HousingEstate, Jakarta - Selain sejak lama diramaikan oleh penawaran properti dari negara lain, setelah krisis moneter 1998 Indonesia juga makin banyak didatangi pengembang asing yang hendak berbisnis di sini. Mulai dari Jepang, Perancis, Timur Tengah, Malaysia, Korea Selatan, sampai Singapura. Sementara pengembang Indonesia yang menjajakan properti di luar negeri praktis belum ada karena tidak adanya insentif. Yang mengembangkan proyek di negeri orang juga baru satu dua. Salah satunya Grup Ciputra. Sejak tahun 1994 salah satu grup usaha properti terbesar di Indonesia itu berekspansi ke Hanoi, Vietnam membangun Ciputra Hanoi International City (300 ha), Kolkatta, India (Kolkatta West International City/260 ha), Phnom Penh, Kamboja (Grand Phnom Penh International City/260 ha), dan Shenyang, Republik Rakyat Cina (Grand Shenyang International City/313 ha). Semuanya proyek properti terpadu yang mengembangkan hunian (landed residential dan apartemen) berikut semua fasilitasnya dalam satu kawasan berskala kota.
Bagaimana Grup Ciputra bisa berekspansi ke luar negeri, apa latar belakangnya, dan bagaimana progress-nya? Berikut penuturan Budiarsa Sastrawinata (57), Presiden Direktur PT Ciputra Residence, sub holding Ciputra Group yang menangani pengembangan proyek Ciputra di luar negeri dan sejumlah kota di Indonesia, kepada Joko Yuwono, Yoenazh K Azhar, dan fotografer Susilo Waluyo di kantor pusat Ciputra Group di Jl Prof Satrio, Jakarta Selatan, beberapa bulan lalu.
Kenapa Ciputra berekspansi ke luar negeri?
Sejak awal Pak Ci (Ciputra, pendiri dan Chairman Ciputra Group, Red) menginginkan perusahaan melebarkan sayap ke luar negeri. Tahun 1992 – 1994 saya dan Agussurya Wijaya (salah satu direktur di Ciputra Group) mulai keliling luar negeri mencari lokasi. Pak Ci menginginkan tanahnya cukup luas untuk mengembangkan kota baru (new town). Kita mulai di Hanoi, ibu kota Vietnam, karena kita sudah lebih dulu membangun hotel (Horison) di kota itu yang dibuka tahun 1997.
Bagaimana ceritanya dari hotel bisa dapat lahan perumahan di Hanoi?
Gubernur Hanoi yang tahu kita developer ternama dan berpengalaman mengembangkan perumahan berskala besar di Indonesia, menawarkan proyek serupa di Hanoi. Kita setuju dan cari lokasi, dapat 300 ha. Tahun 1994 kita ajukan izin. Tanggal 30 Desember 1996 baru diteken dan Februari 1997 kita terima SK-nya. Proses perizinannya cukup lama bukan karena kita dipersulit, tapi karena waktu itu Vietnam baru mulai membuka diri. Bagi mereka izin 300 ha sudah besar sekali dan belum pernah ada sebelumnya, apalagi untuk swasta asing. Jadi, kita diminta mempresentasikan juga konsep pengembangannya di hadapan Menteri Perencanaan, Menteri Investasi, Perdana Menteri dan Sekjen Partai (Komunis Vietnam) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Vietnam. Sesuai dengan sistem politiknya (semua dikuasai negara), yang bebasin tanahnya Pemda Hanoi, kita tinggal mengembangkan. Untuk itu kita berbagi share 70:30.
Kenapa memilih Hanoi, bukan Ho Chi Minh City?
Kita cari lokasi di luar negeri dengan melihat potensi ekonomi, jumlah penduduk, situasi politik, dan keberadaan pesaing. Vietnam itu negara yang mulai membangun, politiknya sudah stabil, punya potensi besar dengan penduduk nomor dua terbanyak sesudah Indonesia di ASEAN , sekitar 90 juta jiwa, dan ibu kotanya belum memiliki real estate besar. Jadi, potensi bisnisnya lebih kuat. Beda dengan Ho Chi Minh, dulu namanya Saigon ibu kota Vietnam Selatan, ekonominya lebih besar, lebih terbuka, tapi asingnya juga lebih banyak karena dulu dikuasai Amerika Serikat. Hanoi dan Ho Chi Minh itu ibarat Beijing dan Shanghai di Cina. Beijing ibu kota RRC, tapi pusat ekonominya di Shanghai.
Bagaimana progress proyek di Hanoi itu?
