HousingEstate, Jakarta - Program pembangunan satu juta rumah pemerintahan Jokowi-JK yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah dan memperkecil angka backlog dinilai terlalu ambisius. Realisasi pembangunan rumah selama ini masih jauh dari angka tersebut. Kendati demikian program ini harus didukung semua kalangan terkait karena rumah merupakan kebutuhan pokok dan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat.
“Jadi program ini memang seperti impossible mission, tapi dengan spirit bersama kita harus yakin bisa memenuhi target pembangunan sejuta rumah ini,” ujar Syarif Burhanuddin, Direktur Jenderal (Dirjen) Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera), kepada housing-estate.com di Jakarta, Kamis (5/2).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), saat ini ada backlog atau defisit kebutuhan perumahan mencapai 13,2 juta, sementara pertumbuhan rumah tangga baru sebanyak 800 ribu per tahun. Menurut Syarif, angka backlog itu mencakup kepemilikan sebanyak 7,6 juta dan kekurangan dari sisi penghunian. Kekurangan penghunian bentuknya penyediaan rumah susun sewa (Rusunawa).
“Baik kepemilikan dan kepenghunian ini akan dikerjakan oleh pemerintah, artinya program satu juta rumah itu juga mencakup hunian sewa. Selama ini rata-rata pembangunan rumah sebanyak 400 ribu unit, jika ditambah dengan 800 ribu rumah tangga baru per tahun, maka untuk mengurangi backlog ketemu angka satu juta unit,” jelasnya.
Dari target satu juta rumah itu sebanyak 600 ribu unit akan dibangun pemerintah melalui Perumnas untuk masyrakat berpenghasilan rendah (MBR), sisanya dibangun pengembang swasta, dan swadaya masyarakat.
“REI sanggup 250 ribu, kemudian Pemda 1.500-2.000 unit, karena perumahan merupakan urusan Pemda. Institusi lain juga terlibat, seperti Apersi, Apernas, BPJS. Ini menjadi agenda utama bersama, daerah mana dibangun berapa unit, jadi semuanya jelas dan semuanya terlibat,” tandasnya.