satunya pusat perbelanjaan modern di kawasan itu, kompleks ruko, dan lahan untuk rumah sakit Cinere. Kini lokasi itu menjadi simbol perkembangan Cinere.

Total lahan yang dikembangkan MG di Cinere hingga kini mencapai 350 ha. Stok tanah yang masih tersisa sekitar 75 ha, sebanyak 25 ha di Puri Cinere, selebihnya tersebar di Graha Cinere, Limo, dan Krukut. Melani menyebut tanah di Puri Cinere sebagai “daging” karena nilai komersialnya saat ini tertinggi di Cinere, mencapai Rp2 juta per meter persegi (m2). Ia sedang menunggu saat yang tepat untuk mengembangkan sisa lahan itu, terutama dikaitkan dengan rencana pembangunan tol Cinere – Jagorawi.

Maju

Di luar itu MG juga mengembangan Megapolitan Sentul (260 ha). Tahap awal di sini ia membangun rumah sederhana sehat (RSH). Saat ini sudah terjual 1.000 unit. Berikutnya Tatya Asri (40 ha), juga di Sentul-Bogor, dan Bogor City Square, proyek komersial seluas 17,5 ha di Kota Bogor lama yang akan diisi mal, town house, ruko, dan fasilitas life style. Belum termasuk usaha kongsi seperti Bellagio itu, serta usaha lain di bidang hortikultura, mengolah kayu dan plastik.

melani lowas 3

Visi Melani dalam mengembangkan rumah cukup maju. Pada 1990-an ketika di Jabodetabek belum ada perumahan dengan konsep cluster, ia sudah menerapkannya di Graha Cinere melalui cluster Laguna Graha. Semua fasilitas seperti kolam renang, taman, dan jogging track di cluster itu ditaruh di belakang rumah yang berjumlah 38 unit. Konsep itu didapatnya saat traveling ke berbagai negara di Eropa dan Amerika.

Ia juga concern soal desain, bukan hanya agar tidak ketinggalan tren melainkan juga demi efisiensi biaya. Untuk itu ia membentuk tim arsitek sendiri di MG dan memelototi karya-karyanya. Ia tahu apakah desain mereka market friendly atau tidak. Bila desain itu secara konstruksi boros, meskipun secara teknis bagus, ia akan memintanya diperbaiki.

Suatu saat karena risau melihat pemakaian gaya mediterania di banyak perumahan yang kurang mengindahkan iklim tropis, ia mencoba membangun rumah bergaya etnik Jawa (rumah joglo) di Tatya Asri. Tapi, akhirnya ia harus mengalah karena biaya pembangunannya mahal. Kini ia mengembangkan rumah bergaya modern di Graha Cinere dan Puri Cinere.

Seperti pengembang lain, MG juga terkena krisis ekonomi sehingga empat tahun harus “berbaring” tanpa banyak aktivitas. “Usaha berhenti mendadak. Kami tidak bisa menjual rumah karena semua bank menyetop KPR. Cash flow pun macet. Karyawan tidak puas. Itu saat-saat paling berat dalam hidup saya. Saya sempat stres,” tuturnya.

MG juga masuk ke BPPN karena Bank BHS dan Bank Mashill yang membiayainya dibekukan pemerintah. Beruntung utang MG tidak banyak sehingga semua bisa dilunasi. “Rapor kami sangat baik,” ungkap perempuan yang dulu hobi main tenis ini. Ia menambahkan, sejak awal ia dan suaminya menghindari uang bank untuk membebaskan tanah.

“Kita bisa jebol kalau pakai duit bank untuk bebasin tanah. Laku tidak laku bunga (tanah) jalan terus,” katanya. Baru pada 2001 MG menggeliat lagi dan mulai agak kencang tahun ini. Beberapa proyeknya di Cinere dan Bogor kembali aktif dipasarkan.

Kini ketiga anaknya diikutkan dalam perusahaan. Sejauh ini baru Jenifer yang agak tertarik dengan membantu di Bellagio. Lalu Alexander di Mal Cinere. Anak kedua Barbara memilih mengurus PT Melrimba Mitra yang bergerak di bidang holtikultura (anggrek bulan). “Saya berharap mereka mau meneruskan usaha yang kami rintis. Syukur kalau bisa mengembangkan,” harapnya. Hadi Prasojo, Yoenazh K Azhar

Sumber: Majalah HousingEstate

Dapatkan Majalah HousingEstate di toko buku atau agen terdekat.
atau
Unduh versi digitalnya WayangForce, Scoop & Scanie.