Kalau dari rencana awal sudah tidak sesuai lagi, karena baru mau mulai Agustus 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia. Jadi, kita harus berbenah di dalam negeri, dan tidak mungkin mengerjakan proyek di sana. Kita mengajukan penundaan kepada Gubernur Hanoi. Dia mengerti sekali, karena dia pernah datang ke Jakarta lihatlihat proyek kita. Bahkan, dia senang lihat gerbang perumahan CitraRaya di Tangerang (Banten) dan minta gerbang serupa dibuat di Ciputra Hanoi. Setiap tahun saya datang dua kali menghadap Gubernur Hanoi dan menteri terkait, minta agar izin kita tidak dicabut kendati kita belum bisa mulai membangun. Di situ kita sangat menghargai mereka, karena beberapa pengusaha dengan izin lokasi tidak besar, dicabut izinnya karena tidak juga membangun. Tahun 2003 baru pembangunan dimulai diikuti dengan pemasaran. Sekarang sudah terbangun 1.000 rumah dan sembilan tower apartemen, tiga tower lagi dalam pembangunan. Setiap tower sekitar 150 unit. Semua rumahnya tiga lantai karena harga tanahnya sudah mahal. Sesuai dengan konsepnya perumahan akan dilengkapi fasilitas komplit termasuk lapangan golf 18 holes seluas 70 ha.
Memangnya lokasi perumahan di mana sehingga harga tanahnya mahal?Lokasinya sangat strategis, antara airport dan pusat kota (Budiarsa menunjukkan petanya) didukung akses jalan tol. Dari airport tidak mungkin kelewat, karena gerbangnya di pinggir jalan tol ke bandara segitu besarnya. Dari ujung ke ujung luas proyek kita 2,5 x 1,5 km2. Dari pusat kota hanya sekitar satu kilometer.
Respon pasar sangat bagus ya?
Awalnya mereka mengira apartemen yang kita bangun sekelas dengan yang mereka kenal sebelumnya. Tapi, dengan konsep pengembangan, estate management dan lain-lain, mereka melihat perbedaannya. Lebih rapi, teratur dan berkelas. Sekarang proyek kita menjadi trend setter pengembangan real estate di sana. Tamu pemerintah (Vietnam) suka dibawa ke proyek kita sebagai percontohan. Apalagi banyak orang asing tinggal di situ, termasuk beberapa duta besar beli di proyek kita, karena kebetulan di kawasan ada sekolah internasional terbesar di Hanoi yang pindah dari pusat kota. Mereka ambil tanah sembilan hektar. Dengan keberadaan sekolah dan orangorang asing itu, tema perumahan sebagai international city jadi klop.
Masuk ke Kamboja tahun berapa?
Kamboja kita mulai tahun 2007, India tahun 2006, disusul Cina tahun 2011. Yang di Phnom Penh kita cari sendiri tanahnya. Luasnya 260 ha karena juga dilengkapi lapangan golf 18 hole (70 ha). Di sini rumahnya dua lantai karena tanahnya lebih murah. Yang beli pakai KPR juga lebih banyak. Beda sama di Hanoi, dari 1.000 unit pertama yang dipasarkan, tidak sampai 10 orang yang pakai KPR. Konsumennya kebanyakan pengusaha. Mereka belum terbiasa dengan financial institution, masih terbiasa pakai uang tunai, bank (penyalur KPR)-nya juga belum banyak. Tapi, itu tahun 2003. Sekarang sudah mulai meningkat (yang pakai KPR) kendati tetap belum banyak.

Bagaimana bisa masuk ke Phnom Penh?
Saya kebetulan ditunjuk sebagai pengurus INTA (International New Town Association). Pada kongres INTA 2004 di Kuala Lumpur (Malaysia) salah satu pembicaranya Gubernur Phnom Penh. Saya yang waktu itu Vice President INTA jadi moderator. Dia bilang, kalau mau masuk Phnom Penh silahkan. Kita datang dan ternyata tidak mudah, karena di sana pemerintah tidak menguasai tanah seperti di Hanoi. Yang punya tanah swasta atau pribadi-pribadi. Jadi, cari tanah yang luas tidak gampang, tidak cukup sekali datang. Kebetulan ada kenalan, dia bilang ada yang punya 260 ha, baru mau dikembangkan tapi kesulitan. Dari situ kita deal (bekerjasama mengembangkannya).
Bagaimana progress proyek di Phnom Penh?
