HousingEstate, Jakarta - Banyak faktor yang memengaruhi naik atau turunnya harga sebuah komoditas. Hanya saja untuk sektor properti, kenaikan harga masih sangat dipengaruhi oleh faktor pengembang ketimbang faktor ekonomi. Menurut Direktur Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, karakteristik pasar properti kita lebih besar didorong oleh supply driven dan bukan demand driven.
“Pengembang akan terus menaikkan harga produknya ketika permintaaan sedang tinggi dan tidak ada instrumen yang bisa mengendalikannya sampai nanti harga tersebut over value atau pasar di lokasi tersebut sudah jenuh,” ujarnya kepada housing-estate.com di Jakarta, Rabu (14/1).
Faktor lainnya seperti kenaikan bahan bakar minyak (BBM), tidak berpengaruh secara langsung ke kenaikan harga properti. Hal ini dikarenakan kenaikan BBM akan memengaruhi biaya produksi tidak secara tiba-tiba tapi melalui proses sekitar tiga bulan. “Jadi kalau pun harga BBM turun, pengaruhnya juga tidak terasa di properti. Paling kalau BBM naik daya beli tergerus karena harga komoditas lain yang langsung naik,” imbuhnya.
Ali juga menyebut saat ini merupakan kondisi di mana harga properti tengah tertahan karena tergerusnya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga komoditas, kenaikan bunga KPR, dan kondisi pasar properti yang sudah jenuh karena kenaikan harga yang sudah sangat tinggi dalam tiga tahun terakhir. Ia memperkirakan harga properti akan naik kembali sekitar 3-7 persen pada triwulan pertama di tahun ini.
“Dengan karakteristik pasar properti kita yang seperti ini, pemerintah seharusnya membuat instrumen yang dapat mengendalikan harga tanah agar tidak didominasi oleh pengembang. Pemerintah harus menjadi master developer melalui bank tanah (land bank) yang dimilikinya, sehingga pengembang juga mikir-mikir kalau mau menaikkan harga produknya,” tandasnya.