HousingEstate, Jakarta - Seperti BUMN konstruksi lain, PT Adhi Karya Tbk juga merambah bisnis properti. Antara lain melalui PT Adhi Persada Properti (APP). Proyek pertamanya perumahan (landed residential) Taman Melati Sawangan, Depok- Jawa Barat, dan Graha Kalimas, Bekasi-Jawa Barat. Tapi setelah itu APP fokus menggarap proyek gedung tinggi (high rise building): apartemen, kondotel, gedung perkantoran, hotel, mal, dan lain-lain. Dimulai dengan apartemen Salemba Residence (Jakarta) yang pengembangan awalnya oleh Adhi Karya, dan Taman Melati Margonda (Depok), setelah itu proyek APP menyebar ke kotakota besar lain.
Yaitu, Grand Dhika City Bekasi dan Grand Dhika City Jatiwarna (Bekasi), Grand Dhika Mansion (Jakarta Selatan), Taman Melati Margonda dan Grand Taman Melati Margonda (dekat kampus UI Depok), Grand Dhika of Sunset Kuta (Bali), Taman Melati Mulyorejo (dekat kampus Unair Surabaya), Taman Melati Jatinangor (dekat berbagai kampus di Jatinangor) dan The Jasmine Park Pasteur (Bandung), Taman Melati Dinoyo (Malang), Taman Melati Surabaya @MERR, serta Taman Melati Sardjito dan Taman Melati Sinduadi (dekat kampus UGM Yogyakarta). Di luar itu ada juga gedung perkantoran strata title Gedung MTH, Adhi Graha, dan Office 18, serta townhouse di Jakarta.
Dengan seabrek proyek itu (lima sedang berjalan, lima sudah habis atau hampir habis), tahun ini APP ditargetkan meraih marketing sales Rp1,6 triliun dengan laba Rp185 miliar, atau dua kali pendapatan 2013 yang mencapai Rp800 miliar dengan laba Rp117 miliar. “Labanya memang kecil karena kita harus berbagi dengan pemilik tanah,” kata Pulung Prahasto, Direktur Pengembangan dan Penjualan APP. Dari sekian proyek itu yang saat ini paling mentereng adalah Grand Dhika City (GDC) di Jl Djojomartono dekat exit tol Bekasi Timur di jalan tol Jakarta–Cikampek.
GDC (10 ha) adalah proyek properti terpadu (mixed use development) yang akan berisi apartemen, mal, hotel, office tower, dan area komersial. Proyek itu kelak juga menjadi titik awal jalur monorel Bekasi–Cawang (Jakarta Timur), Cawang–Cibubur, dan Cawang– Pluit, yang akan dikembangkan Adhi Karya. Karena itu APP sangat optimis dengan GDC. “Orang pasti berbondong-bondong ke GDC naik monorel ke Jakarta, karena stasiunnya dilengkapi park and ride luas. Kalau begitu, kenapa nggak sekalian beli propertinya,” ujar Pulung. Yoenazh Khairul Azhar dan Hadi Prasojo dari HousingEstate berbincang dengan alumni jurusan arsitektur ITS Surabaya itu awal September lalu di kantornya mengenai bisnis APP. Ia didampingi Corporate Secretary APP Syahrial Firdausi. Berikut petikannya.
Apa beda APP dengan Adhi Realty?
Dulu namanya Adhi Realty, sekarang menjadi Adhi Persada Properti. Kita memulai dengan perumahan Taman Melati Sawangan dan Graha Kalimas, tapi sekarang fokus ke high rise. Yang landed ditangani PT Adhi Persada Realty. Itu (pemisahan) tahun 2012.
Sejak kapan Adhi Karya masuk bisnis properti?
Tahun 1989 melalui divisi sarana papan dan usaha. Sarana usaha ngurusin properti sewa, sarana papan khusus jual. Tahun 1991 digabung menjadi divisi Adhi Realty. Proyeknya langsung high rise Toserba Sarinah yang dibangun kembali setelah terbakar. Adhi Karya dikasih hak (pendapatan) sewa lima tahun. Di luar itu kita juga punya perumahan di Semarang, Kedoya dan Cipinang (Jakarta), serta Bekasi, sebelum Taman Melati Sawangan tahun 2004 atau dua tahun setelah kita menjadi PT Adhi Realty. Semuanya perumahan menengah dan menengah atas.
