HousingEstate, Jakarta - Di samping kenangan kecewa karena piala Thomas dan Uber tidak berhasil dimenangkan Indonesia, ada kenangan lain yang terbaca di media beberapa waktu lalu: maraknya calo tiket pertandingan.
Menyadari tingginya minat masyarakat menyaksikan langsung pertandingan itu, sebagian Saudara kita, para calo tiket, memanfaatkannya untuk mencari keuntungan. Memborong berlembar tiket pertandingan kemudian menjualnya dengan harga berlipat lebih tinggi. Akibat ulah para calo, harga tiket menjadi tidak terkendali dan tidak terjangkau. Praktek percaloan semacam ini pada umumnya dibenci masyarakat.
Marilah kita membahasnya dengan spektrum khas. Praktek percaloan tiket pertandingan Thomas-Uber adalah contoh gamblang mekanisme pasar bekerja: permintaan yang tinggi bertemu penawaran yang terbatas. Dengan mengenakan harga tertinggi yang dimungkinkan pasar, para calo tiket itu memastikan bahwa tiket yang berada di tangannya hanya akan beralih kepada konsumen yang bersedia memberikan penghargaan tertinggi atas tiket itu.
Perhatikan pendapat salah seorang calo berikut ini. “Dalam pandangan saya, pekerjaan saya ini sama dengan pekerjaan seorang pialang saham. Saya membeli tiket dengan harga semurah mungkin, lalu menjualnya dengan harga setinggi mungkin. Jika ada orang yang mau membayar, apa salahnya dengan pekerjaan saya ini?” katanya berterus terang. Ia juga mengakui dengan tanpa rasa bersalah bahwa dirinya seorang calo tiket, dan memperkenalkan namanya Kevin Thomas. Ia bahkan menganggap dirinya sebagai contoh wirausahawan klasik Amerika: jebolan sekolah menengah di Bronk yang menggembleng diri berdagang, bekerja keras tujuh malam dalam seminggu, mampu memperoleh penghasilan 40.000 dollar AS per tahun, dan di usia 26 tahun sudah memiliki tabungan 75.000 dollar AS. Semua penghasilan itu dikumpulkannya dari berbagai gedung pertunjukan dan gelanggang olahraga di New York. Cerita calo tiket Thomas Kevin ini saya dapatkan pada artikel yang ditulis oleh John Tierney pada The New York Times, 26 Desember 1992.
Topik artikel John Tierney itu memang tentang calo tiket. John Tierney selanjutnya menuliskan pandangan beberapa ekonom tentang calo tiket ini. Menurut John Tierney, beberapa ekonom ternyata justru cenderung memihak si Kevin Thomas, calo tiket tadi. Dan mengkritisi bahwa tindakan pemerintah yang menerjunkan petugas untuk menangkapi para calo sebagai tindakan yang tidak tepat. Bagi para ekonom tadi, tidak ada yang salah dengan profesi Thomas Kevin yang sekedar memenuhi permintaan pasar. Salah seorang ekonom yang disebut dalam artikel John Tierney adalah William J. Baumol, direktur Pusat Studi Ilmu Ekonomi Terapan C.V. Starr di New York University.
Ekonom lain seperti Richard H. Thaler, Cornell University, melihat keberadaan calo pada kondisi tertentu sebenarnya tidak merugikan konsumen. Untuk pertunjukan tertentu, pengunjung harus antre dua jaman untuk mendapatkan tiket. Jika semua orang dipaksa harus bersama-sama antre untuk mendapatkan tiket, maka ini tentu kerugian bagi orang-orang produktif. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang menghargai waktu dengan nilai tinggi, lebih baik membeli tiket pada calo dengan harga lebih tinggi 10 sampai 15 dollar AS dibanding mereka harus membuang waktunya dua jam untuk antre (ingat kembali konsepsi Opportunity Cost).
Begitulah, di Amerika, walaupun dilarang keberadaannya, tetap saja ada orang seperti Thomas Kevin dan teman-teman calo tiket lainnya. Mereka berkeliaran di pinggir jalan dan lapangan parkir sambil kucingkucingan dengan petugas. Ketika artikel pada The New York Times itu ditulis, Thomas Kevin sudah 16 tahun menjalankan pekerjaan calonya, dia mulai sejak umur 10 tahun.
Apakah sebaiknya calo dilegalkan saja sehingga Thomas Kevin dan kawan-kawan tidak perlu kucingkucingan dengan petugas? Menurut John Tierney, mungkin justru Thomas Kevin dan para calo yang tidak setuju (??). Iya, mereka khawatir jika dilegalkan maka akan semakin banyak calo. Akibatnya, para calo lama seperti Thomas Kevin mungkin penghasilannya makin menurun.
Ada pertanyaan untuk Anda yang biasa bepergian dengan pesawat udara. Jika Anda memesan tiket jauhjauh hari, biasanya Anda masih berpeluang mendapat tiket dengan harga realif murah. Tetapi, jika Anda harus pergi mendadak ditambah lagi pada waktu itu ramai penumpang, yang tersedia hanya tiket dengan harga sangat mahal. Anda tidak punya pilihan lain, dengan sangat terpaksa harus membayar tiket dengan harga yang sangat mahal itu. Ketika Anda duduk di dalam pesawat dan menanyakan penumpang sebelah Anda yang ternyata membeli tiket dengan harga hampir separoh lebih murah dari harga tiket Anda, situasi ini tentunya mirip dengan dua orang duduk berdampingan menonton pertandingan Thomas dan Uber, yang sebelah membeli tiket harga normal dan satunya lagi membeli tiket melalui calo. Bedanya, masyarakat membenci dan ingin membasmi calo, tetapi tidak untuk perusahaan penerbangan.
Bagaimana pula dengan ini: memborong berunit properti pada saat launching, bukan untuk dimiliki dan ditempati tetapi ditahan, kemudian menjualnya di beberapa waktu ke depan dengan harga jauh lebih mahal, ketika stok sudah tidak ada? Silakan mengamati perbedaan dan persamaannya dengan praktek calo tiket Thomas dan Uber. Semoga tidak ada persamaannya. Heru Narwanto
Sumber bacaan:
- Tulisan John Tierney pada The New York Times, 26th Dec 1992, dengan judul ”Tickets? Supply Meets Demand on Sidewalk” dapat diunduh melalui internet www.nytimes.com
- Tulisan tersebut dapat pula dijumpai pada buku Principles of Economics, 2nd ed., N.Gregory Mankiw, telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Erlangga
Sumber: Buku Berpikir Layaknya Ekonom, Heru Narwanto