HousingEstate, Jakarta - Tidak harus berlatar belakang teknik untuk menggeluti bisnis properti. Siapapun bisa asal punya modal, kemauan, komitmen, dan pandai melihat peluang. Jangan heran tidak sedikit pengusaha dari bisnis lain yang masuk ke bisnis properti. Mulai dari pengusaha kimia sampai pemilik warung padang. Salah satunya Hartono Hosea, pengusaha otomotif di bawah bendera Sun Motor. Diawali sebuah hotel di Solo, disusul di kota-kota besar lain di Jawa dan Bali bisnis properti Sun Motor Group melalui Sunindo Primaland meluas ke properti ritel dan perumahan.
Kalau hotel dikembangkan sendiri (kecuali satu kondominium hotel di Bali yang dikerjasamakan dengan Gapuraprima Group), properti ritel dan perumahan di-develop bersama pengembang lain. Semua hotel dipercayakan pengelolaannya kepada Accor yang memiliki segudang brand: Sofitel, Pullman, M Gallery, The Sebel, Novotel, Mercure, Adagio, All Season, Ibis, Formule1, dan HotelF1, kecuali satu hotel di Solo yang dioperatori Haris Hotel, dan satu lagi di Bali oleh Best Western Premier. Berikut perbincangan Yoenazh Khairul Azhar dan fotografer Susilo Waluyo dengan Presdir Sun Motor Group itu di kantornya di Jl Matraman Raya, Jakarta Timur, pekan kedua Desember lalu.
Bagaimana cerita Sun Motor berbisnis otomotif?
Dimulai tahun 1972 di Solo dengan membeli satu dua mobil di dealer, kemudian dijual lagi. Yang bergerak Ibu saya, Ayah mensupport. Ibu memang suka bisnis, suka buat bunga-bunga hiasan dari kain, sebelum jual beli mobil. Pertama kali punya dealer sendiri tahun 1986 di Solo, itu mobil Mitsubishi. Tahun 1987 di Jakarta baru jadi dealer Indomobil. Untuk Mitsubishi di Jawa-Bali kita punya 30-an cabang (dealer). Di luar Jawa-Bali tidak ada. Cabang Semarang dan Jakarta khusus Suzuki. Sampai sekarang bisnis Sun Motor paling besar masih Mitsubishi, hampir 2.000 mobil kita ambil tiap bulan. Untuk Mitsubishi kita nomor satu di Jawa, tiga besar di Indonesia. Setelah itu baru Suzuki, dan (merekmerek lain dari Indomobil seperti) Nissan, Hino, Chevrolet, dan Renault (dalam persiapan). Untuk Toyota kita hanya subdealer di Kudus. Ibu saya Imelda Tio (70 tahun) masih aktif mengelola perusahaan di Solo, terutama memeriksa laporan keuangan. Ayah Sundoro Hosea sudah meninggal tiga tahun lalu. Kantor pusat kita tetap di Jebres (Solo), Jakarta kantor wilayah utama.
Anda sendiri ikut mengelola Sun Motor sejak kapan?
Setelah lulus S1 finance and banking dari De La Salle University, Manila (Filipina), tahun 1987. Maunya saya melanjutkan ke S2 dulu, tapi orang tua melarang. Alasannya, butuh orang untuk membantu bisnisnya. Tugas saya setelah lulus kuliah, mengelola cabang pertama Sun Motor di Jakarta di tempat kita ngobrol sekarang ini.
Kapan masuk bisnis properti?
