HousingEstate, Jakarta - Perumahan Galuh Mas (180 ha) di Karawang Barat, Kabupaten Karawang- Jawa Barat, memang belum setenar proyek-proyek perumahan dari pengembang besar seperti Summarecon Serpong, BSD, Alam Sutera, Lippo Karawaci, dan Bintaro Jaya. Bahkan, perumahan Grand Taruma (48 ha) dari Agung Podomoro Land (APL) di wilayah yang sama boleh jadi lebih dikenal orang Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek).

Namun, proyek dari PT Galuh Citarum itu sekarang adalah perumahan terbesar di Karawang. Dirilis tahun 2004, sejak awal perumahan menargetkan kaum menengah ke atas sebagai pasar. Karena itu pengembangannya rapi dengan lansekap lebih hijau dan fasilitas lengkap di satu lokasi, mulai dari sekolah, rumah sakit, pasar moderen, area komersial, pusat belanja, sampai mal, area rekreasi dan hiburan, serta apartemen sewa (low rise) dan hotel bintang empat 242 kamar.

Harga rumah di perumahan berjuluk dynamic garden city itu sekarang paling murah Rp886 juta! all in dengan pajak, bea, dan semua biaya termasuk biaya KPR. Sebelumnya di Karawang yang disesaki ribuan manufaktur baik domestik maupun global, hanya ada rumah sederhana seharga seratusan juta untuk kaum pekerja industri itu. Memang sebelumnya sudah ada perumahan Risenda (Grup Jarum) yang juga menyasar kaum menengah ke atas, tapi skalanya hanya puluhan hektar. Sementara Grand Taruma yang juga membidik pasar yang sama baru di-develop beberapa tahun belakangan. Bagaimana PT Galuh Citarum mengembangkan Galuh Mas menjadi perumahan berkelas di Karawang? Direktur PT Galuh Citarum Ardi Supriyadi (33) menjelaskannya kepada Yoenazh Khairul Azhar, Joko Yuwono, Dede Nurahman, dan fotografer Susilo Waluyo dari HousingEstate yang menemuinya di marketing gallery Galuh Mas, Jl Galuh Mas Raya, Karawang Barat, pertengahan November lalu. Pria kelahiran Cikampek, 19 September 1981, ini adalah putera kedua pendiri sekaligus Komisaris Utama PT Galuh Citarum Amin Supriyadi. Berikut petikannya.

Sejak kapan Galuh Mas dikembangkan?

Bersamaan dengan saya pulang kuliah dari Amerika (AS) tahun 2004. Yang memulai ayah saya. Pindah dari Kalimantan ke Cikampek, beliau buka pabrik beras, tambak udang. Kemdian melihat perkembangan Karawang, banyak perusahaan nasional dan asing buka pabrik, sejak awal tahun 80-an mulai berbisnis properti kecil-kecilan secara perorangan. Buka pasar, bikin rumah sederhana, menyediakan kaveling-kaveling industri untuk perusahaan- perusahaan itu. Setelah itu bersama pengembang lain yang tergabung dalam Trivo Group ayah mengembangkan Sentra Grosir Cikarang (SGC/1,4 ha) di Bekasi-Jawa Barat, superblok TangCity (10 ha) di Kota Tangerang (dan Pusat Grosir Cililitan/PGC di Jakarta Timur). Galuh Mas kita kembangkan sendiri kecuali unit-unit bisnis di dalamnya seperti hotel dan lain-lain, juga bekerjasama dengan investor lain. Target pasar kita sejak awal kaum menengah ke atas. Saat ini Galuh Mas kawasan hunian terpadu terbesar di Karawang. Kita mulai dengan 120 hektar yang dibebaskan ayah saya secara bertahap, kemudian diperluas sampai 180 hektar.

Kenapa memilih Karawang?

