HousingEstate, Jakarta - Di kota-kota besar kebutuhan rumah dipenuhi perusahaan developer melalui pengembangan real estate. Supaya pengembangannya mengikuti kaidah-kaidah arsitektur dengan mempertimbangkan keberlanjutan kota yang memadat, keterlibatan arsitek profesional menjadi penting. Mereka memiliki konsep desain yang lebih kuat dan matang, baik dalam penyelesaian masalah ruang, konstruksi, maupun estetika. Makin besar keterlibatan mereka dalam pengembangan real estate, kian bagus buat perkembangan kota dan penduduknya.

Sayang sampai sekarang masih sangat sedikit real estate yang tersentuh tangan arsitek profesional. Kalaupun ada terbatas pada sejumlah kecil rumah untuk kalangan atas di sejumlah mini real estate atau di satu dua klaster hunian di beberapa perumahan berskala besar. Developer enggan memakai arsitek profesional karena tidak yakin desainnya laku dijual, sementara arsitek tidak percaya developer akan memberinya keleluasaan mendesain.

Seorang arsitek tersohor menyebut developer memandang rumah kurang lebih serupa dengan sandal dan sepatu yang diproduksi seragam tanpa jiwa, bukan tempat orang bermukim dan mengembangkan dirinya. “Real estate kita hanya berisi jajaran bangunan yang dingin mirip barisan tentara,” katanya. Kenapa arsitek profesional masih seperti minyak dan air dengan developer?

Berikut perbincangan Yoenazh Khairul Azhar, Halimatussadiyah, dan fotografer Susilo Waluyo dengan Vincentius Hadi Soetjiadi, principal Hadivincent Architects, yang berkantor di kawasan perumahan Alam Sutera, Serpong, Tangerang-Provinsi Banten, awal Januari. Hadivincent adalah satu dari sangat sedikit arsitek profesional yang karyanya bisa diakomodasi banyak developer di Indonesia.

Kenapa arsitek profesional perlu mengerjakan proyek real estate?

Kontribusi arsitek yang terbesar itu harusnya di rumah real estate karena rumahnya dibuat untuk banyak orang. Proyeknya nggak sedikit, lahannya luas, rumahnya sangat banyak. Jadi perlu kita beri perhatian lebih. Real estate-nya akan lebih bagus, pengaruhnya akan luas kepada masyarakat.

Kenapa mereka belum mewarnai proyek real estate?

Mungkin belum banyak yang bisa menyesuaikan diri. Kadang-kadang mereka diminta mendesain sebuah proyek tapi nggak continue. Setelah dua tahun baru dipanggil lagi sama developer. Kalau kita sudah continue.

Bagaimana membuat mereka mau mendesain rumah real estate?

Arsitek harus coba memahami developer, berkompromi. Komprominya sejauh mana itu memang sulit, perlu proses belajar. Arsitek harus idealis dalam arti menaati kaidah-kaidah arsitektur dalam mendesain, tapi tidak bisa memaksa orang harus seperti kita melihat desain rumah. Kadang-kadang arsitek begitu disodorin proyek developer sudah negatif. Wah, ribet, bujetnya terbatas, diubah-ubah terus. Tidak coba dieksplorasi lebih jauh. Buat saya itu tantangan. Bagaimana membuat desainnya seidealis mungkin. Pasti banyak hambatan. Dibanding mengerjakan rumah pribadi, bekerja untuk developer jauh lebih sulit karena kita bikin rumah untuk semua orang. Kalau rumah satu orang tinggal diskusi dengan pemiliknya, rumah real estate bertemu owner proyek yang mau ini itu tapi yang menempati rumahnya nanti bukan dia. Karena itu yang pertama saya pelajari segmen rumahnya seperti apa. Saya coba memahami pola hidup mereka. Saya suka garis desain yang simpel, tapi saya nggak memaksakan selera itu, karena kalau nanti setelah ditempati 1–2 tahun terus rumahnya sudah ditambahi segala macam, desain saya nggak berhasil. Saya lebih happy menciptakan apa yang mereka mau tapi tetap dalam koridor idealisme arsitektur.

Saya garis desain yang simpel, tapi saya nggak memaksakan selera itu, karena kalau nanti setelah ditempati 1–2 tahun terus rumahnya sudah ditambahi segala macam, desain saya nggak berhasil.

Bagaimana arsitek meyakinkan developer?

