HousingEstate, Jakarta - Majalah Estate edisi September 2004 halaman 26-27 memuat kisah sukses Tony Eddy berinvestatsi apartemen. Judulnya ‘Rezeki Nomplok Beli Apartemen’. Kita akan kutip beberapa paragraf.

“Jum’at 12 Mei 1998 suhu politik Ibu Kota makin memanas. Mungkin temperaturnya jauh lebih menyengat dibandingkan terik matahari kala itu. Demonstrasi mahasiswa, kerumunan massa ada di mana-mana, hampir di setiap penjuru kota. Suasana kota tegang, wajah-wajah orang pun tampak garang. Bahkan, sebagian orang kaya yang ragu dengan keamanan jiwanya sudah banyak yang terbang menyelamatkan diri dan keluarganya ke manca negara. Anehnya, dalam suasana chaos itu, Tony Eddy malah membeli satu unit apartemen di Apartemen Green View Pondok Indah. Unit apartemen menengah-atas type tiga kamar tidur seluas 135 m2 itu ia beli dengan harga Rp900 juta berikut perabotnya (fully furnished). Akte jual belinya ditandatangani sekitar jam 10.00 wib di depan notaris. Tapi belum sampai ia pergi ke bank untuk melunasi pembayarannya, kerusuhan terburu pecah, dan bank-bank hanya buka sampai tengah hari. Akhirnya transfer uangnya baru bisa dilakukan pada Senin 15 Mei 1998, setelah amuk massa mereda dan bank beroperasi kembali”.

“Ketika Tony melakukan transaksi, apartemen itu masih ada penyewanya, warga negara Jepang, yang masa kontraknya baru berakhir dua minggu kemudian. Namun tidak diduga sebelumnya, meskipun kondisi negara masih carut-marut, kontrak kerja warga negara Jepang tersebut diperpanjang oleh perusahaannya. Akhirnya masa sewa apartemen itu diperpanjang dua tahun lagi. Tarif sewanya 2.300 dollar AS per bulan. Kebetulan kurs dollar AS waktu itu lagi tinggi-tingginya, per dollarnya Rp15.000. Karena seluruh sewa dibayar dimuka, Tony menerima hasil sewa Rp828 juta. Tak pelak, modal Tony nyaris balik hanya dalam tempo dua minggu”.

Sebuah kisah manis.

Majalah Estate edisi Oktober 2004 halaman 34-35 memuat kisah sukses Nelius Jinarta menekuni profesi dealer properti. Judulnya “Bisnis Jual Beli Rumah, Menggiurkan”. Kita akan kutip dan ringkas beberapa paragraf.

“…. Mulanya ia membeli rumah di Nusa Loka BSD Rp40 juta tahun 1993. Rumah dengan luas bangunan 100 m2 yang berdiri di atas kaveling 9×20 m ini kemudian direnovasi, plafonnya juga ditinggikan dari sekitar 3 m menjadi 6 m, sehingga interiornya terkesan lega. Renovasi itu menghabiskan biaya kurang lebih Rp20 juta. Ternyata, banyak orang yang suka melihat rumah yang plafonnya ditinggikan. Hingga satu hari datang seorang peminat serius. Setelah tawar menawar, kedua belah pihak akhirnya sepakat melakukan transaksi dengan harga Rp165 juta”.

“Dengan meraih keuntungan Rp105 juta, Nelius Jinarta kemudian tertarik menekuni bisnis properti. Ia lantas pinjam tambahan modal dari keluarganya, dibelikan dua unit kaveling 720 m2 dan 560 m2 di Giri Loka, BSD. Harganya Rp600.000 per m2. Kedua kaveling itu bisa terjual kurang dari satu bulan dengan harga Rp725.000 per m2. Setelah dipotong pinjaman, Ia memperoleh keuntungan sekitar Rp100 juta”.

“Keuntungan demi keuntungan diraih, akhirnya tahun 2001 Ia mantap seratus persen sebagai dealer properti. Ia memutuskan melepas jabatannya sebagai direktur keuangan sebuah perusahaan ternama”.

Sebuah kisah manis.

Dua kisah di atas adalah cerita manis. Tapi bagi para ekonom: itu kisah menyedihkan. Para ekonom berharap pasar persaingan sempurna (perfectly competitive market). Sementara kisah di atas menggambarkan kondisi yang sebaliknya, kegagalan pasar (market failures).

Pasar properti adalah salah satu jenis pasar yang akan kita temui banyak contoh kasus kegagalan pasar. Model pasar persaingan sempurna mengasumsikan terdapat begitu banyak penjual dan pembeli sehingga tidak ada satu pihakpun yang secara independen mampu mempengaruhi harga. Disamping banyak, barang yang diperjualbelikan juga identik sehingga pembeli mempunyai begitu banyak alternatif dari penjual mana barang yang akan dia beli. Dan tentunya yang akan dipilih adalah yang paling kompetitif. Dalam model pasar persaingan sempurna juga diasumsikan semua penjual dan semua pembeli mempunyai informasi yang lengkap.

Seandainya asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna terpenuhi, maka kedua kisah di atas mungkin tidak pernah terjadi. Tengoklah salah satu alasan Tony Eddy nekat membeli apartemen itu:”.. apartemen ini dominan dihuni ekspatriat Jepang. Kebiasaan mereka, kalau sudah merasa kerasan tidak akan pindah sampai kontrak kerja atau tugasnya selesai. Artinya, apartemen yang dibeli tersebut mempunyai potensi besar untuk disewakan kepada mereka (ekspatriat Jepang)”. Entahlah, apakah informasi seperti ini juga dikuasai pemilik apartemen sebelumnya? Tengok juga kisah lengkap kaveling yang dibeli Nelius Jinarta Rp600.000 per m2, yang kemudian laku terjual Rp725.000 dalam waktu sebulan. “Lokasinya berada di seberang rumah Susi Susanti, hadiah dari Ciputra ketika pebulutangkis wanita itu memenangi Olympiade”. Entahlah, apakah informasi seperti ini juga dikuasai pemilik kaveling sebelum menjualnya?

Satu saja asumsi pasar persaingan sempurna tidak terpenuhi, yang dalam kisah di atas adalah ketidak setaraan koleksi informasi produk antara penjual dan pembeli, telah muncul beberapa kisah sukses yang manis. Masih ada beberapa asumsi pasar persaingan sempurna yang juga (biasanya) sulit dipenuhi oleh pasar properti. Silakan Anda meneruskan mencermati, semoga Anda beruntung. Heru Narwanto