Millennials, Tidak Usah Takut Ambil Kredit Rumah

Salah satu karakterisitk anak muda zaman now, banyak yang ingin menjadi entrepreneur (wirausaha) atau freelancer yang waktu kerjanya fleksibel, bukan pekerja kantoran. Kalaupun bekerja di sebuah institusi seperti perusahaan, banyak yang tidak betah dan suka berpindah-pindah demi menemukan suasana kerja yang cocok dengan gaya hidupnya.
Dalam sebuah diskusi properti baru-baru ini di Jakarta yang dihadiri banyak kaum muda, soal itu menjadi salah satu topik bahasan dan ditanyakan peserta kepada para pembicara yang terdiri dari developer, bankir, broker, dan lain-lain. Menurut seorang peserta, karena karakteristik itu kaum milenial kurang antusias meminta kredit rumah (KPR/KPA) karena khawatir ditolak bank, atau takut tidak mampu membayar cicilannya hingga jatuh tempo.
“Bagaimana bapak-bapak menanggapi persoalan itu?“ tanya peserta tersebut. Pembicara dari kalangan bankir menjawab pertanyaan itu dengan mengakui, bank penyalur kredit rumah memang cenderung hanya melayani pekerja formal berpenghasilan tetap karena lebih mudah dan aman. Kalaupun pemilik usaha dan pekerja freelance bisa mendapatkan KPR, periode atau tenornya biasanya sangat pendek (kurang dari lima tahun), persyaratan uang mukanya jauh lebih besar, dan bunganya lebih tinggi.
“Karena itu perencanaan keuangan sangat penting. Kondisi keuangan kamu harus bagus sehingga meyakinkan bank (memberikan kredit), misalnya dengan rutin menabung,“ kata mantan dirut sebuah bank yang kini memimpin sebuah perusahaan financial technology (fintech) itu. Solusi serupa disampaikannya untuk milenial pekerja formal yang khawatir tidak mampu membayar cicilan rumah karena kerap berpindah-pindah kerja.
“Kamu harus membuat perencanaan keuangan yang memungkinkan kamu tetap bisa membayar cicilan KPR dalam situasi apapun. Kamu harus konsisten menyisihkan sebagian penghasilan untuk ditabung. Bonus-bonus atau penghasilan tambahan selama bekerja sebaiknya juga ditabung untuk bekal saat situasi sulit,“ ujarnya.
Banyak solusi
Bagaimana kalau dengan disiplin menabung pun kamu akhirnya tetap tidak mampu melanjutkan pembayaran cicilan rumah? Misalnya, karena belum juga mendapatkan pekerjaan baru atau penghasilan kamu tidak cukup lagi membayar angsuran kredit karena bunganya naik, biaya hidup meningkat, dan lain-lain?
Ini juga bukan berarti langsung kiamat. Sesulit apapun situasinya, selalu ada solusi sebelum akhirnya kita harus menyerah. Pertama datangi bank pemberi kredit untuk membicarakan solusinya. Bank tidak mungkin cuek dengan kesulitan kamu karena itu berarti kesusahan mereka juga.
Memang, bank bisa menyita rumah (agunan) bila kreditnya macet. Tapi, tidak ada bank yang akan serta merta melakukannya, karena mereka bukan investor atau kolektor properti. Makin banyak koleksi rumah sitaan mereka, makin mahal biaya penanganannya. Lazimnya bank akan menawarkan rescheduling (penjadwalan kembali kredit) dengan misalnya, memperpanjang tenornya, katakanlah dari 15 tahun menjadi 20 atau 25 tahun.
“Kita bisa memperpanjang tenor untuk debitur (peminjam) yang kesulitan meneruskan cicilan. Untuk itu debitur tinggal mengajukan permohonan dan menjelaskan kondisi keuangannya kepada bank,“ kata Dewi Damajanti “Maya” Widjaya, Vice President, Head Marketing & Product Development Permata Bank, kepada housingetate.id.
Katakanlah nilai KPR Rp100 juta dengan tenor 10 tahun. Kamu sudah mengangsur lima tahun sehingga saldo (outstanding) kredit tinggal Rp80 juta. Karena adanya kenaikan bunga, sebutlah dari 12 menjadi 14 persen, pada awal tahun ke-6 kredit di- rescheduling menjadi 20 atau 25 tahun. Maka, cicilan KPR berikutnya dihitung ulang untuk periode 15 atau 20 tahun ke depan dari outstanding Rp80 juta menurut tingkat bunga yang berlaku saat itu (14 persen). Jadi, cicilan selanjutnya lebih ringan.
Bank biasanya akan mempelajari permohonan debitur dengan melihat usia dan kemampuan membayarnya serta periode hak guna bangunan (HGB) rumah yang diagunkan. Kalau HGB-nya tinggal 10 tahun dan usia debitur sudah mendekati 50 tahun, bank tidak mau memperpanjang tenor KPR hingga 10 tahun. Paling banter tenornya sampai mendekati usia pensiun debitur dan/atau masa HGB rumah berakhir.
Setelah rescheduling disetujui, bank akan melakukan pengikatan ulang setelah debitur membayar tambahan premi asuransi (jiwa dan kerugian) dan beberapa biaya lain. Besarnya biaya tambahan seperti asuransi itu tergantung panjang pendeknya rescheduling kredit yang disetujui.
