HousingEstate, Jakarta - Moh. Mahfud MD (61) salah satu tokoh populer di Indonesia saat ini. Pandangannya tentang masalah kenegaraan dan hukum ditunggu dan menjadi rujukan banyak orang. Pria asal Sampang, Madura, ini dinilai sebagai negarawan yang berpikiran jernih, jujur, lugas, dan diterima berbagai kelompok masyarakat yang sangat plural. Ia punya otoritas berbicara soal politik kenegaraan karena mantan Koordinator Presidium KAHMI (Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) ini adalah guru besar hukum tata negara, pernah menjadi ketua Mahkamah Konstitusi (MK), menteri, dan anggota legislatif. Sebagai anak pesantren dan kader NU, pandangan Mahfud dianggap mewakili kalangan muslim moderat yang mengayomi semua lapisan masyarakat. Tidak sedikit kaum Tionghoa mendorongnya mendampingi petahana pada Pilpres 2019.
Jangan heran Mahfud kerap ditanggap berbegai kalangan tidak terkecuali civil society dan kaum profesional yang eksistensinya jarang muncul ke permukaan. Contohnya, 10 April 2018 lalu Mahfud berbicara di depan anggota Aspirasi (Asosiasi Penulis dan Inspirator Seluruh Indonesia) di Menara Standard Chartered Jakarta. Ia berbicara bagaimana merawat Indonesia agar tetap eksis dan utuh. Thomas Sugiarto, agen properti pemilik Thomas Mitra Property yang juga Wakil Ketua Umum Aspirasi, menyebutkan, kaum profesional perlu mendengar pandangan Mahfud karena dia tokoh idealis yang selalu berbicara kepentingan bersama di atas kepentingan kelompok.
Mahfud mengaku prihatin, setelah dua dasawarsa reformasi kondisi hukum dan keadilan makin memburuk. Korupsi merajalela dan hukum diperjualbelikan. “Padahal, kalau tidak dikorupsi dari sektor tambang saja hasilnya jika dibagi setiap kepala orang Indonesia bisa dapat Rp20 juta per bulan. Itu belum dari hutan dan laut,” kata ayah tiga anak ini. Karena itu, lanjutnya, kalau negara ini mau baik, hukum harus tegak. Tegaknya hukum akan membuat lebih dari setengah persoalan bangsa terselesaikan.
Suami Zaizatun Nihayati ini menyebutkan, akar persoalannya terletak pada mayoritas pejabat yang tersandera masa lalu. Mereka tidak dapat bertindak benar karena punya masa lalu buruknya seperti korupsi dan suap sehingga takut dibongkar. Saling sandera ini harus diakhiri. Salah satu solusinya membuat Undang-Undang Pengampunan Nasional, melupakan masa lalu dan jangan korupsi lagi. Kalau tetap mengulangi, dihukum mati seperti di China. Atau menghentikan semua hakim, paling tidak satu generasi hakim diamputasi untuk diganti yang baru. “Saya waktu jadi Menteri Kehakiman menyiapkan UU Amputasi yang dirancang Todung Mulya Lubis. Tapi, sebelum diberlakukan Gus Dur jatuh dan saya demisioner,” terang alumnus Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta tahun 1982 ini.