HousingEstate, Jakarta - Pada suatu restoran all-you -can-eat, setiap pengunjung dikenakan biaya Rp60.000 ketika hendak masuk, selanjutnya pengunjung boleh makan apa saja sepuasnya di restoran tersebut. Kalau kita buat eksperimen berikut, coba tebak bagaimana hasilnya. Bekerjasama dengan pemilik restoran kita menempatkan petugas pelayanan. Pelayan ini kita tugaskan untuk memilih beberapa pengunjung secara acak, selanjutnya mendekati beberapa pengunjung terpilih untuk mengembalikan uang Rp60.000 yang telah ia bayarkan ketika masuk ke restoran, dan pengunjung tersebut tetap dipersilahkan sepuasnya menikmati semua menu yang tersedia. Akhirnya pada ruangan restoran itu separoh pengunjung adalah mereka yang mengeluarkan biaya Rp60.000, dan separoh yang lain tidak mengeluarkan uang Rp60.000 karena uang yang mereka bayarkan ketika masuk sudah dikembalikan. Pemilihan mana pengunjung yang dikembalikan uangnya dan yang tidak, dilakukan secara acak, oleh itu kita boleh yakin ‘kekuatan’ makan dua kelompok tadi seharusnya tidak berbeda. Diam-diam para pelayan kita tugaskan untuk memerhatikan dan mencatat jumlah makanan yang diambil dua kelompok ini. Coba uji intuisi Anda sebagai ekonom, apa hasil dari eksperimen ini? Adakah kelompok yang mengambil jumlah makanan lebih banyak, kelompok manakah itu? Atau, dua kelompok sama saja dalam jumlah makanan yang diambil? Jangan lanjutkan dulu membaca. Coba Anda tebak.

Ketika kita sedang makan di restoran umum, contohnya restoran Padang yang semua menunya disajikan di meja, kita akan berhadapan dengan pertanyaan: “saya ambil lauk lagi tidak ya?” Keputusan mengambil tambahan lauk atau tidak, kita kaitkan dengan jumlah uang yang nantinya harus kita bayar. Artinya setiap ada tambahan lauk yang kita ambil, maka akan ada tambahan biaya. Oleh itu, jumlah makanan yang kita santap selama duduk di restoran itu menyesuaikan jumlah budget yang kita miliki.

Pada restoran all-you-can-eat tempat eksperimen kita lakukan, pertanyaan: “saya ambil lauk lagi tidak ya?” tadi tidak mempunyai konsekuensi tambahan biaya. Artinya, berapapun dan sebanyak apapun makanan yang Anda ambil tambahan biayanya adalah Rp0. Ini berlaku untuk kedua kelompok dalam eksperimen tadi. Berapapun makanan yang mereka ambil tidak ada tambahan biaya. Karena tambahan biaya (cost) jumlahnya nol, maka yang menentukan batasan berapa jumlah makanan yang diambil adalah satu sisi saja yaitu manfaat (benefit) atau kepuasannya. Seharusnya, pengunjung akan berhenti mengambil tambahan makanan ketika tambahan kepuasannya nol. Begitulah alur logika ekonomi yang kita pelajari pada buku-buku teks selama ini. Dengan demikian, menggunakan alur pikir tadi, dugaan hasil eksperimen tadi adalah kedua kelompok mengambil jumlah makanan yang sama.

Apakah benar demikian? Sepertinya dugaan itu akan meleset. Richard Thaler, 1980, melakukan eksperimen seperti itu pada sebuah restoran pizza all-you-can-eat. Hasil eksperimennya: kelompok yang tidak mendapat kembalian biaya masuk, menyantap pizza dalam jumlah yang lebih banyak dibanding kelompok pengunjung yang uang masuknya dikembalikan oleh pelayan.

Walaupun hasil eksperimen itu meleceng dari dugaan alur pikir hukum biaya-manfaat (cost benefit), tetapi saya yakin ianya justru memotret apa yang pada umumnya terjadi dalam kehidupan nyata masyarakat. Orang pada umumnya ‘tidak mau rugi’. Perasaan itu, mendorong pengunjung restoran yang sudah mengeluarkan Rp60.000 cenderung akan makan sebanyak-banyaknya sehingga ia ‘merasa’ tidak rugi telah keluar uang sejumlah itu. Dalam benaknya: ‘.. saya harus untung..’, maka yang terjadi kemudian ia makan lebih banyak dari seharusnya. Padahal kalau ia merenungkan secara benar, begitu ia telah membayar Rp60.000, itu adalah sunk cost. Makan sebanyak-banyaknya hingga berlebihan tidak membuat ia untung, sama sekali tidak. Renungkan.

Lalu, apakah salah perilaku ‘tidak mau rugi’? Sama sekali tidak. Hanya, sebaiknya pertimbangan ‘tidak mau rugi’ ditempatkan sebelum membuat keputusan, bukan setelah keputusan itu diambil. Contoh di atas adalah ‘tidak mau rugi’ yang salah tempat. Silakan Anda uraikan penjelasannya.

Saya menyadari mungkin ada dari Anda yang dari tadi kurang nyaman karena bahasan kita soal makan, hal sepele. Jika begitu, silakan amati fenomena serupa dalam keseharian kita untuk hal yang lebih serius. Provider telepon selular memberi bonus gratis nelpon sepuasnya atau sekian ribu sms setelah pengguna membayar rupiah tertentu. Jebakan perilaku ‘tidak mau rugi’ bisa mendorong teman-teman kita untuk menelepon ke sana ke mari atau ber-sms ke sana ke mari, yang sebenarnya tidak perlu-perlu amat. Atau durasi bertelepon jadi cenderung lama, “tenang aja pren, lama nggak apa-apa nggak ada tambahan biaya kok…”. Semakin lama teman kita tadi bertelepon semakin dia berasa ‘beruntung’dari yang lain. Silakan Anda renungkan dengan baik, betulkah lebih beruntung?

Masih banyak fenomena lain yang serupa dengan bahasan kali ini dalam keseharian kita. Persoalan remeh kecil maupun persoalan besar serius, silakan Anda mengamati, semoga tulisan ini memberi cara pandang lebih baik, sehingga kehidupan kita lebih baik.

Sekarang Anda dapat melihat dengan cara baru dan jawaban yang lebih baik, kenapa teman-teman kita rela tergencet-gencet berjam-jam pada antrian untuk menerima amplop berisi uang pada suasana Idul Fitri sebagaimana kita menyaksikan pada tayangan TV. Saya berharap jawaban Anda bukan: kemiskinan. Kalau jawabannya itu, berarti saya tidak berhasil menyampaikan konsepsi ekonomi pada Anda di buku ini. Atau tolong Anda mau membaca ulang? Heru Narwanto

Tulisan ini terinspirasi “the pizza experiment”, Richard Thaler, 1980, “Toward a Positive Theory of Consumer Choice”, Journal of Economics Behavior and Organization 1, ringkasannya ada pada buku Robert H Frank, 2006, Microeconomics and Behavior, 6th Ed, McGraw Hill.