HousingEstate, Jakarta - Di depan kelas, seorang Profesor meletakkan sebuah tabung terbuat dari plastik transparan, sebesar ember ukuran sedang. Pak profesor juga menyiapkan sebuah kotak besar berisi beberapa benda. Dari kotak itu Pak profesor mengeluarkan beberapa buah batu seukuran bola tenis. Batu-batu itu kemudian dimasukkan ke dalam tabung sambil sesekali menanyakan kepada murid-muridnya, ”sudah penuh belum?”. Dan setiap kali murid-muridnya menjawab serempak ”belum”, segera dia menambahkan batu-batu ke dalam tabung. Terus menerus hingga tabung itu penuh terisi batu. ”Kalian yakin tabung ini sudah penuh?”. Mereka menjawab ”Ya!”. ”Apakah masih dapat diisi lagi?”, mereka menjawab ”tidak!!”.
Pak profesor kemudian mengambil beberapa genggam kerikil dan memasukkannya ke dalam tabung yang sudah terisi batu tadi. Sambil sedikit menggoyanggoyangkan tabung, kerikil-kerikil tadi masuk melalui celah-celah batu. Tabung yang semula di klaim ’penuh’ oleh murid-muridnya tadi ternyata masih dapat dimasuki beberapa genggam kerikil. Kini tabung itu terisi penuh batu bercampur kerikil. Kemudian profesor itu bertanya lagi ”sudah penuh belum?”. Kembali murid-muridnya menjawab serempak ”sudah..!”.
Kini profesor itu mengambil beberapa genggam pasir halus dan memasukkannya ke dalam tabung yang telah padat terisi batu dan kerikil tadi. Sambil sedikit digoyang-goyangkan, tabung itu ternyata masih dapat menampung beberapa genggam pasir halus yang masuk melalui celah-celah kerikil. Garis besar kisah di atas saya dapatkan dari sebuah stasiun radio, dalam perjalanan pulang kantor beberapa waktu yang lalu. Disampaikan oleh seorang motivator dengan logat bicara unik, agak cedal (kalau tidak keliru namanya Airin Corrie).
Tabung dalam kisah tadi adalah gambaran waktu yang kita miliki. Sementara batu, kerikil, pasir adalah jenis-jenis aktifitas kita. Sampai di sini saya yakin Anda sudah tahu kemana arah kisah ini bermaksud. Jika belum, bayangkan jika batu, kerikil dan pasir tadi kita keluarkan dari tabung, kemudian kita masukkan lagi dengan urutan pasir yang pertama, kerikil yang kedua, baru kemudian batu-batunya. Iya, kali ini tidak semua batu bisa tertampung dalam tabung itu.
Jika kita mampu membobot aktifitas-aktifitas kita, kemudian mendahulukan mengerjakan aktifitasaktifitas dengan bobot besar terlebih dahulu, maka kita akan punya kesempatan mengerjakan hal-hal kecil lainnya, sebagaimana kerikil dan pasir masuk di sela-sela batu. Sebaliknya, jika kita sibuk mengurusi hal-hal kecil terlebih dahulu, maka kita akan gagal menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar. Sebagaimana batu-batu tadi yang sebagian tidak bisa masuk ke tabung karena bagian bawah tabung telah terisi pasir dan kerikil.
Kenyataannya, tidak banyak dari kita mampu menerapkan konsep sederhana ini dalam kehidupan sehari-hari. Banyak dari kita yang kadang terjebak asyik memasukkan pasir dan kerikil terlebih dahulu ke dalam tabung waktu kita yang terbatas itu. Salah satu (dari banyak) penyebabnya adalah karena kita tidak secara konsisten menerapkan konsepsi ekonomi: faedah vs biaya (cost benefit). Dengan menghitung selisih faedah dari biayanya, maka kita hanya akan memilih aktifitas-aktifitas yang mempunyai faedah lebih tinggi dari biayanya. Dan sebagai orang yang rasional, tentu kita akan mendahulukan akifitas dengan faedah tertinggi.
Masalahnya, tidak semua aktifitas tampak langsung faedah maupun biayanya dalam nilai rupiah. Oleh karena itu analisis faedah-biaya biasanya muncul ketika kita harus memutuskan sesuatu yang mempunyai konsekuensi finansial langsung, seperti: apakah sebaiknya membangun gedung kantor sendiri atau tidak. Untuk hal seperti ini jelas, berapa rupiah biaya dan berapa rupiah faedahnya. Sementara beberapa aktifitas lain perlu dikonversi menjadi nilai uang. Keputusan untuk menonton TV misalnya. Saya mungkin akan menjadi orang aneh kalau menanyakan kepada Anda: sudah dihitung belum faedah-biayanya?
Di kampung saya ketika saya kecil dahulu, saya masih ingat kebiasaan ibu-ibu tetangga rutin berkumpul selepas maghrib di rumah ibu saya. Sambil ngobrol dan minum teh masing-masing mereka asyik menganyam tikar dari mendong (semacam tumbuhan rumput). Setiap lima hari sekali satu lembar tikar dapat diselesaikan, untuk nilai uang sekarang mungkin harganya sekitar Rp50.000. Sekarang, ibu-ibu tetangga juga masih rutin berkumpul di rumah ibu, tetapi mereka tidak lagi menenteng gulungan anyaman mendong, mereka berkumpul untuk menonton sinetron televisi dengan seriusnya. Mereka tidak lagi mendapatkan Rp50.000 setiap lima hari sekali.
Pada dasarnya semua aktifitas kita dapat dihitung faedah dan biayanya dalam bentuk rupiah. Jika Anda seorang karyawan dengan gaji Rp5 juta sebulan, berarti perusahaan mengeluarkan biaya gaji Rp250.000 per hari atau Rp31.000 per jam untuk Anda. Mengingat kembali kisah batu, kerikil, pasir tadi, tentu Anda akan memilih mengutamakan melakukan aktifitas yang membawa faedah tinggi bagi perusahaan. Sementara aktifitasaktifitas yang tidak membawa faedah bagi perusahaan tentu akan Anda hindari. Beberapa aktifitas-aktifitas berikut: ngobrol, telpon teman, menyelesaikan urusan keluarga, berbalas sms, main game, pulang cepat, mampir ke tempat lain yang bukan tujuan dinas luar, dan aktifitas lain sejenisnya kadang menyita sebagian waktu karyawan. Dengan selalu berhitung faedahbiaya, kita akan mampu mengontrol porsi aktifitas yang merugikan. Kalau Anda disiplin menerapkan konsep ini sehari-hari, maka saya yakin hidup Anda akan lebih baik, perusahaan Anda juga akan lebih sehat. Heru Narwanto