Karena dari awal kita tinggal di Cikampek. Kebetulan dalam master plan Kota Karawang, salah satu jalan utama dari pusat kota (Jalan Tuparev) ke arah gerbang tol Karawang Barat di jalan tol Jakarta–Cikampek, membelah kawasan kita yang sekarang jadi Bulevar Utama (Jl Galuh Mas Raya, Red). Dari situ kita melihat potensi lahan kita dikembangkan jadi perumahan menengah ke atas. Timingnya juga tepat, banyak investasi masuk ke Karawang. Pembangunan jalan itu mulai direalisasikan tahun 2003 dan kita mohon ke Pemkab Karawang supaya diberi nama Jalan Galuh Masa Raya. Karena dibelah jalan utama, kita membuka peluang membangun kawasan komersial lebih banyak di bulevar itu. Di belakangnya hunian.

Kenapa berani menyasar pasar menengah atas di Karawang?

Bisnis properti mulai membaik tahun 2002 – 2003 pasca krisis moneter 1998 – 2001. Waktu itu di Karawang belum ada perumahan menengah ke atas. Baru ada Resinda. Jadi pilihan orang Karawang tidak banyak. Konsumen dari kalangan menengah tinggal di pusat kota, kayak di ruko-ruko di Jalan Tuparev. Dagang di situ, rumah di situ. Pengen pindah tidak tahu ke mana, padahal anak-anak sudah besar dan menikah. Mereka bisa beli di Cikarang, tapi aktivitasnya kan lebih banyak di Karawang. Dari situ kita pede men-set perumahan untuk kalangan menengah ke atas karena kita jadi berada di tengah kota.

Sejak awal market kita memang pasar regional seperti Cikampek dan Karawang. Kita cukup yakin pasar akan menyerap, karena mereka tidak punya alternatif lain. Kita juga melakukan studi. Beda dengan Kota Deltamas di Cikarang (Bekasi) yang masih bisa jadi alternatif rumah orang Jakarta dengan menyediakan akses tol sendiri dan lain-lain, Karawang belum bisa karena jaraknya lebih jauh jauh. Rumah-rumahnya kita kembangkan dengan sistem klaster yang di Karawang waktu itu belum ada. Kualitas bangunannya juga lebih baik, pakai bata merah, pintu semi duco. Awalnya berat juga. Jalan utama itu belum semua dibangun, jalur ke tol baru satu, jalan ke KIIC (Karawang International Industrial City/1.200 ha) belum ada. Tapi, kita sadar bisnis properti padat modal, berat dulu di awal. Jadi kita sudah antisipasi, kita jaga komitmen. Kita mulai dengan rumah tipe 36/72 dan 45/90.

Anda sudah terlibat sejak awal?

Ya, tapi yang aktif pada awalnya ayah saya, karena saya baru pulang dari AS, belum berpengalaman. Saya kuliah di University of Oregon tahun 1999 – 2003 jurusan marketing. Setelah itu sempat ke Shanghai setahun. SD saya di Cikampek, SMP dan sebagian SMA di Tarakanita (Jakarta), disambung di Singapura sebelum kuliah di AS. Setelah ayah punya kesibukan lain, baru saya yang aktif mengelola Galuh Mas. Beliau jadi chairman. Ayah juga suka tanaman, buka perkebunan

“Pergerakan ekonomi Karawang jadi dinamis. Kita harus dinamis juga mendukungnya, menyediakan rumah dengan segala fasilitasnya. Menjadi kota yang cukup mandiri…”

anggrek di Cikampek, pembibitannya di Puncak. Anggreknya di bawah nama Eka Karya dipasarkan di mal-mal kelas atas dan diekspor ke Jepang, Amerika. Kakak saya Norman Eka Saputra juga aktif di SGC dan TangCity. Sedangkan adik Toni Supriyadi lebih berkonsentrasi ke bisnis solar panel, power plant.

Kenapa slogannya dynamic garden city?

Waktu itu kita melihat investasi asing ke Karawang balik lagi (setelah sempat anjlok selama krisis moneter). Sementara industri di Jakarta harus pindah. Paling dekat ke Bekasi, Tangerang, dan Karawang. Pergerakan ekonomi Karawang jadi dinamis. Kita harus dinamis juga mendukungnya, menyediakan rumah dengan segala fasilitasnya. Menjadi kota yang cukup mandiri. Karena Karawang cuacanya panas, dekat pantai, kita fokus juga pada lansekapnya: lebih tertata dan hijau. Hunian juga kita buat dengan sistem klaster, ada pengelola kawasan atau estate management– nya. Dengan semua itu orang merasa nyaman tinggal di sini. Makanya slogannya begitu, dinamis mendukung perkembangan Karawang.