Sejak tahun 1997. Fokus kita di hotel. Yang pertama Novotel Solo yang kita bangun tahun 1995 dan beroperasi tahun 1997. Tahun 1996 kita bangun juga Novotel Semarang, tapi karena krismon 1998 dihentikan dan baru dilanjutkan tahun 2004. Setelah itu menyusul hotel-hotel lain di Yogyakarta termasuk Sun Premira Condotel & Residence, Bali, dan Jakarta di Jl Daan Mogot yang akan beroperasi tahun depan. Total kita sudah punya 11 hotel termasuk yang dibangun tahun depan di Semarang. Semuanya hotel bintang empat plus sampai hotel budget di bawah jaringan Accor. Di antaranya Novotel Solo, MGallery Solo, Solo Paragon Hotel, Ibis Solo, Novotel Semarang, Ibis Budget Semarang, Ibis Kuta, All Season Denpasar, MGallery The Phoenix Hotel Yogyakarta, Sun Premira condotel & residence Yogyakarta, The Sun Heritage Best Western Premier Kuta, dan Ibis Budget Daan Mogot (Jakarta). Ke depan kita akan bangun 10 hotel lagi. Operatornya tetap Accor. Saya tidak ambil yang bintang lima kayak Pullman, karena buat kami lebih baik punya tiga hotel bintang empat dan tiga daripada hanya satu hotel bintang lima.
Kenapa masuk bisnis properti?
Untuk penyeimbang saja. Bisnis otomotif itu naik-turunnya seperti roller coaster, hari ini untung banyak, besok bisa rugi. Kayak tahun 2012 itu otomotif booming, tahun ini (2013) bonyok karena permintaan drop. Kita tidak bisa minta jatah mobil dikurangi, karena sudah kadung order tahun sebelumnya. Beda sama hotel, lebih stabil, mudah diprediksi kenaikannya.
Kenapa waktu itu memilih hotel saat mobilitas orang belum setinggi sekarang?
Hotel itu paling gampang. Saya tinggal membangunnya sesuai term & condition Accor, setelah itu serahkan kepada mereka mengelolanya. Jadi, saya tetap bisa mengontrol kedua bisnis itu: mobil dan properti. Saya ngelamar ke Accor supaya mereka mau mengelola hotel kita.
Siapa yang pertama kali memutuskan masuk bisnis properti?
Ibu saya. Waktu itu Ibu bilang, dia ingin punya hotel. Kebetulan kita sudah punya banyak tanah di lokasi strategis, karena Sun Motor memiliki 50 cabang di Jawa dan Bali. Itu yang kita kembangkan. Showroom-nya bisa dipindahkan ke lokasi lain. Lokasi showroom mobil kan tidak harus strategis banget, jualnya pakai salesman.
Kenapa Anda yang dipercaya menangani bisnis properti Sun Motor Group?
Karena sudah banyak saudara yang mengurus bisnis mobil dan Ibu merasa saya punya banyak kenalan di dunia properti. Di otomotif saya lebih soal laporan (keuangan) dan lobi, tiga saudara saya yang lain menangani operasional.
Sekarang Sunindo Primaland juga mengembangkan perumahan?
Perumahan juga gampang, risikonya kecil. Saya sudah punya tanah, saya tawarkan kepada Ciputra untuk mengembangkan karena dia punya nama yang bagus di bisnis properti. Ibaratnya, kalau saya kembangkan sendiri harganya cuma Rp2 juta, dengan Ciputra bisa Rp3 – 4 juta. Ciputra mau karena tidak ada ruginya. Rumah kan bisa dibangun sesuai yang laku. Proyek pertama CitraSun Garden Semarang (20 ha) tahun 2011, sekarang sebagian besar sudah terjual. Kemudian CitraSun Garden Yogyakarta (8 ha) tahun 2012 yang sudah habis. Masih ada satu lagi di Yogyakarta, tapi menunggu saat yang tepat untuk dikembangkan. Kalau di hotel saya terlibat sejak awal pengembangan, di perumahan tidak terlibat karena Ciputra pasti lebih tahu. Di luar hotel dan perumahan, kita juga punya Solo Paragon bekerja sama dengan Gapuraprima Group. Itu mal paling bagus di tengah kota Solo. Ada juga di Bali, kerjasama dengan Ciputra juga, tanahnya kita beli bareng. Ini rencananya mal seperti City Walk (di proyek-proyek Ciputra).
Sekarang semua pengembang masuk bisnis hotel, apa pasarnya tidak jenuh?
