HousingEstate, Jakarta - Makin padatnya perkotaan karena urbanisasi yang tinggi, membuat hunian mau tak mau dibangun vertikal berupa apartemen untuk optimalisasi penggunaan lahan. Namun, dalam praktik sampai hari ini, sekitar 70–80 persen apartemen dibeli bukan untuk dihuni sendiri melainkan masih untuk tujuan investasi (disewakan dan/atau dijual kembali).

Umumnya apartemen juga dipasarkan secara inden, masih berupa gambar dengan jaji serah terima sekian tahun kemudian. Karena itu pemasarannya jarang mendapat dukungan pembiayaan dari bank. Umumnya konsumen membeli secara tunai bertahap atau bahkan tunai langsung. Sebagai gimmick, developer lazimnya memberikan harga spesial untuk konsumen seperti itu.

Di satu sisi hal itu memberikan prospek keuntungan yang besar kepada konsumen dari kenaikan harga jual unit apartemen setelah nanti jadi, di sisi lain juga menciptakan risiko tinggi dari kemungkinan apartemen tidak dibangun atau telat dibangun, serta tidak banyak dihuni saat nanti sudah jadi dan diserah-terimakan sehingga sulit disewakan dan menjadi sumber kisruh pengelolaan.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Penghuni Rumah Susun Seluruh Indonesia (APERSSI) Ibnu Tadji, secara umum ada tiga jenis konsumen apartemen: yang membeli untuk dihuni sendiri (end user), yang membeli untuk tujuan investasi, dan spekulan. Konsumen tipe ketiga ini bisa berbahaya.

“Spekulan membeli saat barangnya belum ada, langsung mencicil ke rekening developer yang tidak ada perlindungannya sama sekali kalau proyeknya tidak jadi dibangun. Ketika proyek berproses dan mulai dibangun, tentu harganya naik. Spekulan mentransaksikan margin keuntungannya dengan developer untuk menjual kembali unitnya kepada konsumen yang baru. Prosesnya sama sekali tanpa jaminan hitam di atas putih sehingga sangat berisiko,” katanya kepada housingestate.id di Jakarta, Rabu (6/3/2019).

Para spekulan ini, menurutnya, harus diatur dengan regulasi pemerintah agar proyek apartemen tidak dijadikan ajang spekulasi. Hal ini karena nantinya akan terkait dengan keberlangsungan proyek tersebut saat mulai jadi dan operasional. Spekulan yang terlalu aktif mentransaksikan unitnya akan membuat apartemen tidak terhuni dan ini merugikan konsumen yang membeli benar-benar untuk dihuni sendiri.

Sementara yang membeli apartemen untuk investasi, biasanya berasal dari kalangan yang sudah memiliki properti sebelumnya berupa rumah tapak. Biasanya kalangan ini akan menyewakan unitnya dan membeli karena berharap nilai uang yang dibelanjakannya akan meningkat melalui peningkatan harga unitnya.

“(Keberadaan spekulan) ini nanti terkait dengan pengelolaan apartemen, pemeliharaan barang dan fasilitas bersama, maintenance gedung seperti lift, penerangan umum, keamanan, kebersihan, dan lain sebagainya. Konsumen yang membeli untuk spekulasi atau investasi, biasanya tidak mau segera unitnya diserah-terimakan, karena dia akan langsung kena kewajiban pembayaran iuran pengelolaan lingkungan (IPL). Nanti (karena ulah para spekulan itu), yang sulit para pengelola dan penghuni apartemen,” jelasnya.