Jangan biarkan disita
Kadang-kadang rescheduling pun tidak menolong karena kondisi keuangan debitur sudah begitu berat. Bila itu yang terjadi, kamu mungkin bisa mencari pinjaman dana tanpa bunga dari saudara dan kerabat untuk melunasi kredit, dengan perjanjian setelah itu rumah menjadi milik berdua, bertiga, atau berempat. Selanjutnya rumah bisa dijual dengan tenang untuk melunasi utang itu.
Solusi lain, minta keringanan lain dari bank. Misalnya, selama beberapa waktu membayar bunga dulu, atau pokok plus bunga tapi tidak penuh. Kalau bank tidak mengabulkan, tak ada jalan lain kecuali menjual rumah yang diagunkan. Selanjutnya cicilan kredit bisa diteruskan pembeli rumah. Atau bisa juga rumah dijual putus, duitnya dipakai untuk melunasi saldo KPR.
Opsi manapun yang dipilih, lazimnya kamu masih mendapat kelebihan dari penjualan rumah itu, karena di Indonesia nilai rumah selalu meningkat. Keuntungan (gain) dari penjualan rumah itu kelak bisa dipakai untuk uang muka rumah baru yang lebih kecil. Intinya, kalau sudah kepepet betul, jual rumah yang dijadikan agunan kredit. Jangan biarkan kredit menjadi macet dan rumah disita bank.
Pasalnya, kalau sudah disita, rumah akan dilelang bank untuk melunasi saldo kredit. Kalau ada sisa baru dikembalikan kepada debitor. Dalam praktik ini jarang terjadi, karena lelang melibatkan banyak pihak dengan target mengembalikan duit bank secepatnya. Jadi, hasil lelang tidak mungkin optimal. Bahkan, dalam sejumlah kasus debitur masih harus nombok. Walhasil, setelah sekian lama mencicil, kamu tidak mendapat apa-apa dari rumahnya. Rugi banget, kan?
Tidak di bawah tangan
Hanya saja, kalau menjual rumah yang dibeli dengan KPR bank, jangan melakukannya di bawah tangan dengan alasan tidak mau ruwet. Tindakan itu bukan hanya berisiko tapi juga melanggar hukum. Soalnya yang ditransaksikan adalah agunan kredit di bank. Selain itu penjualan di bawah tangan juga bisa merugikan pembeli. Misalnya, secara diam-diam setelah bertransaksi, penjual (debitur) melunasi kredit dan mengambil sertifikat rumah di bank.
Bila selama masa kredit pembeli meninggal dunia, rumah juga tidak bisa diwariskan kepada keluarga yang ditinggalkan karena masih atas nama penjual. Sementara bagi penjual, kalau pembeli menunggak cicilan beberapa waktu setelah bertransaksi, yang ditagih tetap kamu sebagai penjual.
Bahkan, kalaupun sampai kredit jatuh tempo tidak terjadi masalah, pembeli bisa susah mengurus balik nama rumah dan biayanya lebih mahal. Apalagi, kalau penjual sudah pindah rumah atau meninggal dunia. Pasti lebih repot lagi. Siapa yang berhak mengambil sertifikat rumah di bank? Penjualan rumah paling aman dilakukan melalui bank penyalur kredit dengan status alih debitur.
“Prosesnya (bagi pembeli) seperti mengajukan permohonan KPR baru,“ ujar Maya. Di bank pembeli bisa memilih akan melanjutkan cicilan atau melunasi seluruh saldo KPR. Kalau melunasi, pembeli tinggal membayar ke penjual dan bank ditambah biaya-biaya seperti administrasi, notaris, balik nama, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan pinalti percepatan pelunasan KPR. Semua biaya itu bisa ditanggung penjual tergantung kesepakatan.
Sebaliknya kalau melanjutkan cicilan KPR, pembeli mengisi formulir aplikasi KPR berikut persyaratan dan aneka biayanya. Seperti setiap permohonan KPR, bank akan menilai kelayakan debitur yang baru sebelum mengabulkan atau menolak pengajuan KPR-nya. Dalam praktik jarang aplikasi KPR alih debitur yang ditolak, karena logikanya mustahil orang berani mengambil alih cicilan kredit rumah bila tidak mampu.
Begitu permohonan kredit disetujui, penjual dan pembeli menandatangani transaksi jual beli dan formulir persetujuan alih debitur. Setelah menerima pembayaran, debitur lama menyerahkan semua dokumen KPR yang dipegangnya kepada pembeli. Seluruh proses itu memakan waktu 1–2 minggu setelah persyaratan lengkap tergantung kebijakan setiap bank.
Jadi, millenials, tidak usah khawatir mengambil kredit rumah. Kamu yang bewirausaha tetap bisa mendapatkannya asal mampu menunjukkan kondisi keuangan yang meyakinkan dan sustain (berkelanjutan) melalui konsistensi menabung. Sementara kamu yang pekerja formal, kalaupun suatu saat benar-benar tidak mampu membayar cicilan kredit, bisa menjual rumahnya dan tetap menerima keuntungan dari total cicilan kredit plus biaya-biaya yang sudah dibayarkan.