Berapa persen lahan yang sudah dikembangkan?

Hampir 50 persen mencakup sembilan klaster. Yang menghuni sudah sekitar 1.700 KK dari hampir 2.000 rumah yang terjual. Sekarang harga tanah di sini rata-rata sudah Rp4 jutaan per meter persegi (m2) dari awalnya Rp600 – 750 ribu. Naik rata-rata 15 – 20 persen per tahun. Setahun ini penjualannya agak slow down karena adanya kebijakan LTV (loan to value) baru dari BI (Bank Indonesia) yang memperketat penyaluran kredit itu. Sebulan bisa jual 20 – 30 unit. Sekitar 95 persen pembelian menggunakan KPR. Tapi, kita sudah sulit memperluas Galuh Mas, karena di sebelah barat ada Perumnas, di utara pusat kota (Karawang), di selatan jalan tol, di timur kawasan industri dan perumahan Peruri. Dengan Perumnas Teluk Jambe lahan kita nyambung karena mereka sudah ada sejak awal 90-an dan izin lokasinya memang nyambung.

Kenapa Accord mau membangun hotel (Mercure) di Galuh Mas?

Karena banyak industri dan ekspatriat (pekerja asing) di kawasan. Mereka butuh hotel yang bagus untuk rapat, ketemu, dan lain-lain. Di sini baru ada apartemen servis dan satu hotel kecil yang representatif. Semuanya selalu penuh. Pabrik-pabrik baru juga terus dibangun. Kita mengikuti perkembangan Karawang ke depan juga. Nanti akan ada pelabuhan di Cilamaya, juga lapangan terbang dekat KICC. Cilamaya itu kalau pakai jalan eksisting, dari sini cukup jauh. Tapi nanti akan dibuatkan jalur cepat semacam jalan tol ke sana. Di Galuh Mas kita siapkan kawasan pusat bisnis (CBD) seluas 12 hektar di Jl Galuh Mas Raya. Di dalamnya ada Karawang Central Plaza (KCP/3,6 ha/27 ribu m2), mal pertama di Karawang. Di seberangnya di arah selatan Technomart (2 hektar/42 ribu m2/4 lantai) berisi Ace Hardware, Informa home furnishing, White Brown Electronics, Hypermart, sentra otomatif, dan hotel. Untuk mendukung sentra otomotif itu kita buatkan juga sirkuit 1,8 hektar untuk test drive.

Di seberang lain KCP di arah barat ada sentra entertainment, kuliner, dan rekreasi Festive Walk (1,1 ha/5 lantai/46 ribu m2), theme park yang terkoneksi dengan water park yang sudah berjalan, dan bioskop Blitz Megaplex tujuh teater. Semua properti itu kita sewakan. Target kita kalau semua beroperasi tahun depan, 40 persen pendapatan kita dari recurring income (pendapatan berulang dari hasil sewa), 60 persen dari pengembangan (development income). Ke depan kita akan lebih fokus ke high rise (bangunan tinggi) seperti apartemen, untuk melayani kaum muda yang butuh hunian dengan harga terjangkau karena tanah makin mahal. Dengan konsep yang baik, harga yang tepat, dan fasilitas perumahan yang sudah lengkap, apartemen itu akan diserap pasar. Pabrik-pabrik di kawasan industri juga perlu site office atau semacam kantor perwakilan di sini. Karena itu kita juga mau bangun gedung perkantoran. Masih kita pikirkan, apakah akan dijual atau disewakan.

Proyek lain di luar Galuh Mas?

