HousingEstate, Jakarta - Selain jenis, cara mendapatkan, dan dampaknya terhadap lingkungan, gaya hidup juga menentukan kriteria material ramah lingkungan.

Salah satu faktor yang menentukan sebuah bangunan ramah lingkungan (ecology friendly) atau tidak, adalah penggunaan material dan cara mendapatkannya. Kayu misalnya, adalah material ramah lingkungan karena bisa ditanam lagi (renewable). Tapi, bila diperoleh  dengan merusak hutan, pemakaian kayu tidak bisa disebut ramah lingkungan.

Menurut Tri Harso Karyono, guru besar bidang thermal comfort, low energy building, sustainable & green architecture, School of Architecture Fakultas Teknik Universitas Tarumanagara (Jakarta), ramah lingkungan adalah rancangan arsitektur yang minim pemanfaatan sumber daya alam seperti minyak bumi dan hasil tambang lain, dan minimal dampak negatifnya terhadap lingkungan.

Renewable, Reuse, Recycle

Kayu dan bambu adalah material ramah lingkungan karena dapat tumbuh kembali. Sedangkan logam tidak karena akan habis setelah ditambang. “Jadi, material yang digunakan harus memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria berikut ini: dapat diperbaharui (renewable), dapat digunakan kembali (reuse), dan dapat didaur ulang (recycle),” katanya.

Karena itu barang bekas termasuk logam yang dimanfaatkan ulang (reuse), atau produk hasil olahan dari barang bekas (recycle), tergolong ramah lingkungan. Sementara kayu kendati secara fisik ramah lingkungan, khusus di Indonesia penggunaannya belum bisa disebut ramah lingkungan, karena diambil dari hutan yang tidak ditanam kembali (bukan hutan lestari).

Berbeda dengan di negara-negara maju seperti Skandinavia dan New Zealand. Mereka mengambil sekaligus memproduksi kayu. “Jadi, kalau ngambil kayu sekian, ditanam lagi sekian. Terprogram. Itu baru renewable,” jelasnya.

Green building

Karena itu semen dan keramik bisa tidak ramah lingkungan, bila pengambilan bahan bakunya merusak lingkungan dan proses produksinya memakan energi besar. Lebih-lebih kalau polusi pabriknya juga banyak.  Di negara maju sekarang ada keharusan bagi setiap properti untuk menyertakan data-data penggunaan material dan konsumsi energinya.

material ramah lingkungan 2

green building) atau belum. “Mereka concern sekali karena konsumsi energi bangunan itu besar sekali, mencakup hampir 50 persen dari konsumsi energi nasional. Dengan adanya lembaga yang mengurusi, penggunaan energi itu bisa ditekan,“ kata Tri.

Indonesia mestinya juga membuat standar terukur mengenai bangunan ramah lingkungan. Standar bisa dibuat dua, untuk bangunan atau rumah baru dan bangunan atau rumah yang sudah dihuni. Penerapan penilaian akan berbeda antara bangunan atau rumah yang akan dibangun dengan bangunan atau rumah yang sudah ditinggali.

Misalnya, rumah baru dinilai antara lain dari penggunaan materialnya, seperti adanya pemakaian pecahan keramik untuk penutup lantai. “Tinggal bagaimana bahan-bahan bekas itu digunakan secara baik dengan mengindahkan kaidah-kaidah struktur dan estetikanya,“ ujarnya. Makin banyak penggunaan material bekas, makin besar konstribusinya dalam pelestarian lingkungan.

Dilihat juga penggunaan energinya, apakah semata energi berbasis fosil atau sudah ada energi alternatif seperti sel surya? Pada material tertentu seperti cat diperhatikan pula bahan bakunya, apakah mengandung zat-zat berbahaya dan beracun? “Di sini hampir tidak ada pengukuran content sebuah produk seperti itu, sehingga orang awam tidak tahu,“ sesalnya.

Laman: 1 2