Sudah sepertiga lahannya dikembangkan, paling banyak untuk lapangan golf. Kalau rumah, baru beberapa ratus unit. Beda dengan di Hanoi karena masih ada ideologi sosialisnya, golfnya diminta dibangun belakangan, di Phnom Penh bisa didulukan. Jadi, di Hanoi tanah yang dikembangkan sudah 30 persen tapi rumahnya yang banyak, di Phnom Penh yang sudah didevelop sama tapi rumahnya baru sedikit. Lokasi perumahannya juga strategis, antara bandara dan pusat kota. Kalau mau ke airport tidak perlu ke pusat kota karena ada jalan langsung ke bandara. Tanahnya juga sudah bulat, tinggal dibangun.
Bagaimana dengan Kolkatta?
Proyek ini juga bagus. Launching tahap pertama berhasil sekali. Padahal, ibu kota (negara bagian) West Bengal itu terbilang daerah miskin. Bunda Theresa (alm) kan bergiat di kota itu (dulu Calcutta). Sebelumnya kita sudah keliling ke tujuh kota di India: New Delhi, Mumbai, Madras, Bangalor, Hyderabad, dan lain-lain. Saya melihat ini (Kolkatta) kota yang sangat tidak tersentuh investor karena dianggap daerah paling miskin dan tertinggal. Kita putuskan ambil 260 ha. Pikiran kita sederhana saja. Pemerintahannya lagi mau pro pembangunan, penduduknya 13 juta, lahan 260 ha itu kan tidak sampai 10.000 rumah. Masak dari 13 juta itu tidak ada yang mampu beli 10.000 rumah. Apalagi, kita lihat di sana shopping center sudah mulai ada, cuma belum ada yang tertata dalam satu intergrated planning. Kalau saya pilih New Delhi atau Mumbai, persaingannya sudah tinggi. Sukses launching tahap pertama itu menarik seorang pengusaha lokal. Dia bilang mau beli proyek kita. Kita lepas karena harganya bagus. Di Shenyang juga begitu. Kita pilih karena belum banyak pebisnis lain masuk. Kita tidak mau bertempur head to head dengan pengembang besar kaliber dunia di Beijing, Shanghai, Ghuangzou, dan Shenzen.
Tapi, siapa yang mau beli di Shenyang?
Shenyang itu penduduknya delapan juta. Bekas ibu kota Cina sampai tahun 1.300-an sebelum pindah ke Beijing. Sekarang jadi ibu kota Propinsi Liaoning, bersebelahan dengan Beijing. Propinsi ini punya perkebunan, batu bara. Jadi propinsi kaya. Shenyang sendiri kota industri yang sekarang dikembangkan juga jadi kota jasa. Pabrik BMW ada di sana. Areal kita ada di zona ekonomi khusus Shinpei. Kita datang tahun 2008 pas krisis keuangan global. Mereka nariknarik investor supaya masuk, tidak ada yang mau. Lalu ketemu kita dan menawarkan dengan segala support-nya.
Bagaimana progress proyek di Shenyang?
Belum dipasarkan. Di sana aturannya agak beda. Kalau landed house harus (sudah dibangun) sampai atap (dulu) baru bisa jualan, kalau apartemen sampai terbangun berapa persen gitu. Kita kembangkan bertahap supaya tidak keluar modal banyak dulu. Sekarang Li Ka Shing (konglomerat properti asal Hongkong) juga masuk ke Shenyang, Keppel Land juga. Jadi, untung kita sudah masuk duluan.
Bagaimana konsep pengembangan proyek-proyek Ciputra di luar negeri itu?
