HousingEstate, Jakarta - Saat ini pemakaian kayu sebagai bahan bangunan sudah sangat minimal. Orang lebih suka rumah beton karena dianggap lebih bergengsi dan bernilai. Apalagi suplai kayu kian tipis karena hutan alam sudah habis akibat penebangan berlebihan sejak akhir tahun 1970-an. Bahkan untuk rangka atap dan kusen pun kini orang memakai bahan non kayu seperti baja, alumunium, dan u-PVC. Penggunaan kayu terbatas untuk finishing seperti pelapis dan partisi serta furnitur. Padahal kayu adalah bahan bangunan yang paling dikenal manusia sejak dulu sehingga menjadi pilihan utama untuk membangun rumah. Rumah kayu hangat, nyaman, natural, ringan, tahan gempa, dan ramah lingkungan (mudah didapat dan pohonnya bisa ditanam ulang).
Betulkah sekarang sudah sukar mengandalkan kayu sebagai bahan utama pembangunan rumah? Yoenazh Khairul Azhar, Yudiasis Iskandar, dan fotografer Susilo Waluyo dari HousingEstate mewawancarai Prof (R) Dr Ir Anita Firmanti MT, ahli kayu yang juga Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum (PU) beberapa waktu lalu. Perempuan kelahiran Pasuruan, 15 Juni 1960, ini adalah doctor on wood science and technology dari Faculty of Agricultural, Kyoto University (Jepang), tahun 2005. Berikut petikannya.
Apa kelebihan kayu sebagai bahan bangunan?
Kayu sudah sangat akrab dengan manusia sebagai bahan alam, mudah diperoleh, diolah, dan memberi rasa nyaman karena tidak menghantarkan panas. Karena itu rumahrumah tradisional umumnya memakai kayu. Kelenturan atau strength-to-weight ratio kayu lebih tinggi dibanding bahan lain. Misalnya, kayu 0,7 kg mampu menahan beban setara 10 liter. Sementara beton untuk menahan beban setara, beratnya harus 20–30 kg.
Apakah sekarang kayu masih bisa diandalkan untuk membuat rumah?
Pemerintah sudah mencoba menanam pohon cepat tumbuh seperti sengon, akasia, gemilina, karet, meranti jenis tertentu, jatimas, dan lain-lain, di lahan-lahan kritis (eks hutan alam) untuk memenuhi kebutuhan kayu. Dalam 5 – 10 tahun kayunya sudah bisa dipanen. Masyarakat juga ikut menanam. Itulah penyuplai industri kayu di Jawa dan sedikit di Kalimantan. (Menurut Kementerian Kehutanan 2013, dari 49 juta m3 kebutuhan kayu nasional, 23 juta m3 dipasok dari lahan rakyat yang luas totalnya mencapai 2,7 juta ha). Memang suplai masih kurang, sehingga kayu (yang baik) tetap mahal. Karena itu diperlukan kebijakan khusus dari pemerintah. Misalnya, mengharuskan sebagian kayu (cepat tumbuh) dari hutan tanaman industri (HTI) untuk bahan bangunan dan mebel. Dulu awal tahun 2000 katanya ada delapan juta hektar HTI. Selama ini kayunya untuk pulp and paper (industri kertas). Kalau 10 persen saja (sekitar 800 ribu hektar) dialihkan untuk bangunan dan mebel, itu sudah cukup memenuhi industri kayu.
Bagaimana kelayakan kayu dari pohon cepat tumbuh itu untuk bangunan dan mebel?
Layak untuk rumah hingga dua lantai, untuk mebel juga. Kalau untuk rumah, kayunya yang umur 10 tahun, untuk mebel bisa yang 5–6 tahun. Hanya memang, penanaman pohonnya harus dikelola. Misalnya, dilakukan penjarangan, dari kecil dipangkas agar tidak tumbuh mata kayu karena kayunya bisa bolong atau bengkok. Itu mengurangi kualitasnya. Setelah dipanen kayu dikeringkan, kemudian diawetkan untuk menghindari jamur dan rayap. Baru dipilah-pilah mana yang bisa untuk struktur, mana yang untuk dinding, lantai, pintu, jendela, kusen, mebel, dan lainlain. Kayu sengon (solid) misalnya, sebaiknya tidak untuk struktur kecuali direkayasa dulu kekuatannya (menjadi kayu laminasi atau engineered wood). Lapisan tengahnya sengon, lapisan luarnya kayu lain seperti karet. Kalaupun sengon dipakai untuk struktur seperti atap, gentengnya harus yang ringan seperti asbes atau seng. Sengon itu bagus untuk plywood, dinding, panel, pelapis, dan sejenisnya. Untuk struktur bisa pakai akasia mangiom, kayu afrika (mangi’i), dan eukaliptus.