Arsitek perlu pandai mengemukakan konsep, berkomunikasi, melakukan pendekatan. Mungkin itu salah satu kesulitan arsitek mendesain real estate. Pendekatannya. Kita harus seperti air mengalir. Kita arahkan sedikit demi sedikit. Nggak terasa mereka ngikutin kita. Jangan langsung keukeuh dengan konsep kita. Saya juga nggak mau ikut aja maunya developer. Saya nggak bisa kerja hard sale. Kan banyak tuh developer baru yang maunya cepat untung. Panggil kita, terus minta desainnya satu minggu selesai, tampak depan rumahnya sudah ditentukan begini-begini. Kalau cuma satu minggu kita bisa mikir apa? Untuk klien baru minimal satu bulan. Setiap developer kan punya karakter berbeda-beda, segmen jualannya juga beda. Kita perlu pelajari detil pasar mereka, lingkungannya bagaimana. Setelah kenal, tahu apa yang mereka mau, untuk proyek berikutnya satu minggu saya bisa kerjakan.

Nyatanya idealisme yang kita komunikasikan itu bisa diterima developer. Mereka yang tadinya hard sale sekarang mau ikut konsep kita. Malah setelah mulai punya kekuatan desain, mereka yang cari kita, karena kita dianggap punya experience (menangani proyek developer). Ini yang saya lihat temanteman itu kesulitan. Rumah kan untuk ditinggali sehari-hari, bahkan seumur hidup. Jadi, paling nggak bisa idealis karena berhubungan dengan maunya pemakainya. Maunya ini itu tapi bujetnya terbatas. Sejak awal kita sudah harus menyadari kita mendesain untuk developer. Karena itu kita harus berupaya mendidik mereka agar punya taste (arsitektur), memperhatikan desain rumahnya, nggak cuma jualan.

Anda pernah bekerja di perusahaan developer?

Saya 10 tahun bekerja di Ciputra Group (salah satu perusahaan developer terbesar di Indonesia) tahun 1990–2000. Saya belajar cara berpikir mereka. Menurut saya pemikiran mereka nggak jelek. Mereka tidak sekedar mau jualan terus dapat uang. Mereka juga memikirkan sisi arsitektur rumahnya. Mungkin karena Ciputra (pendiri dan pemilik Grup Ciputra) arsitek, dia jadi concern. Memang tidak setiap developer begitu. Itu sebabnya awalnya saya hanya menerima developer- developer yang bisa bekerja sama. Istilahnya pilih-pilih (klien)-lah.

Jadi kerja di Ciputra sangat berpengaruh terhadap pencapaian Anda saat ini?

Sangat berpengaruh. Kita tidak hanya berpikir dari sisi arsitek tapi juga berupaya memahami pemikiran developer. Saya berterima kasih kepada Ciputra karena dapat experience di sana. Saat masih kerja di sana tahun 1997 terjadi krisis moneter (krismon). Banyak pengurangan karyawan. Divisi arsitektur kemudian dipusatkan di R&D (penelitian dan pengembangan). Di situ kita mengadakan riset, design development, untuk landed housing yang dikembangkan developer. Ciputra yang punya banyak proyek di berbagai lokasi butuh referensi. Bagaimana satu desain bisa dipakai di banyak proyek tapi tetap bisa diterima konsumennya. Kita riset benar-benar baik bentuk, tata ruang, penggunaan bahan, dan karakter pasar di setiap daerah. Jadi, walaupun bentuk luarnya sama, ada yang berbeda, tata ruangnya misalnya. Konsumen Yogya mungkin nggak suka ruang tamunya tertutup, cenderung terbuka kayak pendopo. Sementara Jakarta kadang orangnya nggak suka terbuka, misalnya karena rumahnya pakai AC semua. Karakter orang Pluit (Jakarta Utara) beda dengan Bintaro (Jakarta Selatan). Bintaro desain rumahnya cenderung open, di Pluit tidak bisa karena bau air lautlah, nyamuk, dan lain-lain. Semua kita coba buat desainnya. Dari situ saya belajar sehingga bisa jadi seperti sekarang.

