Ghofar “Relife” Nazila, Developer Pantang Serakah
Apa yang Anda lakukan?
Dalam kondisi banyak PR itu kawan-kawan saya mundur teratur. Saya dihadapkan pada situasi nggak ada pilihan. Karena itu saya berpikir, kalau tetap berangkat ke UTM, saya akan meninggalkan banyak PR. Saya tidak bisa hidup dengan situasi seperti itu. Modal saya kepercayaan dan komitmen. Maka, saya pilih menyelesaikannya. Adrenalin saya jadi naik, saya tertantang menjadi developer tunggal. Saya tangani sendiri semua. Mulai dari desain, legalitas, perizinan, konstruksi, penjualan sampai nyariin panci buat tukang. Alhamdulillah selesai. Di sini tidak bisa saya lupakan jasa Pak Prima Kumara, karena saat-saat sulit itu ia mempercayakan pembangunan kliniknya sama saya. Nilai proyeknya cukup besar. Saya bisa menyelesaikannya dengan baik. Saya dapat income untuk menyelesaikan PR-PR itu. Semua rumah di Orchid bisa saya jual dengan surplus cukup besar. Kepercayaan orang naik sehingga saya dipercaya sekelompok dokter membangun rumah mereka di Jakarta. Sementara Pak Prima melihat goodwill (kemauan baik) pada saya. Beliau yang tadinya profesional di bank syariah, memilih keluar dan bergabung menjadi salah satu owner Relife. Semua peristiwa yang mengubah rencana awal saya itu terjadi Mei – Oktober 2005.
Surplus itu dipakai untuk apa?
Ketika tiga rumah di Orchid laku ada excess cash Rp100 juta. Bersamaan dengan itu ada tanah 3.000 m2 di Jl Juanda (Depok). Harganya Rp1,15 miliar. Karena duit hanya Rp100 juta saya mohon supaya bisa dibayar secara bertahap selama 1,5 tahun. Pemilik tanah mau. Saya tidak tahu kenapa. Yang jelas sampai sekarang hubungan saya dengan beliau sudah seperti ibu dan anak, dengan anak-anaknya seperti saudara. Di atas tanah itu saya kembangkan Juanda Green Residence (19 unit) seharga Rp226 juta – 750 juta/unit. Dari proyek kedua ini saya dapat omzet Rp7 miliar. Saya bisa melunasi utang kepada ibu itu dalam sembilan bulan. Setelah itu proyek lain menyusul: Cimanggis Green Residence 1 dan 2, Kelapa Dua, Greenlife, Greenland dan seterusnya. Kantor yang semula ngontrak di Juanda pindah ke ruko milik sendiri di Graha Depok Mas. Identitas perusahaan mulai diperjelas dengan mendirikan badan hukum (PT). Dalam perjalanan kita juga mendapat dukungan modal dari investor. Begitu melihat bukti tanpa diminta orang datang menawarkan dana atau tanah. Tapi, semuanya investor per proyek. Owner Relife tetap tiga: saya, Pak Prima dan satu orang lagi. Sekarang kita memiliki empat investor loyal.
Ketika PR-PR terselesaikan tidak terpikir lagi ke Malaysia?
Saya merasa proses yang saya jalani sebagai takdir. Selain itu pengalaman menyelesaikan masalah Orchid juga menumbuhkan motivasi dan keyakinan (bahwa saya layak meneruskan bisnis perumahan ini). Keyakinan itu didukung latar belakang pendidikan saya. Sulit membayangkan desain saya bisa diterima pasar, dan saya bisa mengontrol proses produksi di awal-awal bisnis ini, kalau saya tidak punya latar belakang itu. Saya bisa pakai jasa konsultan, tapi modal waktu itu kan nggak memungkinkan.
Ada pengaruh latar belakang orang tua terhadap keberhasilan bisnis Anda?
Di tangan ayah dan ibu saya apa saja memang bisa jadi usaha. Mereka ingin delapan anaknya jadi sarjana dan harus dari universitas negeri. Kenyataannya tidak satu pun saudara saya yang jadi pengusaha. Kalau tidak akademisi, ya pegawai negeri. Saya juga sempat ditawari jadi pengajar di almamater dan posisi menarik di sebuah developer BUMN. Keluarga mendukung. Tapi, saya tidak sreg. Saya justru tertantang dengan stereotip yang mengatakan, orang yang bagus prestasi akademiknya nggak berbakat berbisnis. Saya mau mendobrak stereotip itu. Di sini yang bermain keyakinan sehingga akhirnya saya menjadi seperti yang sekarang.