Untuk mebel, penggergajian kayu cepat tumbuh juga tidak bisa seperti selama ini, dipapas empat persegi kemudian dibelah dan dipotong-potong. Kayu cepat tumbuh itu pemuaiannya sangat tinggi setelah digergaji. Kena air membesar, kena panas menyusut. Jadi kurang bagus untuk pintu atau mebel. Supaya pemuaiannya tertahan, kayu digergaji dengan cara quarter sawn (potongan perempatan), mengikuti arah radial kayunya. Memang hasil kayunya jadi tidak terlalu banyak. Untuk mebel yang mengutamakan penampakan, gunakan kayu yang cantik seperti mahoni, sungkai, atau kamper. Kini sudah ada mahoni cepat tumbuh. Mahoni yang daunnya kecil-kecil itu baru 15–20 tahun bisa dipanen.
Bagaimana kekuatannya?
Ada dua faktor yang menentukan kualitas kayu: kerapatan (berat jenis) dan volumenya. Kalau dua kayu sama-sama mulus, yang satu ringan yang lain lebih berat, yang lebih berat pasti lebih kuat. Faktor lain adalah cacat dan tingkat presisi kayunya. Kayu yang mulus dan berat pun, kalau banyak mata kayunya dan miring-miring, kualitasnya kurang. Dari hasil tes saya, kayu-kayu cepat tumbuh kita sebanding kekuatannya dengan kayu di negaranegara sub tropis, sekitar 200 kg/cm2. Kayu alam bisa di atas 500 kg/cm2. Itu bicara kayu utuh (solid). Karena itu kita memperkenalkan laminated veneer lumber (LVL) atau kalpis (kayu lapis) yang terdiri dari lapisan-lapisan veneer dari satu atau beberapa jenis kayu yang direkatkan satu sama lain secara searah dengan venol. Cairan ini dimampatkan dengan tekanan tinggi agar masuk ke dalam pori-pori veneer, sehingga kalpis menjadi keras, kuat, tahan rayap dan cuaca. Kekuatannya menjadi 2–3 kali kayu aslinya. Kami sudah mengetesnya untuk bangunan dua lantai di Yogyakarta. Engineered wood ini juga memungkinkan pembangunan rumah difabrikasi sehingga jauh lebih cepat. Kita sudah bekerjasama dengan beberapa aplikator untuk memproduksinya. Rekayasa kayu itu penting karena sel pohon cepat tumbuh itu juga hasil rekayasa. Dinding selnya cepat membesar yang membuatnya jadi kurang kuat. Kalau kayu alam dinding selnya sedikit tapi padat.
Bagaimana mengetahui kekuatan kayu?
Di Amerika Serikat yang 60–70 persen rumahnya pakai struktur kayu ada timber grader yang mengklasifikasikan kualitas kayu. Mampu menahan beban ratusan kilogram, pengoperasiannya secara computermatic. Setiap kayu yang masuk langsung diklasifikasikan dan dicap. Setiap hari mampu mengklasifikasi puluhan kilometer kayu. Dengan alat itu orang sudah punya standar kayu untuk aneka peruntukan. Di sini (alat seperti itu) belum ada karena harganya sangat mahal. Untuk mengukur kekuatan kayu kita pakai panter pemilah atau sorter. Dengan alat itu kayu dikasih beban dan mlendut. Dari lendutan itu kita tahu defleksi dan kekuatan bebannya. Standar kayu kita yang baru sudah menggunakannya. Mestinya di industri kayu sudah ada. Jadi ke depan kita juga sudah bisa tahu standar kayu karena sudah ada capnya, tidak mengira-ngira lagi.
Sampai sekarang kalau mau beli kayu kita tidak tahu standarnya?
Standar sebenarnya sudah ada sejak dulu, (yang menjadi persoalan) law enforcement kita (yang tidak mengadopsi standar itu sebagai kebijakan nasional). Ke depan seharusnya ada institusi yang berwenang memberikan cap. Kita juga sudah punya lembaga akreditasi yang bisa memberikan sertifikasi untuk perusahaan kayu. Dalam tesis S2 saya tahun 1998 saya menyebut institusi itu bursa kayu. (Anita mendapatkan gelar master of technology dari Program Studi Pembangunan ITB tahun 1998 dengan tesis “Pemilahan Kayu Secara Masinal Untuk Penyediaan Kayu Bermutu Konstruksi”).
