HousingEstate, Jakarta - Keluhan soal regulasi kembali mencuat dari kalangan pengembang terkait pengurusan perizinan khususnya pemecahan (split) sertifikat tanah. Pemerintahan yang terus berganti tidak membuat kenyataan di lapangan berubah, khususnya soal besaran biaya dan kepastian waktu pengurusannya.

“Di kita itu yang menjadi kendala, tapi karena terbiasa dilakukan bertahun-tahun, tidak dirasa sebagai kendala lagi. Bahkan, saking biasanya tidak menganggap kendala itu sebagai permasalahan. Split sertifikat itu misalnya, biaya resminya Rp120 ribu tapi kenyataannya bisa Rp2,5-5 juta,” kata Ari T Priyono, Sekjen DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) saat pengukuhan pengurus DPD Himperra DKI Jakarta, Kamis (17/1/2019).

Sebagai pengembang, Ari menyebut pihaknya membutuhkan kecepatan proses untuk memastikan legalitas proyeknya, sehingga bisa segera berjualan dan menghasilkan uang untuk kembali diputar. Kenyataannya, semakin dekat lokasi proyek dengan ibukota, biaya split sertifikatnya akan semakin mahal.

“Di sisi lain kita juga takut melakukan praktik itu karena banyak biaya nggak resminya. Kalau pas lagi transaksi ditangkap, menurut undang-undang yang salah bukan hanya orang pemerintah daerah (pemda) atau kantor pertanahan, tapi kita juga langsung kena delik pidana,” jelasnya.