Kenapa langsung rumah menengah?
Budaya Adhi Karya ini selalu mengerjakan proyek berkualitas bagus. Kalau kita masuk ke RS (rumah sederhana), budaya itu bisa luntur karena RS cenderung asal saja pengembangannya. Kita maunya kalau rumah, ya yang bagus.
Kenapa fokusnya sekarang ke high rise?
Landed itu lebih susah dan lama untuk membuat kita besar. Kalau high rise cepet. Kebutuhan tanahnya kecil, nego-nya mudah, nilai proyeknya besar. Mirip kayak kontraktor. Memang high rise juga high risk. Tapi kita sudah berpengalaman mengerjakan proyek high rise. Jadi, calculated. Kuncinya di perencanaan. Bagaimana mempertemukan ekspektasi konsumen dengan konsep pengembangan yang akan kita deliver dan target keuntungan yang mau dicapai. Ketiganya harus sinkron dan mateng.
Bagaimana dengan pemasaran dan lain-lain?
Kita mesti punya data pasar. Untuk itu kita melakukan market research. Waktu mau beli tanah, data itu kita pertimbangkan, kita analisa. Misalnya kalau apartemen, ini cocoknya apartemen kayak apa. Di sini kita punya dua brand, Taman Melati dan Grand Dhika. Grand Dhika (kependekan dari Adhi Karya) untuk mixed use development, Taman Melati untuk apartemen dekat kampus. Kita pakai kata melati karena anggrek sudah dipakai orang. Kalau taman mawar kok kurang pas. Kenapa kita fokus ke kampus? Karena tren belakangan ini yang kuliah di universitas negeri itu 80 persen orang kaya. Jadi beda sama kita dulu, sekarang kosnya bisa Rp2 – 4 juta per bulan. Itu potensi pasar besar. Terbukti Taman Melati Margonda dan Grand Taman Melati Margonda (di Jl Raya Margonda, Depok-Jawa Barat, dekat kampus UI) yang kita launching tahun 2011 habis. Tower pertama 800 unit, tower kedua 500 unit. Targetnya mahasiswa UI selain investor. Padahal kita lepas tower pertama Rp10 – 11 juta/m2, lebih tinggi dari apartemen Margonda Residence yang sudah lebih dulu dibangun. Tower kedua tahun 2012 harga perdanannya sudah Rp15 juta lebih. Sekarang tipe studio 24 m2 di tower pertama yang tahun 2011 Rp200 – 210 juta, di pasar seken sudah Rp500 juta.
APP pede melepas harga lebih tinggi?
Margonda itu tempat belajar kita. Terus terang kita empot-empotan juga waktu masuk, karena kita follower. Sudah ada Margonda Residence di depan dan apartemen Lippo di samping. Kita ambil harga lebih tinggi dari Margonda, lebih rendah dari Lippo. Awal ground breaking bisa laku 100 unit, setelah itu menurun, pernah hanya 17 unit per bulan. Ternyata pasar selatan Jakarta itu orangnya settle. Kalau nawar nggak dikasih, ya udah, nggak beli. Kalau suka baru dia beli. Maka saya pasang harga yang tidak bisa ditawar (untuk meyakinkan konsumen bahwa apartemen memang layak untuk mereka). Kita edukasi juga orang tua yang anaknya diterima di UI. Anaknya nggak usah dikasih uang saku, ajarkan dia bisnis. Jadi beli dua. Satu untuk dipakai anaknya, satu lagi disewain. Nama Adhi Karya juga kita jual (untuk makin meyakinkan). Rata-rata beli lebih dari satu. Kelebihan apartemen kita, paling dekat dengan UI. Punya Lippo sedikit di atas kita, tapi apartemennya di atas mal.
