HousingEstate, Jakarta - Wacana penghapusan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dilontarkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan, ditanggapi datar oleh pengembang. Selama ini NJOP ditetapkan oleh pemerintah (Ditjen Pajak) sebagai patokan pembayaran PBB.

Apabila NJOP itu dihapus pengenaan pajaknya  khususnya BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) didasarkan pada harga transaksi. Untuk itu pemerintah akan menerapkan sistem zonasi (zoning), yaitu patokan harga pasar di suatu wilayah. Selain itu wacana penghapusan PBB juga terbatas pada tiga obyek, yaitu rumah tinggal, rumah ibadah, dan fasilitas sosial. Fasilitas komersial tetap dikenakan PBB.

Menurut Wahyu Widodo, Project Manager PT Adhi Persada Properti, kebijakan ini akan membuat developer yang memiliki landbank akan membayar pajak yang lebih besar. Tapi hal ini tidak menjadi masalah karena biaya tersebut oleh pengembang akan dibebankan kepada harga jual rumah.

“Selama ini pun developer tidak pernah menjual produknya berdasarkan NJOP, tapi pasti berdasarkan harga pasar,” kata Wahyu kepada housing-estate.com di kantor pusat APP Jakarta, Senin (2/2).

Sebaliknya, imbuh Wahyu, pengembang yang punya landbank besar akan diuntungkan karena nilai asetnya bertambah besar. Selain itu kenaikan harga tanah setiap tahunnya jauh lebih tinggi dari kenaikan pajak. “Kenaikan harga tanah bisa mencapai 50 persen per tahun, sementara nilai pajak tidak akan setinggi itu,”  katanya..

Ia mencontohkan NJOP di Jl Jend  Sudirman, Jakarta,  kendati dinaikkan ratusan persen tetap saja harga pasarnya lebih tinggi. Lain masalahnya dengan rencana perubahan obyek PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) untuk rumah dan apartemen yang batasannya diturunkan. Menurut Wahyu, kebijakan ini akan menggerogoti daya beli konsumen dan gilirannya melemahkan pasar properti.  Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang PPnBM, apartemen seharga di atas Rp2 miliar akan dikenakan PPnBM, dari sebelumnya di atas Rp10 miliar.

Jika ketentuan ini diberlakukan total pajak yang ditanggung konsumen sebesar 45 persen untuk propertinya. “Ini pajak tertinggi untuk properti yang ada di dunia, Singapura saja pajak untuk propertinya tidak melebihi 20 persen,” ujarnya.