Sejak sekolah dasar Hadi sudah suka menggambar. Saat ditanya cita-citanya, di buku kenangan sekolah dia menulis “menjadi arsitek”. Maka setamat SMA di Bandung pria kelahiran 1966 ini pun meneruskan kuliah ke Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Unika Parahyangan di kota yang sama. Banyak alumni universitas tersohor ini yang menjadi developer, karyawan perusahaan developer, atau arsitek profesional. Beberapa hari sebelum lulus tahun 1990 kebetulan Ciputra Group mendatangi universitas itu mencari mahasiswa yang mau menjadi karyawannya. “Saya dan beberapa teman terpilih diundang menjadi karyawan. Ya, udah kita terima, nggak susah-susah lagi cari kerja di Jakarta,” kata bapak dua anak ini.

Ia kemudian keluar dari Ciputra Group karena selama tiga tahun krismon 1997– 2000 pengembangan proyeknyas mandek. “Proyek nggak jalan, saya juga nggak kerja, nggak enak juga. Mulailah gatal mau mensket- sket (membuat sketsa desain, red). Saya keluar buka studio sendiri. Proyek pertama rumah pribadi di Dago Pakar (Bandung). Setelah itu berlanjut ke rumah-rumah pribadi lainnya,” katanya. Setelah krismon, bisnis properti bangkit lagi, Hadi dipanggil Ciputra membantu mendesain rumah-rumah yang dikembangkannya sebagai konsultan sampai sekarang. “Untuk landed house (rumah tapak) seluruh proyek Ciputra pernah kita tangani termasuk yang di luar negeri,” ujarnya. Belakangan kliennya meluas ke developer besar lain seperti Sinarmas Land, JSI, Belaputra Intiland, Jaya Group, Intiland, dan perusahaan developer baru.

Sebenarnya untuk rumah real estate yang disebut idealis itu seperti apa?

Misalnya, kalau penghuni rumah hanya empat kita nggak perlu ruang makan atau living room yang besar. Cukup segini (menunjukkan bidang kecil segi empat), sisanya taman supaya orang makan enjoy, menikmati suasana, tidak ada pemborosan ruang. Itu yang sering saya jelaskan kalau mendesain. Rumah harus punya ambience, suasana. Fokus desain saya ke situ. Kalau ditanya selera pribadi, ambience yang saya suka itu rapi, simpel, banyak ruang terbuka, terkesan luas, sirkulasi udaranya lancar. Tentang rumah harus nyaman, enak, itu pasti, kaidah-kaidah dasar arsitektur yang memang harus masuk.

Berarti rumah itu subjektif. Rumah real estate bagaimana subjektifitasnya karena yang akan menempati kita tidak tahu?

Itulah tantangannya. Makanya kita coba atasi dengan mencari tahu karakteristik pasarnya, karena seperti sudah dikatakan tadi, rumah untuk orang di Bintaro akan berbeda dengan di Pluit. Jadi kalau dipanggil developer saya nggak mau hanya disuruh menggambar. Saya harus tahu dulu segmen pasarnya, karakternya seperti apa. Sejak awal kita sudah harus sadar, rumah itu mau dijual kepada orang, harus laku. Kalau rumah pribadi klien saya pemilik rumahnya, rumah real estate kliennya calon konsumen rumah itu. Saya mendesain untuk mereka.

Pernah tidak desain Anda diobrak-abrik lagi saat diaplikasikan developer?

Selama ini nggak pernah, paling disesuaikan sedikit. Desain kita cocok-cocok saja sama developer, tidak ada kesulitan. Yang sulit itu sebenarnya di pasar. Coba, rumah 6 x 15 m2 apa yang mau kita explore bua

developer supaya rumahnya laku? Hanya kamar-kamar dan ruang keluarga. Rumah pribadi tinggal mencatat pola hidupnya. Dari situ kita buat desainnya. Secara desain lebih mudah dan enak. Kaidah arsitekturnya masuk, kita juga leluasa bereskplorasi. Rumah real estate tidak. Orang marketing mau begini, orang teknik begitu, datang owner lain lagi. Bolak-balik. Biasanya kita arahkan. Kita dengarkan maunya mereka, kita keluarkan desainnya, kita yakinkan bahwa itu akan laku. Saya agak sulit kalau developer hanya mementingkan tampak depan (fasad), karena fasad itu sama denah sangat berkaitan. Fasad mengikuti layout. Waktu mendesain denah saya sudah tanya, mau style rumahnya ke arah apa, karena tropical modern itu beda dengan klasik denahnya. Kalau rumahnya tropical modern terus minta diubah jadi klasik, denahnya harus saya ubah juga, karena masing-masing punya kaidah desain. Itu yang saya sebut idealisme. Arsitek pasti nggak bisa hanya jadi tukang gambar, ikut saja maunya developer.