Ada pergudangan Trimulti di Karawang (24 ha) yang baru dipasarkan, di Jatake Tangerang (8,5 ha), dan di Daan Mogot (4,5 ha) Jakarta Barat. Kita namakan Trimulti karena di situ ada workshop dan kantor selain gudang. Kita juga mengembangkan rumah sederhana Griya Indah Serpong (60 ha) di Gunung Sindur (perbatasan Tangerang dan Bogor), Griya Indah Karawang, sudah habis, dan Griya Indah Cikampek (20 ha). Karena itu di Galuh Mas saya hanya berkantor dua hari seminggu. Hari lain di kantor pusat di Roxy Mas, Jakarta Barat, atau keliling ke proyek lain. Kita masih punya beberapa tanah di beberapa lokasi di Jabodetabek dan Karawang. Tapi sementara kita konsentrasi ke sini dulu. Karena padat modal, bisnis properti itu perlu fokus. Tidak bisa, ini lagi jalan, yang itu belum jadi, sudah mau babangun yang lain. Maksudnya mau cepat gede, hasilnya malah bisa cepat ambruk. Properti itu kritis terhadap politik, bunga bank, situasi ekonomi. Kalau market-nya lagi galau (seperti sekarang), orang pada nahan. Kayak gudang, dolar lagi (kuat) begini (dan ekspor-impor melemah), otomatis slow, karena kebutuhan gudang terkait ekspor-impor itu. Jadi kita harus cermat melansir proyek dan ngukur kemampuan.

Berarti pasar properti tahun depan masih jelek karena kenaikan harga BBM?

Saya lihat sebaliknya, tahun depan properti akan lebih baik. Memang, dengan kenaikan BBM, harga pokok produksi (HPP) meningkat. Tapi bisa diimbangi dengan program-program seperti cicilan lebih panjang, dan lain-lain. Soalnya kalau harga BBM naik, subsidi tidak terlalu besar, dolar tidak terlalu tinggi, risiko pasar turun, harga bahan bangunan dan bunga ikut menurun. Itu bagus buat properti. HPP kita untuk kontrak ke kontraktor rata-rata naik 15 – 20 persen setiap tahun karena bahan bangunan naik tinggi. Sekarang rumah satu lantai sudah Rp2,7 – 3 juta per m2, dua lantai Rp3,25 – 3,5 juta.

Pria dengan tiga anak berusia dua dan empat tahun (kembar) yang suka traveling ini mengaku belajar properti dari ayahnya, membaca buku, pergaulan, dan pertemanan, selain dengan mensurvei perumahan-perumahan bagus dan melakukan perbandingan. “Saya bertanya kepada yang ngerti, atau konsultasi dan studi banding proyek yang lebih besar,” kata Ardi. Dari banyak belajar dan bergaul itu ia mengerti, pasar regional Galuh Mas perlu diperluas seiring perkembangan proyek. Kalau tadinya hanya mencakup Karawang dan Cikampek, sekarang meluas hingga Cikarang, Subang, Cirebon, Bandung, bahkan Tangerang. “Jakarta tidak karena pilihannya pasti Bekasi. Kalaupun mau, properti yang bersifat investasi,” ujarnya.

Beberapa bulan lalu misalnya, Galuh Masa menawarkan 30 unit rukos (rumah kos), rumah dua lantai yang disewakan kamar-kamarnya sebagai kos-kosan. Luas unit 200 m2 berisi 13 – 15 kamar berdimensi 12 – 16 m2 per kamar dilengkapi kamar mandi sendiri. “Dari survei kita ternyata pasar kos-kosan di Karawang luar biasa. Banyak yang perlu tempat tinggal, tapi belum mampu beli rumah sehingga kos atau ngontrak dulu. Sewa kos-kosannya juga saya takjub. Kamar ber-AC dilengkapi tempat tidur dan lemari dengan kamar mandi di dalam Rp1,6 juta per bulan,” jelasnya. Ia berharap orang Jakarta atau Bandung yang jarang membeli rumah di Karawang kecuali properti untuk investasi, berminat membeli. “Rukos itu memang upaya kita memperluas pasar. Saat ini sudah laku 50 persen. Harganya Rp1,3 – 1,4 miliar per unit,” kata Ardi.