Yang jenuh itu menurut saya hotel di Bali. Suplainya sudah banyak sekali. Sekarang banyak hotel dijual. Saya banyak ditawari yang sudah atau hampir jadi. Terus terang hotel saya yang terakhir di Bali jelek performancenya. Saya punya enam di Bali, saya jual tiga. Sisanya dua sudah beroperasi, satu masih dibangun. Orang tetap semangat bangun hotel di Bali, karena orang kalau belum punya tanah di Bali belum merasa orang Indonesia. Harga tanah di Bali gila-gilaan. Dulu saya beli dekat Sunset Road Rp5 juta per meter, kini sudah Rp30 juta.
Kalau memang sudah jenuh, kenapa tetap mau membangun 10 hotel lagi?
Di luar Bali seperti Jakarta, Semarang, Yogya, pasar belum jenuh. Accor itu operator hotel nomer satu di Indonesia. Dia tahu mana yang sudah jenuh, mana yang belum. Saya masuk ke lokasi dan segmen yang belum jenuh. Kontrak mereka dengan kita langsung 15 tahun, nanti bisa diperpanjang 10 tahun. Kalau tidak yakin dengan prospek hotelnya, mana mau mereka kontrak jangka panjang. Operator lain kontraknya hanya beberapa tahun atau paling lama lima tahun, cuma pinjam nama, setelah itu pergi. Kayak di Yogya kita punya Sun Premira condotel & residence. Ada empat kondotel lagi dari developer lain. Tapi, coba tanya laku nggak, sudah ada izinnya nggak? Kita yang pertama izinnya keluar. Lokasi kita juga paling bagus. Operatornya Accor. Coba cari ada nggak kondotel di Yogya yang Accor mau kelola? Karena itu kita berani naikkan harga 30 persen.
Tapi, Sun Premira katanya sempat mandek?
Saya orang yang mau enak tidur, nggak mau diperesin orang. Kita bukan tipe orang yang pakai backing. Sesuai prosedur saja. Izinnya belum keluar, kita nunggu. Kalau sudah keluar, kita start. Kalau mau koboi, bisa susah sendiri. Kita kan nggak pernah tahu, ada pemilu, kekuasaan berubah, jagonya hilang, bisnis disegel, garuk-garuk deh. Kita nggak mau risiko seperti itu. Bahkan, bayar pajak pun kita apa adanya karena nggak mau diperes itu. Accor juga nggak mau macammacam, karena kalau ketahuan bikin double pembukuan dia dipulangkan ke Paris (kantor pusat Accor, Red). Lagian pusing kalau punya banyak perusahaan ngarang-ngarang pembukuan. Bikin satu yang bener saja sudah tel-telan (susah).
Selain bisnis mobil dan properti, Hartono juga hobi fotografi. Bahkan, setelah bergabung dengan The Looop Indonesia yang didirikan fotografer profesional Sam Nugroho, ia menjadikan hobi itu sebagai bisnis tersendiri. Di agensi foto komersial yang menangani mulai dari company profile, katalog, print ad, iklan, foto fashion dan produk, digital imaging, sampai model management itu, spesialisasinya fashion photography di dalam studio. Karena spesialisasi itu ia sempat diminta bos MNC Group Hary Tanoesoedibjo memotret ajang Miss World 2013 yang diadakan grup usaha itu di Bali medio September 2013.
Sejumlah karya bapak dua anak remaja ini juga dipakai di beberapa majalah fashion dan gaya hidup, kendati honornya tidak ada apa-apanya baginya. Ia juga memajang hasil fotonya di Instagram (@h2photography), Twitter (@h2photography), dan laman Facebook (h2 photography dan Hartono Hosea). Menurut pria kelahiran Solo, 4 Juni 1965 ini, ia orang yang pembosan. Karena itu hobinya selalu berganti-ganti dalam hitungan bulan. Tapi, ketika kenal dunia fotografi, ia tidak pernah bosan. Makanya ia menekuninya.
Memang, uang dari bisnis fotografi tidak seberapa dibanding bisnis mobil dan properti. “Tapi, saya menemukan sesuatu di dunia fotografi. Dulu saya tertutup, nggak banyak omong, terkesan sombong, kini ketemu banyak orang, mau sharing, dibonceng naik motor oke, dipanggil nama saja nggak masalah walaupun kebanyakan malah panggil bas bos bas bos mulu,” tuturnya.
