HousingEstate, Jakarta - Bisnis properti yang melemah sekian tahun terakhir ternyata lebih panjang dari yang diperkirakan para praktisi maupun pengamat. Pelemahan yang terjadi tentunya diakibatkan banyak faktor baik internal (nasional) maupun eksternal (regional dan global) selain karena regulasi yang kurang pas melihat situasi. Selain itu kesalahan juga karena pelaku bisnis sendiri dalam hal ini pengembang atau developer.
Menurut Anton Sitorus, Head of Research Savills Indonesia, sebuah perusahaan riset, konsultasi, dan manajemen property di Jakarta, beberapa hal yang dilakukan pengembang justru menghambat perkembangan bisnis properti itu sendiri sehingga tidak segera pulih.
“Pengembang kita suka nggak match menerapkan pricing dengan daya beli, sehingga antara suplai dan permintaan pasar tidak pas. Belum menyebut properti yang (terlalu) dijadikan instrumen investasi yang juga berdampak terhadap keenaikan harga yang tidak wajar, valuasi harga tanah, dan lain-lain, yang membuat bisnis properti kita tidak segera rebound padahal potensi kita sangat besar,” katanya kepada housingestate.id saat paparan kondisi pasar properti terkini versi Savills Indonesia di Jakarta, Rabu (27/2/2018).
Gambarannya seperti ini. Investor yang membeli properti tidak perduli dengan harga sebuah properti, selama uang yang dibelanjakannya akan balik sekian persen saat nanti propertinya dijual lagi. Hari ini dia membeli properti Rp1 miliar, harapannya dalam 1-3 tahun bisa kembali dengan nilai lebih tinggi sehingga mendapat capital gain (surplus atau keuntungan dari selisih harga beli dan jual).
Akibatnya, bagi konsumen yang membeli properti untuk dihuni sendiri (end user), yang hari ini memiliki gaji Rp10 juta dan menunda pembelian propertinya, tiga tahun yang akan datang dengan gaji yang sudah naik katakanlah jadi Rp13 juta, tetap tidak akan bisa mencicil rumah yang diingininya, karena akselerasi kenaikan harganya melampaui peningkatan gajinya.
Kebijakan pricing developer yang selalu menaikkan harga propertinya merupakan siasat agar proyeknya dianggap selalu menguntungkan (di mata investor). Padahal, seharusnya dengan situasi seperti ini developer juga kreatif menetapkan pricing. Jangan hanya kreatif dari sisi desain dengan memperkecil produk supaya harganya terkesan lebih murah. Akhirnya banyak produk rumah yang dibangun di atas lahan ekstra kecil mulai dari 40 m2.
Ada banyak hal yang bisa dieksplorasi untuk membuat harga propertinya yang lebih sesuai dengan kondisi pasar. Misalnya, kerja sama antara pengembang besar dan pengembang kecil yang memiliki lahan namun kurang pengalaman dalam pengembangan proyek atau kerja sama pengembangan dengan pemilik lahan.
Anton mengakui, siasat itu sudah dilakukan developer tapi belum menjadi norma umum dan cenderung penentuan harganya tetap tinggi di atas ekspektasi pasar. Belum valuasi terhadap nilai lahan yang dibeli pengembang sejak puluhan tahun lalu, namun dihitung seperti membelinya kemarin sehingga harganya sangat tinggi.
“Dulu waktu beli lahan secara nilai itu nggak ada apa-apanya. Memang, tetap harus dihitung menurut nilai kekinian atau net present value (NPV). Tapi, developer kadang kebangetan menghitunganya. Tanah yang sebetulnya dinaikkan 30 persen saja sudah untung, dinaikkan hingga ratusan persen. Makanya, produknya juga selalu di atas harga pasar yang membuat akses konsumen selalu terbatas,” jelasnya.