Kurang lebih sama dengan kota baru kita di Indonesia. Bahkan, gerbang perumahan di Hanoi, Phnom Penh, dan Kolkatta sama persis dengan CitraRaya Tangerang. Hanya ada beberapa penyesuaian desain bangunan dan lingkungan mengikuti karakteristik lingkungan dan iklim di setiap kota. Selain di luar negeri, Budiarsa juga diserahi menangani proyek Ciputra Group berskala besar di Indonesia, mulai dari CitraRaya Tangerang (2.700 ha), Citra Garden Jakarta (500 ha), CitraGrand City Palembang (200 ha), sampai dua proyek baru berskala 200 – 300 ha di Pekanbaru (Riau) dan Jambi (Jambi) yang akan dilansir dalam waktu dekat. Pengalamannya sebagai Presdir PT Bumi Serpong Damai, pengembang BSD City (6.000 ha), Tangerang, saat proyek itu masih di bawah kendali Ciputra (1984 sampai krisis moneter 1999), membuat Ciputra yakin menyerahkan pengelolaan proyek-proyek berskala kota kepada pria kelahiran Jakarta, 10 Agustus 1955, itu. Apalagi, Budiarsa juga aktif di INTA. “Saya aktif di INTA terkait pembuatan master plan BSD. Saya tidak punya pengalaman dalam pengembangan berskala begitu besar, konsultan Perencana Jaya dan Arkonin (yang di-hire untuk membuat master plan BSD) juga tidak,” kata alumni Fakultas Teknik Sipil, Universitas Plymouth, London, Inggris (1976-1981), itu. BSD memang memakai konsultan Jepang untuk merancang master plan-nya, dengan syarat mereka memberikan transfer pengetahuan kepada kedua konsultan perencana itu. Untuk itu perencana dari kedua perusahaan dikirim belajar selama satu bulan ke Jepang. “Tapi, pengayaan tetap diperlukan. Itulah perlunya aktif di INTA,” jelas suami Rina Ciputra, anak tertua Ciputra, yang sempat menjadi anggota Komisi XI DPR 2004 – 2009 dari Partai Golkar yang membidangi keuangan dan perbankan itu.
Apa yang Anda dapat dari INTA?
Saya ingin mencari tahu bagaimana pengembangan kota baru di luar negeri. Saya pun pergi ke kongres pertama IN TA di Los Angeles (AS) tahun 1986, karena di situ ada pengembangan kota baru milik Philip Moris seluas 4.000 ha. Sejak itu saya selalu mengikuti kongresnya. Dari situ saya dapat pengetahuan tentang pengembangan kota baru dan punya networking global. Belakangan saya diangkat jadi anggota board, kemudian Vice President, sebelum menjadi President 2007–2010 dan 2010– 2013.
Sekarang semua anak Anda dilibatkan di proyek-proyek Ciputra Residence?
Saya memang berharap mereka jadi penerus di manajemen. Bidang kuliah mereka tidak penting, karena menurut saya sekolah itu hanya membentuk daya fikir kecuali kita mau jadi spesialis. Proyek di Shenyang dipegang anak ketiga, laki-laki 26 tahun, lulusan mechanical engineering Imperial College London, sekolah teknik terbaik di Inggris. Anak pertama perempuan, 28 tahun, ambil jurusan hospitality di Swiss, kerja dulu di hotel Mandarin Oriental (London), baru bantuin di CitraGarden Jakarta dan CitraGrand Palembang. Anak kedua perempuan juga, 27 tahun, kuliah di sebuah sekolah perempuan ternama di Boston yang antara lain meluluskan dua Menlu AS (Madeline Albright dan Hillary Clinton), ambil bidang fisika dan ekonomi, sekarang pegang CitraRaya. Sedangkan yang keempat laki-laki, 22 tahun, baru lulus kuliah dari Imperial College London jurusan teknik sipil. Setelah kembali semuanya saya taruh dulu di business development, biar ngerti alur proyek sejak memilih lokasi, membeli tanah, sampai mengembangkan dan memasarkannya. Proyek Anda di daerah-daerah juga berskala besar? Kita masuk ke daerah-daerah karena setelah otonomi uang makin banyak ke daerah, orang-orangnya juga makin mampu. Soal luas proyek ratusan hektar kita jangan hanya melihat pasar di ibu kota provinsi, tapi juga dari daerah-daerah tingkat duanya. Otonomi kan di kabupaten dan kota. Kenyataannya proyek kita laku, karena orang melihat track record dan komitmen Ciputra, selain karena di kota-kota itu belum ada pengembangan terpadu berskala kota.
Lebih susah mana, berbisnis di Indonesia atau luar negeri?
Kalau dibilang di sini lebih sulit, kita sudah mengenal medannya. Sedangkan di sana mungkin kurang sulit, tapi kita tidak mengenal situasinya. Di sana kita belum dikenal, jadi harus berjuang meyakinkan pasar, di sini ke mana-mana orang sudah tahu kita, entry point-nya lebih enak.
Anda pernah jadi politisi, lebih banyak enaknya atau dukanya?
Kalau jiwanya memang ke sana mungkin lebih enak. Tapi, saya tidak punya backround keluarga politisi, jadi kurang menikmati. Tapi, saya berpendapat ada baiknya pengusaha ada di DPR. Paling tidak dalam diskusi dapat memberikan sudut pandang lain, jangan hanya sudut pandang politik, sehingga regulasi atau kebijakannya lebih komprehensif.
Sumber: Majalah HousingEstate