Bursa ini bisa unit berisi orang PU, kemenpera, kehutanan, perindustrian, perdagangan, yang membuat keputusan soal kayu di Indonesia. PU membuat standarnya, kehutanan menanam, perindustrian menghasilkan, perdagangan menetapkan peredaran, kementerian perumahan memakai. Dengan bursa itu kalau butuh kayu untuk pintu, mau bikin rumah atau mebel, sudah jelas standarnya. Tinggal pesan dan pakai. Ada cap dan sertifikatnya. Bahkan kita sudah membuat konsep koordinasi modular (standarisasi setiap modul bahan sehingga mudah dipasangkan satu sama lain). Kalau rumahnya pakai bata merah atau konblok, ada standarnya (kalau mau dipadu dengan bahan lain). Itu zaman Pak Siswono (Menteri Perumahan 1988–1993), hanya tidak diterapkan sampai sekarang. Padahal konsep itu sangat mengefisienkan pembangunan rumah.
Menurut para pakar kayu, Indonesia bukan hanya belum mengadopsi standar kayu sebagai kebijakan nasional, tapi juga tidak memberikan perhatian yang pantas terhadap kayu sebagai bahan bangunan dan mebel. Akibatnya industri kayu tidak berkembang, juga pengetahuan dan kriya kayu. “Industri kayu kita hidup segan mati tak mau,” kata Anita. Kriya kayu misalnya, hanya diajarkan di beberapa perguruan tinggi seperti ITB, ISI, dan IKJ. Itu pun penekanannya lebih ke arah seni, bukan fungsi dan industrinya. Akibatnya desain furnitur kita tidak mengalami pembaharuan, hanya mengulang-ulang desain usang atau menjiplak desain asing. Sementara mata kuliah ilmu kayu di fakultas teknik menjadi mata kuliah sekunder, hanya 2 SKS dibanding ilmu beton atau baja yang bisa 6 – 7 SKS. Literatur yang dipakai pun masih buku jadul. Padahal desain arsitektur berkembang pesat yang sangat membutuhkan dukungan ilmu kayu. Jangan heran konstruksi kayu kian tak populer kecuali untuk konstruksi nonpermanen.
Bank-bank pun enggan memberikan KPR untuk pembelian rumah dari kayu. Bahkan, Badan Pusat Statistik (BPS) memasukkan rumah kayu (bambu) sebagai salah satu kriteria kemiskinan. “Sistem KPR tidak mendukung penggunaan kayu. Bank hanya melihat bentuk jaminan (rumah beton atau kayu). Rumah kayu dan bambu tidak masuk (tidak layak kredit). Padahal rumah beton setelah 20 tahun juga bermasalah. Sementara rumah kayu sudah terbukti kehandalannya ratusan tahun. Harusnya yang dilihat bukan rumahnya kayu atau beton, tapi bagaimana kualitasnya,” kata alumni jurusan Teknologi Hasil Hutan IPB 1982 dengan skripsi “Sifat Fisis-Mekanis Kayu Lapis Struktural Meranti” itu. Akibat lebih jauh, penyusunan SNI kayu bisa terjerumus berdasarkan wacana atau adopsi standar dari luar, bukan dari praksis nyata di Indonesia.
Jangan tanya pemakaian kayu alternatif seperti kayu kelapa dan bambu. Lebih tidak populer lagi kendati juga sudah ada pengetahuan dan standarnya, dan banyak ahli merekomendasikannya. Misalnya, kini mulai banyak yang memakai kayu kelapa untuk rumahnya. Tapi karena tidak tahu cara pemanfaatannya, mereka memperlakukannya seperti kayu biasa. “Batangnya langsung dibuat persegi, dibagi empat, dan dipotong-potong. Padahal bagian tengah kayu itu keropos seperti busa. Akibatnya belum lama dipasang, rank (kayu kelapa itu) sudah melendut karena ada jamurnya. Pengetahuan ini mestinya dibakukan (dan disosialisasikan), standarnya sudah ada,” jelas ibu dua anak dari suami seorang peneliti senior LIPI itu.
Pengetahuan kita soal kayu merosot?
Relatif mati. Dan itu sayang sekali karena kita sudah punya. Apalagi dulu kita pernah mengambil langkah yang baik menyangkut standar kayu, sistem pengawetan, penggunaan, segala macam itu, tapi nggak berlanjut. Ilmu kayu itu luas dan perlu dipelajari secara intens. Apalagi kita punya 3.000 jenis kayu. Bahkan industri mebel perlu pengetahuan soal kayu, karena ada kayu yang halus poriporinya ada yang kasar, ada kayu yang mudah menyerap cat, ada yang menolak cat, ada yang layak untuk struktur dan rangka, ada yang cocok untuk dinding, lantai, dan pelapis. Nenek moyang kita juga sudah meninggalkan pengetahuannya. Tentu saja pengetahuan itu hanya berdasarkan pengalaman. Dulu kita memakai kayu over design karena hanya berdasarkan pengalaman. Sekarang semua ada ilmunya sehingga penggunaannya bisa lebih efisien. Bahkan ada ilmu cara memotong kayu. Di IPB belajarnya tiga tahun. Namanya penggergajian, disusul pengawetan dan pengeringan. Tapi semua ilmu itu nggak pernah bunyi keluar.
