HousingEstate, Jakarta - Pemerintah memangkas anggaran KPR bersubsidi fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) untuk masyrakat berpenghasilan rendah (MBR). Anggaran untuk tahun ini yang telah dialokasikan sebesar Rp9,7 triliun dipangkas lebih dari separuhnya menjadi Rp3,1 triliun. Perubahan ini tercantum dalam APBN Perubahan (APBNP) yang dibahas pemerintah bersama DPR pekan ini.

FLPP merupakan skema pembiayaan KPR yang bunganya disubsidi pemerintah sehingga kalangan MBR hanya membayar bunga sebesar 5 persen sepanjang tenor kreditnya dari bunga pasar yang mencapai 13-14 persen. Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, menyebut pemangkasan ini hanya menyesuaikan dengan penggunaan anggaran karena selama ini realisasi FLPP selalu di bawah target.

“Jadi ini bukan sekadar dipangkas, tapi menyesuaikan dengan penggunaan anggarannya. Kalau penggunaannya masih rendah kenapa anggarannya harus besar, jadi dibuat basis anggarannya pelaksanaan atau pemakaian anggaran itu sendiri,” ujar Askolani usai rapat pembahasan APBNP di Gedung DPR, pekan ini.

Menurut Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) Syarif Burhanuddin, pemangkasan ini juga tidak akan berpengaruh terhadap program sejuta rumah karena skema FLPP hanya salah satu cara penyaluran bantuan perumahan untuk kalangan MBR. Pemerintah masih memiliki skema lainnya sehingga kalangan MBR yang ingin mengakses perumahan tidak akan terganggu.

“Untuk skema program subsidi selisih bunga (SSB) itu anggarannya cukup besar, jadi kalau anggaran FLPP dipangkas tidak akan berpengaruh. Bahkan dengan skema SSB ini akan lebih banyak lagi kalangan MBR yang bisa dibantu pembiayaan perumahannya,” jelasnya kepada housing-estate.com, Sabtu (8/7).

Pemangkasan anggaran ini merupakan salah satu cara pemerintah untuk melakukan penghematan dan efektivitas penggunaan anggaran. Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui akun instagramnya smindrawati menjelaskan, defisit APBN kita berada pada kisaran 2,5 persen yang disebutnya masih aman dibandingkan negara lain anggota G20 yang mencapai di atas 5 persen.

Menurut Sri, dengan defisit 2,5 persen ini perekonomian Indonesia bisa tumbuh di atas 5 persen karena itu hutang harus dimaksimalkann untuk stimulus fiskal dengan disalurkan untuk kegiatan-kegiatan produktif. “Selama ini pembangunan kita tidak maksimal karena dalam kurun waktu 20 tahun pemerintah fokus menangani krisis ekonomi, makanya penghematan seperti ini tidak terhindarkan,” tandasnya.