Pemasaran melibatkan pihak luar seperti broker?
Marketing plan kita bikin sendiri, karena kita sudah sering menunjuk konsultan. Jadi sudah tahu. Pemasarannya multiagen (tidak lagi broker tunggal). Siapa saja boleh ikut jual. Kita punya pengalaman pahit dengan broker tunggal. Dia narok agen di kantor kita, minta fee dua persen, minta pasang iklan di koran, tapi kepada konsumen yang datang malah nawarin produk dari pengembang yang ngasih fee lebih gede. Pas putus kontrak, semua data (konsumen) kita dibawa. Sekarang kita punya tim koordinator. Setiap proyek minimal dua tim, 5 – 6 orang. Kita kontrak mereka, kita tambahin fee-nya. Agen boleh ikut jual, tapi di luar. Fee dibayar per unit yang terjual. Anda pun boleh jadi sales, juga semua karyawan Adhi Karya Group. Fee-nya satu persen. Misalnya, anda datang, Pak ini ada saudara saya mau beli. Anda dapat satu persen.
Kenapa tidak ada direktur marketing di APP?
Saya direktur marketingnya. Saya yang membuat rencana pengembangan sampai jadi business plan. Setelah itu baru diserahkan ke direktur proyek untuk di-review (sebelum proyek diputuskan dikembangkan dan dipasarkan). Bahwa namanya direktur (pengembangan dan) penjualan, bukan marketing, itu yang memutuskan direktur Adhi Karya. Soalnya (di perusahaan induk) istilah marketing itu konotasinya negatif (mencari-cari proyek), nyogok sana nyogok sini. Saya juga ketawa di kartu nama (jabatan) saya direktur penjualan.
Kenapa tidak membangun Taman Melati dekat IPB Bogor?
Pertanian itu belum jadi pilihan anak-anak orang kaya. Apartemen deket kampus swasta juga belum jadi pilihan kita, karena mahasiswanya pasti orang lokal. Kalau orang lokal, ngapain beli apartemen, mending mobil. UIN Ciputat (Tangerang Selatan) mungkin menarik, tapi kita sudah keduluan pengembang lain. Karakteristik universitas itu memang beda- beda, kita belajar juga. UI, ITB, dan UGM mahasiswanya bisa dari mana-mana. Tapi, Unair dan Unbraw di Surabaya kebanyakan dari timur Indonesia atau Kalimantan. Orang Jakarta nggak ada yang nyekolahin anaknya di Surabaya. Karena itu selain Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek), target utama kita kampus di Yogyakarta dan Bandung.
Bagaimana dengan utara dan barat Jakarta (yang banyak dihuni orang Tionghoa)?
Orang Cina itu kecenderungannya lebih percaya dengan produk orang (pengembang) dari kalangannya sendiri, segen beli produk properti dari BUMN. Tapi kita punya rencana membuka proyek terpadu di Daan Mogot (Jakarta Barat). Tanahnya punya Pertamina, sembilan hektar. Yang di Bali tanahnya juga punya BUMN Angkasa Pura.
Apa kelebihan properti dari perusahaan pengembang milik BUMN?
Terjamin pasti dibangun, tanahnya clean and clear, kualitas produknya nggak diragukan, karena kita kan kontraktor, dan ada kepastian serah terima produk tepat waktu karena ada sinergi antar-unit usaha di Adhi Karya. Misalnya, yang bangun proyek kita PT Adhi Persada Gedung. Dari sisi pembiayaan, bank mana yang nggak percaya sama kita? Sekarang kita memang masih kalah sama Agung Podomoro, Summarecon. Karena itu kita fokus di high rise (agar bisa cepat besar). Kita pengen jadi lima besar pengembang di Indonesia dalam 10 tahun. Kita juga memperbanyak pola kerjasama dengan land lord (pemilik tanah pribadi) dalam pengembangan proyek. Dengan perusahaan swasta nggak boleh. Sekarang 70 persen proyek kita hasil kerjasama dengan pemilik tanah, 30 persen beli sendiri. Kriteria tanah yang kita inginkan, lokasi terutama dekat kampus (untuk apartemen) dan strategis (untuk mixed use). Grand Dhika City Bekasi dan Jatiwarna itu tepat di gerbang tol.