Apakah pembangunan rumah dengan kayu memang perlu digalakkan lagi?
Sebenarnya bukan soal pakai kayu atau bukan. Terlalu banyak rumah beton kan juga merusak lingkungan. Dulu di Cikarang (Bekasi) banyak sentra pembakaran bata, kini sudah nggak ada. Untuk rumah 1–2 lantai yang tidak butuh kekuatan yang tinggi sekali, nggak perlu semen, pasir, dan bata, cukup pakai kayu. Untuk bangunan 3–4 lantai atau lebih baru pakai beton. Di Amerika dan Kanada orang masih pakai konstruksi kayu tanpa merusak hutan. Mereka mengembangkan hutan lestari. Kita sering baru belajar kalau sudah dikasih bencana (gempa). Mestinya sekarang kita lebih pandai, nggak usah nunggu bencana dulu (untuk menerapkan konstruksi kayu yang efisien dan aman).
Mungkin rumah kayu rawan terbakar?
Gampang terbakar itu kalau kayunya terlalu kecil. Menara kembar WTC di Amerika yang pakai konstruksi baja langsung ambruk (dihantam pesawat), meleleh bajanya. Kayu itu mudah terbakar tapi sampai pada ukuran tertentu dia akan bertahan. Masih ada sisa kekuatan, nggak habis (seperti baja atau beton). Ada cara menghitungnya, sampai ukuran berapa tidak roboh walaupun terbakar. Selain itu ada treatment untuk mengurangi efek rawan apinya. Pengawetan kayu dengan boron, selain untuk anti rayap, juga agar lebih tahan api. Di Medan kita bikin hall pakai struktur kayu 30 x 60 x 14 m. Kalau ada api dia meng-arang. Arang itu menahan api menyebar, bangunannya tidak terbakar (semua). Kalau steel malah meleleh, bangunannya roboh. (Disertasi doktor Anita berjudul “Fire Endurance of The Graded Timber and Wood Based Panels from Fast-Growing Species” mengkaji hubungan ketahanan api dengan struktur kayu, sampai kapan kayunya bisa bertahan. “Ada yang namanya critical stress, sampai pada luasan tertentu baru kayu akan roboh,” kata perempuan yang hobi masak dan nyanyi ini).
Kalau begitu kenapa potensi kayu dan bambu itu nggak dilihat?
Kalau sudah tanya ini saya paling sedih. Kita memantau sulitnya orang mendapatkan bahan bangunan dan banyak bangunan yang roboh. Makanya kita ambilin itu baja ringan, bata ringan, dan lain-lain yang dijual di pasaran. Kita tes dan serahkan hasilnya. Urusan bosku (Kementerian PU) yang menyiarkan ke publik. Kita bikinkan kalpis, juga bambu laminasi serupa kayu konvensional yang juga bisa untuk struktur dan mebel. Selalu kita pamerkan dalam berbagai even. Bahkan melalui aplikator di Bali kita sudah mengekspornya. Bambu itu kekuatan tariknya lebih tinggi dibanding kayu. Untuk struktur bahannya bambu betung, untuk dinding dan lantai bambu tali, 3–5 tahun sudah bisa dipanen. Kalau hanya memanfaatkan bambu bulat (seperti selama ini), mudah diserang bubuk. Bambu laminasi diawetkan dulu.
Masalahnya bagaimana membawa semua (hasil penelitian soal kayu mulai dari penanaman sampai penggunaan) itu menjadi kebijakan. Saya pernah mencoba membuat surat keputusan tiga menteri (PU, perdagangan, kehutanan) tapi mandek. Kita memproduksi kampung deret pakai Risha (rumah instan sederhana sehat buatan Puslitbang Permukiman), tapi ya gitu aja (tidak berlanjut menjadi kebijakan). Kita seperti nggak pandai-pandai. Padahal ahli kita banyak. Seharusnya litbang itu jadi scientific backbound. Semua kebijakan berdasarkan kajian litbang, bukan malah (lembaga) yang lain. Jadi, nggak ujug-ujug. Di mana-mana di dunia begitu. Kita suka (dimintai tolong hanya) untuk cuci piring aja, kalau sudah ada masalah.
Sumber: Majalah HousingEstate
atau
Unduh versi digitalnya WayangForce, Scoop & Scanie.