Mengadopsi barang bekas dan perabot bergaya lama untuk menghadirkan gaya interior masa lalu.
HousingEstate, Jakarta - Menjelang pukul 10 pagi hari itu, lima perempuan muda dengan menenteng tas olah raga melangkahkan kaki ke restoran Mangia usai mengikuti kelas senam di bangunan sebelah. Duduk di lantai atas mereka langsung memesan makanan favorit. Sementara di smoking area masih di lantai yang sama, nongkrong sekelompok pengunjung lain yang menikmati sarapan sembari bercengkerama sejak satu jam sebelumnya.

Teras sederhana seperti di rumah
Mangia, restoran yang buka sejak Maret 2013 setiap pagi ramai dikunjungi pelanggan. Buka pukul 08.00–22.30, restoran ini menempati sebuah bangunan sewa yang berjejer di pinggir Jalan Panglima Polim V, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Di sampingnya berdiri sebuah tempat senam dan kedai kopi. Lokasinya memang pas, di tengah pemukiman dan bersinggungan dengan kawasan perdagangan/perkantoran di Jalan Raya Fatmawati. Dengan tampilan resto yang teduh layaknya sebuah rumah, yang lewat di depannya pasti tergoda ingin mampir.
Perabot vintage
Mendatangi Mangia seperti sedang mengunjungi rumah nenek. Desain eksterior dan interiornya mendukung atmosfer itu. Suasana rumah yang seakan-akan sudah terbangun lama terasa sejak menginjakkan kaki di teras sampai ke seluruh sudut ruang di bagian dalam. “Konsep rumah oma mewakili interior yang homey, nyaman dan hangat,” kata Annisa Mulyani, satu dari empat pemilik Mangia. Tiga pemilik lain adalah Sim F, Heidy Sudjiatmoko, dan Rama Dauhan.

Kursi meja vintage berwarna mewakili kesan interior gaya jadul Lorong berhiaskan
Semua perabot restoran mengambil gaya vintage seperti meja dan kursi ditambah ragam aksesori bertema sama. Perabot untuk ruang dalam dirancang dan diproduksi sendiri, sedangkan furniture ruang luar adalah barang bekas yang sebagian merupakan hasil perburuan empat sekawan pemilik Mangia itu ke beberapa kota. Desain dan pembuatan meja kursi diserahkan kepada Heidy yang memiliki showroom furnitur.
Resto berkapasitas 70 kursi ini terdiri dari dua lantai dengan bentuk bangunan memanjang di atas lahan seluas 90 m2. Area makan di luar sengaja dirancang seperti teras rumah. Di sini ditempatkan kursi-kursi bekas jadul. Beberapa model kursi dengan dudukan kayu tipis berangka besi putih berikut mejanya serta barisan kursi besi tali plastik warna-warni, betul-betul mengingatkan kita pada isi rumah nenek di masa lalu.
Lantai dasar diisi bar yang menyuguhkan kopi dan minuman ringan non-alkohol. Meski ukuran ruang tidak besar, masih bisa ditempatkan sederet meja dengan dua kursi. Kap-kap lampu unik menghiasi plafon, seperti kap berbentuk rantang nasi jadul dari enamel dan bekas cetakan agar-agar. Sebagian dinding dilapisi kaca cermin agar interior terkesan luas. Yang menarik, di lantai ini ada lorong sempit sepanjang sekitar 7 meter menuju lantai dua, hasil lay out lantai dasar yang asimetris.
Plafon botol
Berbeda dengan lantai dua yang berbentuk persegi panjang, sebagian ruang di belakang area makan+bar di lantai satu “dicaplok” bangunan sebelah yang menjadi tempat senam. Walhasil lay out ruangnya menyisakan sebuah lorong selebar satu meter. Agar tetap memiliki fungsi dan estetik, lorong itu dijadikan area sirkulasi orang dengan desain unik: dihiasi kaca dan bata ekspos berwarna putih. Untuk menguatkan kesan vintage, plafon sepanjang lorong juga dibuat nyentrik dengan memajang jajaran botol bekas hasil berburu di Yogya.

Lorong berhiaskan plafon botol
Tidak berhenti di situ. Tangga kayu menuju lantai atas, setiap anak tangganya dihiasi angka-angka penunjuk nilai kalori. “Mengingatkan pengunjung bahwa menaiki satu atau beberapa anak tangga akan menurunkan sekian kalori, sesuai dengan yang tertera di tangga,” jelas Annisa. Sebagai aksen satu kursi ditempatkan di ujung tangga dan dindingnya dihiasi mural sederhana.
Lantai dua terbagi antara ruang merokok dan no smoking area dengan menaruh mejakursi bergaya sama dengan di lantai bawah. Di sini interior bergaya lama digarap agak berbeda, yakni dengan memasang ubin tegel berwarna cerah, yang dipesan dari Pondok Labu, Jakarta Selatan. Sebagai dekorasi ruang, enam jendela jalusi kayu ditempel di dinding dengan warna-warna lembut. |
Sumber: Majalah HousingEstate