Stok tanah APP sekarang?
Sekitar 32 hektaran termasuk empat yang sedang berjalan: Grand Dhika City Bekasi, Taman Melati Jatinangor, Taman Melati Surabaya, dan Grand Taman Melati Margonda. Sembilan lagi kita kembangkan mulai tahun depan. Tidak semua proyek kita jual putus, sebagian disewakan sebagai recurring income (sumber pendapatan berulang). Target kita 15 – 30 persen pendapatan kita dari recurring income sebagai katup pengaman saat bisnis properti lesu.
Kenapa BUMN konstruksi agresif sekali masuk bisnis properti belakangan ini?
Sekarang dunia konstruksi banyak disorot (sejumlah petinggi BUMN konstruksi terlibat kasus suap dan diadili terkait upaya mendapatkan proyek, Red), sehingga kita berpikir kita makin susah (kalau hanya mengandalkan bisnis konstruksi). Marginnya juga tipis, hanya 5 – 7 persen. Jadi kenapa nggak buat bisnis properti, duitnya nggak kemana mana. Ada juga kebijakan Kementerian BUMN supaya BUMN mengoptimalkan pengelolaan aset-asetnya. Saya kira langkah ini sudah tepat. Cuma kadang-kadang karena dianggap perusahaan konstruksi, developernya belum dilihat secara serius.
APP pede masuk bisnis properti?
Karena spesialis di industri konstruksi, mau tak mau kita ngerti bisnis properti. Saya sendiri tahun 95 masuk Adhi Karya langsung di divisi Adhi Realty sampai sekarang. Sempat ditarik ke Adhi Persada Gedung, tapi hanya sebentar, kemudian balik lagi. Hanya memang kalau diwawancara wartawan, kelihatan beda direksi pengembang dari BUMN dan swasta. Kita kalau ngomong agak sungkan. Kita juga tidak bisa seleluasa swasta, karena masa jabatan direksi BUMN dibatasi empat tahun. Jadi kita sulit berpikir jangka panjang. Mau beli tanah, harus minta izin dulu. Belum ada izin, belum bisa bebasin. Saat ngurus izin, orang udah pada tahu kita mau bangun apa. Kalau swasta, kekuasaan pemiliknya absolut. Dia bisa menetapkan target jangka panjang dan bebas melakukan apa saja untuk mencapainya. Dia bisa bebasin tanah kapan saja.
Menurut Pulung, berbeda dengan yang lain, Adhi Karya tidak babak belur saat krisis moneter 1998. “Memang beberapa proyek mandek karena pembebasan tanahnya dihentikan. Tapi yang sedang dipasarkan, penjualannya malah kenceng. Misalnya, perumahan Century di Bekasi bisa jualan 30 unit per bulan cash, karena rumahnya sudah jadi,” katanya. Karena itu tahun 2000 divisi Adhi Realty sudah bisa melansir proyek baru berupa ruko, kemudian Taman Melati Sawangan tahun 2004.
Pulung sendiri alumni jurusan arsitektur dari ITS Surabaya angkatan 1989, lulus tahun 1994. “Tadinya lulus SMA tahun 1987 saya kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Unair empat semester. Ketika diterima di ITS, kuliah itu saya tinggalkan,” kata pria kelahiran Surabaya, 12 September 1968, ini. Ia mengakui ilmu arsitektur yang dipelajarinya sangat mendukung karirnya. Tapi ia sendiri jarang menggunakan ilmu itu untuk, misalnya mendesain rumah tinggal. Di luar jam kerja kesibukan Pulung justru berbisnis kuliner dengan merek “Bebek Bengis”. Tadinya restorannya ada tiga, di Depok, Bekasi, dan Tangerang, tapi kemudian yang di Depok dan Tangerang ditutup. “Jadi sekarang tinggal di Pekayon (Bekasi),” ujarnya.
Sumber: Majalah HousingEstate