HousingEstate, Jakarta - Bagi Anda yang pernah mempunyai pengalaman menjual rumah kesayangan, mungkin masih belum lupa dengan perasaan ini: khawatir. Khawatir harga yang dipasang kemahalan lalu tidak laku. Khawatir harga yang yang dipasang terlalu murah sehingga tidak memperoleh harga jual maksimal.

Kegundahan itu mungkin terobati setelah mengangkat telpon, meminta tolong agen properti membantu menjualkan rumah Anda. Singkat cerita, setelah agen properti pasang iklan sana sini, loby sana sini, dalam waktu yang tidak terlalu lama rumah Anda laku terjual pada harga maksimal. Setidaknya begitulah Anda diyakinkan agen, bahwa itu adalah harga maksimal. Anda memang harus merelakan beberapa persen untuk komisi agen. Ini adalah jumlah yang wajar. Bayangkan seandainya Anda sendiri yang harus melakukannya: memasang iklan, melayani puluhan telepon dari calon pembeli, menyediakan waktu ke lokasi, menerangkan ini itu. Situasi ini bisa sangat merepotkan karena bisa berlangsung beberapa bulan.

Jadi, Anda dan agen properti bertemu pada orientasi yang sama: menjual rumah pada harga maksimal. Agen berkepentingan atas komisi, dan Anda berkepentingan atas harga jual. Dengan kata lain: insentif Anda dengan agen segaris. Pertanyaannya: apakah rumah Anda benar telah terjual pada harga maksimal.

Steven D.Levitt dan Chad Syverson meneliti sekitar 100.000 data jual rumah di pinggiran kota Chicago, hasilnya: kalau saja agen mau berusaha lebih keras lagi, dan mau menahan rumah tersebut di pasar untuk ekstra waktu 10 hari lebih lama, ia dapat menjual 3% lebih tinggi. Penelitian ilmiah ini menyimpulkan agen properti di Chicago tidak mau melakukan usaha ekstra itu untuk kliennya. Keengganan ini bisa dipahami.

Begini penjelasannya. Steven D.Levitt menguraikan bahwa dari komisi 6% atas penjualan, setelah dibagi dengan perusahaan agen, kemudian dibagi lagi dengan agen pembeli, maka yang benar-benar masuk ke kantong si agen penjual hanyalah 1,5%. Dengan kata lain, jika rumah terjual Rp300 juta maka dari komisi Rp18 juta agen pejual akan menerima Rp4,5 juta. Jumlah yang lumayan tinggi.

Bagaimana jika rumah itu sebenarnya dapat dijual lebih tinggi dari Rp300 juta? Misalnya, si agen berusaha lebih keras dan lebih sabar menahan di pasar, tambah iklan di beberapa media, dan sebagainya, rumah laku terjual Rp310 juta. Setelah dipotong komisi, pemilik rumah memperoleh tambahan uang Rp9,4 juta. Jumlah yang lumayan.

Tapi buat si agen pejual? Dia hanya memperoleh tambahan Rp150.000. Pemilik rumah memperoleh ekstra Rp9,4 juta sementara si agen hanya memperoleh ekstra Rp150.000 (padahal untuk mendapatkan ini dia harus mengeluarkan energi, biaya dan waktu tambahan, serta sabar menunda untuk tidak buru-buru deal, dengan resiko kehilangan pembeli potensialnya lari ke lain agen). Pada titik ini insentif pemilik rumah dan agen sudah tidak segaris lagi. Agen mungkin memilih melewatkan ekstra Rp150.000, karena tidak sebanding dengan usaha ekstra yang harus dia korbankan. Bagi agen, semakin cepat dia menjual rumah itu, semakin cepat dia dapat menangani penjualan properti lainnya.

Itu yang tergambar dari penelitian di pingiran kota Chicago. Apakah di Jakarta juga berlaku demikian, sepertinya belum ada yang meneliti. Tetapi, komisi agen 6% itu rasanya cukup tinggi untuk ukuran Jakarta sekarang ini. Ketatnya persaingan, komisi separuh dari 6% itupun sekarang ini banyak agen yang sanggup. Silahkan berhitung kalau 6% tadi kita ganti 3%. Atas usaha ekstra meningkatkan harga jual Rp10 juta si agen hanya akan memperoleh ekstra komisi Rp75.000. Semakin tidak menarik.

Harapannya agen properti kita rela memainkan peran lebih baik dari sekedar itung-itungan komisi yang paling optimal untuknya. Pasar properti dijejali produk yang sangat heterogen, sementara informasi yang berkaitan dengan harga dan fitur produk masih relatif terbatas, dibanding produk lain, elektronik misalnya. Sebenarnya apa yang dirasakan sebagian masyarakat ketika harus memutuskan membeli atau menjual properti, tidak sekedar khawatir sebagaimana disebut pada awal tulisan, mungkin lebih tepatnya perasaan ‘takut’. Takut kalau keputusannya salah. Salah menentukan harga, salah memilih produk. Ini wajar, karena produk properti melibatkan jumlah uang yang besar. Keputusan membeli sebuah rumah misalnya, berimplikasi alokasi finansial keluarga hingga puluhan tahun kedepan. Betapa menyesalnya jika pilihannya itu salah.

Agen properti sebagai pihak yang memiliki informasi pasar properti yang relatif komplet semoga mampu berperan positif. Heru Narwanto

 

Sumber bacaan:

  1. Steven D.Levitt and Stephen J. Dubner, 2005, Freakonomics, Harpertorch, New York.
  2. Steven D.Levitt and Chad Syverson, 2005, “Market Distortions When Agents Are Better Informed: A Theoritical and Empirical Exploration of Value of Information in Real Estate Transactions”, Working Paper, National Bureau of Economic Research.