Pengembang Keberatan Dengan Pembatasan Penguasaan Lahan

Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan aturan baru terkait pemilikan lahan bagi kalangan pengembang. Dalam Peraturan Menteri Agraria dan tata Ruang/Kepala BPN No. 5 Tahun 2015 tentang izin lokasi, pemerintah membatasi pemilikan lahan oleh pengembang maksimal 400 ha di satu propinsi dan maksimal 4.000 ha di wilayah Indonesia.

Selain itu pengembang tidak boleh lagi membebaskan dan mengakuisisi lahan semaunya sebelum mendapatkan izin lokasi dari Kementerian ATR/BPN. Hal ini dilakukan karena pemerintah ingin menahan laju kenaikan harga properti karena selama ini kendati pengembang memborong lahan seluas-luasnya namun pengembangannya sangat sedikit sehingga suplai sangat kurang yang akhirnya mendorong harga properti kian tinggi.
Kendati tujuannya baik oleh Ketua DPD Real Estat Indonesia (REI) DKI Jakarta Amran Nukman, kebijakan ini dinilai menghambat kemajuan sektor property. Beleid ini dinilai tidak pro pasar dan tidak popular. “Lahan untuk pengembang itu modal utama, jadi pembebasan yang kita lakukan bukan untuk gaya-gayaan tapi untuk modal kerja. Jadi, lahan yang kita akuisisi itu untuk siklus bisnis,” ujarnya kepada housing-estate.com di Jakarta, Rabu (29/7).
Menurut Amran, bisnis properti tidak beda bisnis lainnya. Ia mencontohkan bisnis penambangan batubara, pengusaha pasti memiliki lahan untuk cadangan produksi. Cadangan lahan tersebut ditambang sedikit demi sedikit sesuai permintaan pasar. “Kalau seluruhnya laku, ya pasti akan digali seluruhnya. Kenyataannya tidak demikian, permintaan dari Cina berkurang, pasar Eropa stop, kalau demikian apa tambang batu bara itu dibilang menganggur,” urainya.
Ia mengatakan, pengembang yang punya lahan 1.000 ha kalau dapat terserap semua pasti tidak akan ditunda. Semuanya akan dikembangkan lalu mencari lahan baru lagi. “Jadi ini siklus bisnis biasa, bukan maksud kita untuk menahan-nahan, kalau memang menguntungkan dibangun sekarang pasti akan kita bangun,” imbuhnya.
Amran menyebutkan, Indonesia wilayahnya sangat luas tapi jumlah pengembangnya tidak banyak. Ia khawatir peraturan ini akan semakin membatasi jumlah pengembang dan memperlambat pertumbuhan properti. Kebijakan ini dinilai kotradiktif dengan keinginan pemerintah yang menginginkan berkembangnya industri properti.