HousingEstate, Jakarta - Toronto, Kanada, adalah kota yang paling berisiko mengalami housing bubble (gelembung kosong bisnis perumahan), karena di satu sisi nilai propertinya terus meningkat, di sisi lain tarif sewanya justru menurun. Demikian hasil survei UBS Group AG yang baru dirilis Kamis (28/9/2017). Survei dari bank yang berbasis di Swiss itu juga mencatat, ini pertama kali Toronto masuk ke dalam indeks 20 kota yang pasar perumahannya mengalami overvalued (kenaikan harga berlebihan).
Posisi berikutnya adalah Stockholm (Swedia), Munich (Jerman-Bavaria), Vancouver (Kanada), Sydney (Australia), dan London (Inggris). “Pasar perumahan di London saat ini dalam situasi tidak menentu, tidak ada yang tahu sampai kapan kondisi itu akan berlangsung,” kata Matthias Holzhey, ekonom UBS dan penulis laporan survei. Namun begitu, lanjutnya, masih ada kota-kota lain di Eropa yang cukup atraktif bisnis propertinya seperti Frankfurt (Jerman) dan Milan (Italia).
Inflasi nilai rumah di ibukota Inggris itu hampir 45 persen lebih tinggi dari kondisi lima tahun lalu. Bila dibandingkan dengan saat krisis finansial tahun 2007, kenaikan harganya mencapai 15 persen, sementara pendapatan riil (dari hasil sewa)-nya justru turun 10 persen. Kondisi ini menyebabkan para pekerja kerah putih di bidang jasa harus bekerja 16 tahun untuk mengumpulkan uang demi membeli apartemen seluas 60 m2 yang tidak begitu jauh dari pusat kota. Periode kerja yang lebih panjang itu juga harus ditempuh para pekerja di Hong Kong yang harus menabung hingga 20 tahun masa kerja demi mendapat hunian yang layak.
Tapi, survei UBS itu juga memperlihatkan, para pembeli lokal berani bertaruh kalau 20 kota-kota utama dunia itu akan tetap unggul dalam hal kenaikan harga perumahannya. Proyeksi itu tidak saja berasal dari pasar domestik, juga dari pasar internasional-terutama pembeli asal Tiongkok-karena secara rata-rata harga rumah di kota-kota tersebut naik hampir 20 persen dalam tiga tahun terakhir.
“Perbaikan ekonomi, dan sebagian ditambah dengan tumbuhnya tingkat pendapatan, serta rendahnya bunga pinjaman, memberi dampak menguatnya permintaan terhadap perumahan di perkotaan,” kata Claudio Saputelli, Head of Global Real Estate for UBS Wealth Management’s Chief Investment Office.
Dari 20 kota tersebut, tiga kota di Asia ada di dalamnya: Hongkong (peringkat ketujuh), Tokyo (peringkat 14) dan Singapura (peringkat 17). Hongkong, kota dengan harga hunian termahal di dunia, termasuk dalam kelompok kota yang paling berisiko. Begitu mahalnya harga hunian di kota itu, luas unit rata-rata yang bisa terjangkau berukuran 14 m2. Serupa dengan Singapura, harga rumah di Hong Kong mengalami kenaikan dua digit selepas krisis finansial 2007-2008.
Sementara Jepang yang sudah mengalami housing bubble sejak tahun 1980-an, kemudian tumbuh secara moderat tahun 2006. Karena itu pasarnya sudah lebih baik sebelum bank sentral Jepang mengeluarkan regulasi kemudahan berinvestasi di sektor properti. Pemerintah Singapura dan Hong Kong juga sudah menelurkan regulasi serupa guna menekan harga perumahannya, sehingga pasar perumahan di kedua kota ini sudah sedikit lebih baik.
Sumber: Bloomberg & UBS