PJB Khawatirkan Krisis Listrik Pada 2017

PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) mengkhawatirkan krisis energi listrik di wilayah kerjanya pada tahun 2017 karena banyaknya hambatan untuk kelancaran pembangunan sejumlah pembangkit.
“Kalau sekarang, kondisi cadangan kami masih bisa dikatakan bagus yakni sekitar 25 persen dari kapasitas,” kata Direktur Utama PJB, Amir Rosidin, di Surabaya, Selasa.
Untuk tahun 2017, krisis energi listrik akan terjadi ketika cadangan yang dimiliki PJB berada di bawah 20 persen dari kapasitas, tetapi mulai sekarang anak perusahaan PLN tersebut telah melakukan serangkaian upaya mengantisipasi terjadinya krisis listrik.
“Salah satunya, membangun pembangkit dengan kapasitas 2 x 1.000 MW dan kami harap bisa beroperasi tahun 2017, tetapi kini masalahnya adalah tanah yang belum dibebaskan masih 15 persen,” ujarnya.
Selain itu, besaran dana yang dibutuhkan untuk investasi pembangkit sangat mahal atau sekitar Rp75 triliun. Saat ini diperlukan pembangkit berkapasitas 5.000 MW, sedangkan aset PJB masih di posisi Rp500 triliun.
“Memang kami diharapkan membangun pembangkit berkapasitas 5.000 MW, tetapi sebenarnya bukan PLN saja, karena kalangan swasta yang ada kemampuan ya silakan bangun,” katanya.
Bahkan, tambah dia, sekarang pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan pada suatu daerah bisa membangun pembangkit sendiri. Contohnya, di Terminal Multipurpose Teluk Lamong –perbatasan Surabaya dan Gresik.
“Lalu, di Jakarta ada Bekasi Power yang membangun pembangkit. Hasil energi listriknya ada yang dipakai sendiri serta sisanya dijual ke PLN. Kini juga ada Cikarang Listrindo yang membangun pembangkit,” katanya.
Terkait kendala utama pembangunan pembangkit di Indonesia, sebut dia, umumnya dipicu faktor pembebasan lahan, apalagi untuk membangun pembangkit dibutuhkan lahan cukup luas atau sekitar 100 hektare.
Permasalahan selanjutnya banyak ketidakcocokan harga antara penjual lahan dan pembeli.
“Kalau didasarkan aturan dulu, tidak ada pihak yang menjadi perantara antara pembeli dan penjual. Namun sekarang, ada Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menjembatani mereka dan ketentuan itu berlaku per Desember 2014,” katanya.
Hal serupa, lanjut dia, juga terlihat ketika pembangunan sejumlah transmisi di luar Pulau Jawa yakni di Sumatera Utara hingga Sumatera Selatan. Tapi ada kendala tersendiri sehingga listrik tidak bisa teralirkan dari Sumatera Selatan ke Sumatera Utara.
“Berikutnya adalah masalah perizinan dan prosesnya memerlukan waktu lama baik dari pemerintah daerah hingga kehutanan. Hal itu terjadi karena masing-masing kementerian punya aturan dan sampai sekarang belum saling melengkapi,” katanya. Ant.