HousingEstate, Jakarta - Kita sudah lama memiliki UU Perumahan dan Kawasan permukiman (PKP) No 1/2011. Salah satu poin pentingnya adalah kewajiban pengembangan konsep 1-2-3 atau hunian berimbang. Aturan ini mewajibkan pengembang membangun dengan komposisi setiap pembangunan satu rumah mewah diikuti dengan dua rumah menengah dan tiga hunian bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di satu hamparan.

Setelah delapan tahun UU itu diketok, hingga saat ini aturan turunannya belum juga tersedia sehingga pengembang tidak juga menjalankan kewajiban itu dengan berbagai alasan. Yang paling mengemuka adalah mahalnya harga tanah untuk mengembangkan konsep tersebut di wilayah perkotaan.

Menurut Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) Khalawi Abdul Hamid, penerapan konsep 1-2-3 bisa ditafsirkan dan diusulkan bermacam-macam oleh pengembang. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk UU PKP sendiri telah bolak-balik dibahas namun tidak kunjung ditetapkan.

“Beberapa asosiasi pengembang masih keberatan terkait keharusan lokasi rumah bersubsidinya di satu hamparan itu. Padahal, UU-nya kan sudah rigid dan amanatnya jelas, hunian berimbang. Masalahnya satu hamparan itu ada yang maunya (ditafsirkan di) satu kabupaten (tidak harus di kawasan perumahan yang sama), satu provinsi, bahkan satu pulau. Itu maunya pengembang,” katanya kepada housingestate.id di Jakarta, Jumat (15/2/2019).

Khalawi menyebut bisnis properti terkait dengan banyak kepentingan, sehingga pembahasan RPP termasuk untuk hunian berimbang itu terus molor, demi menampung banyak kepentingan tersebut. Ia tidak ingin sesuatu ditetapkan, tapi kemudian tidak bisa diterapkan di lapangan. Karena itu lebih baik agak lama namun nanti hasilnya lebih firm.

“Sekarang tinggal harmonisasi. Saya ingin begitu semua sepakat, diketok, langsung bisa jalan dan dilaksanakan. Namanya aturan tentu tidak bisa sempurna, dan itu tidak apa-apa karena bagian dari dinamika. Tapi, kalau penafsiran hunian berimbangnya berarti satu pulau tentu terlalu luas. Kalau satu provinsi masih oke,” ujarnya.