Bagaimana soal bujet?

Saya tanya dari awal, bujetnya berapa. Kita mendesain dari situ. Kalau maunya pakai marmer, kita bisa bilang oh nggak bisa, diganti granite tile aja (yang lebih murah) tapi secara arsitektural tetap masuk. Daripada nanti launching katanya pakai marmer, terus waktu dibangun diganti cat motif marmer. Itu kan buat kita nggak happy. Kalau sebagian desain arsitek terlalu banyak diubah waktu aplikasi, itu karena soal bujet tidak ada komitmen dari awal. Arsitek ikut saja mau developer, padahal bujetnya tidak cukup.

Sekarang proyek Anda kebanyakan rumah pribadi atau real estate?

Yang private saya batasi. Buat saya rumah pribadi itu harus benar-benar detil, seksama. Karena itu saya nggak mau megang banyak-banyak. Rumah developer mungkin nggak sampai detil sekali karena percuma saja, tidak akan masuk budget. Kita desain basic saja, plafonnya rata misalnya. Jadi, kalau setahun saya pegang lebih dari 20 proyek real estate, rumah pribadi maksimal 5–10 proyek. Developer itu sudah terduga, minta sket hari ini mau launching bulan depan, klien rumah pribadi susah diduga. Hari ini datang minta diubah, nanti datang diubah lagi. Senangnya rumah pribadi itu kita lebih leluasa mengeksplorasi desain, idealisme bisa lebih leluasa.

Rumah Harus Punya ambience, Suasana. Fokus Desain saya ke situ. Kalau ditanya selera pribadi, ambience yang saya suka itu rapi, simpel, banyak ruang terbuka, terkesan luas, sirkulasi udaranya lancar.

Bagaimana dengan fee yang diberikan developer?

Sejauh ini saya cukup puas. Tidak masalah desain saya dipakai untuk 100 atau 500 rumah karena sudah saya perhitungkan. Bahkan kalau rumahnya laku semua saya senang. Berarti desain saya disukai. Yang saya kurang suka kadang-kadang mereka bikin rumah sudut dari desain itu, ubah sendiri desainnya dan cuma info ke kita. Buat saya lebih baik mereka panggil saya, kita desainkan. Kalau bujetnya terbatas, tetap akan kita bantu desain. Sayang kan sudah kita desainkan, mereka ubah-ubah sendiri, terus masih pakai nama kita. Developer juga harus menghargai kita sebagai arsitek. Tahu apa yang kita desain.

Tidak tertarik mendesain rumah kecil untuk kalangan menengah bawah?

Sangat tertarik, pengen nyari malah, sepanjang developernya mau menerima ide kita. Ini yang terpenting. Tidak apa fee-nya sedikit asal mau mengikuti saya. Sayangnya saya belum pernah dapat klien rumah kecil seperti itu, mereka tetap banyak tuntutan. Merancang rumah kecil itu jauh lebih sulit. Kadang arsitek supaya harga rumahnya murah penutupnya pakai GRC saja. Ini sangat menarik dari segi arsitektur seperti rumahrumah kecil di Jepang. Sayang developer dan konsumen sudah punya patokan sendiri tentang rumah, seperti yang dilihatnya masa kecil. Harus dari batu bata dan seterusnya.

Jadi anda senang merancang rumah kecil asal diberi kebebasan?

Sangat suka. Kebebasan secara arsitektur karena kita ahlinya, tapi tidak secara fungsi. Kalau fungsi kita ikutin maunya calon penghuni karena yang nempatin dia. Tapi itu tadi, developernya nggak mau. Mereka sudah punya standar rumah sederhana versi mereka: pakai batako, semua pembatas plesteran semen dicat, WC di bagian tengah, dan seterusnya. Konsumennya juga begitu. Buat arsitek kalau standarnya harus begitu, ya sulit. Kayak WC itu saya maunya di area yang berhubungan langsung ke ruang luar.

Sumber: Majalah HousingEstate

Dapatkan Majalah HousingEstate di toko buku atau agen terdekat. (Lihat: Daftar Retailer) atau Unduh versi digitalnya WayangForce, Scoop & Scanie.