HousingEstate, Jakarta - Misalkan seseorang diberi tanggung jawab mengelola lima petak sawah yang sudah disemai padi. Kepadanya dibekali pupuk dan obat-obatan yang hanya cukup untuk satu petak. Menghadapi dilema itu dia mempunyai dua alternatif. Pertama menekankan efisiensi: pupuk dan obat-obatan itu seluruhnya hanya untuk satu petak sawah. Maka, dia bisa menghasilkan 10 ton padi. Tapi, akibatnya padi di empat petak lainnya tumbuh tidak sehat dan hanya menghasilkan masingmasing satu ton. Berarti hasil padi keseluruhan 14 ton.

Kedua menekankan pemerataan: pupuk dan obat-obatan itu dibagi rata ke lima petak sawah. Namun, karena volume pupuk dan obat tidak memadai, setiap petak hanya menghasilkan 1,5 ton padi atau secara keseluruhan 7,5 ton.

Ini contoh sederhana dari trade-off antara efisiensi dan pemerataan. Jika si pengelola sawah mengutamakan efisiensi, ia akan memilih alternatif pertama dengan hasil 14 ton tapi pada saat yang sama gagal melakukan pemerataan. Sebaliknya, jika pemerataan yang diutamakan, dia memilih alternatif kedua dengan hasil 7,5 ton, jauh lebih rendah dibanding alternatif pertama yang berarti tidak efisien.

Dilema seperti ini dihadapi banyak negara di dunia termasuk Indonesia. Biasanya selalu ada trade-off antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Jika yang kita kejar pertumbuhan, boleh jadi pemerataan terabaikan. Begitu juga sebaliknya. Inilah trade off: Untuk memperoleh sesuatu kita harus merelakan kehilangan yang lain. Dengan memahami konsepsi trade-off pemerintah bisa mengambil kebijakan-kebijakan yang memungkinkan pertumbuhan dapat beriringan dengan pemerataan.

Sebagai individu kita pun hampir setiap saat menghadapi trade-off. Beberapa detik yang lalu Anda baru saja melewati trade-off. Ketika sedang membaca tulisan saya pada halaman ini, pada saat yang sama Anda kehilangan kesempatan membaca halaman yang lain. Jadi, saat memilih halaman mana dari majalah ini yang akan dibaca, maka Anda sedang menghadapi trade-off; memilih salah satu dan mengorbankan pilihan lain.

Trade-off adalah salah satu topik tingkat dasar dalam ilmu ekonomi. Karena itu besar kemungkinan Anda sudah mengenal konsepsi ini dengan baik. Masalahnya, pada tataran penerapan. Tidak mudah. Kadang kita terlanjur melakukan sesuatu tanpa sempat mempertimbangkan trade-off-nya. Ketika sepasang suami istri bertahun-tahun asyik membangun karir sehingga hampir seluruh waktunya teralokasi untuk pekerjaan, boleh jadi mereka harus bersedih karena pada puncak karir, mereka menghadapi kenyataan kondisi anaknya yang memprihatinkan.

Ini trade-off dari alokasi waktu: untuk karir atau mengurus anak. Kesadaran akan trade-off seperti ini menjadikan kita lebih bijak mengalokasikan waktu, sebagian untuk karir sebagian untuk anak. Jika itu dua gelas kosong yang harus diisi, menjadi pilihan kita apakah akan kita penuhi gelas pertama sementara gelas kedua kosong, atau kedua gelas sama-sama diisi meskipun setengah.

Begitu pun dengan penggunaan uang, selalu ada trade-off. Penghasilan per bulan sebuah keluarga akan dibagi-bagi dalam berbagai keperluan: cicilan rumah, kendaraan, biaya dapur, pendidikan anak, pengobatan, rekreasi dan sebagainya. Setiap mengalokasikan satu rupiah untuk satu keperluan, pada saat yang sama kita sedang mengurangi jatah untuk keperluan yang lain.

Penguasaan konsepsi trade-off akan mendorong kita mengalokasikan penghasilan kita yang terbatas secara kreatif dan bijak. Kreatif karena kita akan selalu berpikir lebih dari satu kemungkinan: jika tidak kita belanjakan untuk membeli barang A, kita dapat menggunakannya untuk membeli barang B. Bijak, karena kita hanya akan menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan bukan keinginan.

Kalau saja konsepsi trade-off ini dipahami dengan baik dan diaplikasikan dalam setiap kesempatan pemanfaatan keuangan keluarga, saya yakin jumlah perokok pada masyarakat kita akan turun drastis. Perokok aktif mengalokasikan setidaknya Rp200.000 per bulan untuk membeli rokok. Seandainya perokok itu dapat mengatasi dirinya untuk tidak merokok, dengan Rp200.000 itu setiap bulan ia dapat membelikan enam buku cerita untuk anak-anaknya, atau membayar uang kursus, atau meningkatkan jatah belanja dapur yang dinikmati seluruh keluarga.

Jadi, dalam kondisi keuangan keluarga yang terbatas, setiap sulutan batang rokok oleh si ayah, adalah kehilangan kesempatan anak menikmati buku bacaan tambahan, kesempatan mengikuti kursus, atau makanan yang lebih bergizi. Para perokok yang rasional tentu akan mempertimbangkan trade-off itu. Kecuali bagi mereka yang tergolong dalam kelompok berpenghasilan berlebih. Heru Narwanto