HousingEstate, Jakarta - Setiap minggu pertama hari Senin pada bulan Oktober diperingati sebagai Hari Habitat, dan setiap 31 Oktober merupakan Hari Kota Dunia yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hari Habitat dimaksudkan untuk memperingati seluruh pihak yang berkepentingan (stake holder) agar menyadari dan peduli tentang betapa pentingnya soal pemukiman. Sementara Hari Kota Dunia merupakan respon global terhadap pengelolaan berbagai kawasan yang terus berkembang menjadi perkotaan.

Karena itu menurut Sekretaris Ditjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) Rina Agustin Indriani, pemukiman dan perkotaan telah menjadi isu dunia dan Indonesia merupakan salah satu negara yang aktif di ajang internasional mengenai hal itu.

“Kita memperingati dua ajang penting ini secara bersamaan karena jatuhnyaa sama-sama bulan Oktober. Intinya (melalui dua peringatan terkait permukiman itu), bagaimana kita bisa membuat  hunian yang terjangkau untuk seluruh masyarakat dan menjawab tantangan pengelolaan kota yang makin berat dan karena itu menjadi isu dan concern global,” katanya saat press tour ke Kota Ambon, Maluku, Kamis (5/10).

Dunia menghendaki semua kota harus bersifat terbuka dan bisa menampung semua kalangan masyarakatnya. Kemenpupera mengklaim cukup aktif mensosialisasikan konsep kota yang terbuka dan ramah bagi urbanisasi itu, dan bukan sebaliknya menganggap urbanisasi sebagai beban kota. Untuk itu seluruh dinamika perkotaan perlu diatur dengan sebuah regulasi dan manajemen kota yang melibatkan semua pihak.

Tantangan perkotaan lainnya adalah, harus bisa menyediakan hunian bagi seluruh segmen penduduknya. Itu artinya harus tersedia hunian yang terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin. Karena itu, kawasan-kawasan kumuh di berbagai kota di Indonesia juga perlu diperbaiki. Tahun 2015 terdapat 38 ribu ha kawasan kumuh. Hingga saat ini baru berkurang 3.243 ha atau sekitar 8,84 persen.

Rina menjelaskan, sangat sulit mengurangi kawasan kumuh. Antara lain pesatnya perkembangan dan pertambahan penduduk kota tanpa diiringi dengan perencanaan dan penataan yang memadai untuk mengakomodasinya. Bahkan, untuk mempertahankan kawasan kumuh yang telah ditata saja tidak mudah.

“Di Kemenpupera ada program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Tapi, merevitalisasi kawasan kumuh itu tidak mudah. Kerap ada penolakan dari masyarakat dan organisasi massa karena penataan sering dianggap penggusuran. Kita perlu contoh-contoh kota yang (makin tertata) dan mendapat apresiasi dunia seperti Bandung, Surabaya, dan lain-lain. Memang, dibutuhkan komitmen ekstra dari setiap kepala daerah untuk menata kotanya,” jelasnya.