Ia juga tidak sakit hati kalau hasil fotonya dikiritik, malah dijadikannya bahan perbaikan The Looop. “Kecuali kalau kritiknya ngawur. Misalnya, ada kawan yang bilang, terang aja foto Hartono bagus, kameranya mahal. Kritik begini saya delete aja. Soalnya, beda alat yang bagus dan kurang bagus terhadap hasil foto itu hanya satu. Yang satu kalau hasil fotonya digedein pecah, yang lain nggak. Kualitas karya tergantung orang di belakang kameranya, bukan harga kameranya,” jelas pria yang sehari-hari tampil apa adanya ini.
Belakangan Hartono mendirikan The Looop Akademie di Central Park, Jl S Parman, Jakarta Barat, sebagai wadah kaum muda memperdalam keahlian fotonya. Pengajarnya para fotografer profesional dari The Looop. Kantor pusat The Looop sendiri di kawasan SCBD, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Selain itu ia juga akan membuka studio wedding photography di salah satu bakal hotelnya di Matraman. “Wedding photography memang lebih sedikit duitnya, tapi kita dibayar di muka. Setelah selesai langsung dilunasi. Tidak seperti fotografi komersial, dibayarnya belakangan dan suka lama baru lunas,” kata alumni SMA Santo Yusup, Malang, ini.
Sejak kapan suka fotografi?
Sejak tahun 2007 dimulai dengan kamera Canon. Awalnya saya mau beli komputer karena suka bikin program-program. Tapi, penjualnya menyarankan beli SLR (single–lens reflex atau kamera profesional, Red). Kemudian saya coba-coba, ikut les, masuk klub-klub foto, hunting sana-sini, dan belajar dari Pak Sam (Nugroho). Eh, sudah empat tahun nggak bosen. Sekarang saya sudah ganti kamera dengan Nikon sampai ditunjuk jadi salah satu ambassador-nya di Indonesia.
Kapan mulai bergabung dengan The Looop?
The Looop sebenarnya sudah berdiri sejak 20 tahun lalu. Kita bagian The Looop International yang memiliki cabang di Singapura, Hongkong, Shanghai, dan Jerman. Saya bergabung tahun 2011 setelah dikenalkan dengan Pak Sam. Saya ngurus manajemennya, Pak Sam bagian hasil fotonya.
Kenapa kemudian menekuni foto fashion di studio?
Foto fashion tidak banyak buang waktu, segala perlengkapan sudah disiapkan. Jadi, tidak mengganggu bisnis mobil dan properti saya. Saya bisa menjalankan hobi dan bisnis fotografi hari Sabtu atau Minggu. Mengajar di The Looop Akadamie juga hari terakhir kursus saja, sebagai bonus buat peserta.
Anda tidak tergoda dengan modelmodel yang anda potret?
Kalau saya fotografer gembel, mungkin mereka (model) nggak mau sama saya. Tapi, kalau saya “sesuatu”, saya harus jaga, kasih tembok. Model itu kan bebas buka ini ganti pakaian itu. Kalau mereka mancing-mancing,minta foto aneh-aneh dan saya ladeni, saya akan rusak. Jadi, walaupun saya motret begini (menunjukkan kedekatan fotografer dengan model fotonya), tetap ada tembok. Saya tidak berani nabrak, karena yang saya gendong di belakang saya banyak. Kesadaran itu mengontrol. Karena itu istri dan keluarga nggak masalah dengan hobi ini.
Kritik Anda terhadap dunia fotografi?
Kita punya banyak fotografer bagus. Tapi, kebanyakan terlalu ngeyel soal kualitas karyanya, dikritik sedikit ngamuk. Jarang yang memikirkan bagaimana mengemas dan menjual karyanya serta mengelola bisnisnya. Contoh kecil saja, untuk foto wedding kalangan atas, penampilan fotografernya tetap slengekan. Alasannya, yang penting kualitas fotonya bagus. Padahal yang dihadapi ibu-ibu kaum sosialita. Harusnya bisa lebih rapi untuk memberikan kesan positif. Karena itu penghargaan terhadap fotografer di Indonesia masih rendah.
Sumber: Majalah HousingEstate
atau
Unduh versi digitalnya WayangForce, Scoop & Scanie.