HousingEstate, Jakarta - Pemerintah cq Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menaikkan batas penghasilan kelompok masyarakat yang boleh menikmati subsidi perumahan. Yaitu, dari semula maksimal Rp4 juta/bulan (untuk pembelian rumah tapak bersubsidi) dan Rp7 juta (rumah susun atau apartemen sederhana milik) menjadi maksimal Rp8 juta-Rp8,5 juta per bulan tergantung jenis KPR bersubsidi dan hunian serta wilayahnya.
Hal itu tertuang dalam KEPUTUSAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 242/KPTS/M/2020 TENTANG BATASAN PENGHASILAN KELOMPOK SASARAN KREDIT/PEMBIAYAAN PEMILIKAN RUMAH BERSUBSIDI, BESARAN SUKU BUNGA/MARJIN PEMBIAYAAN BERSUBSIDI, LAMA MASA SUBSIDI DAN JANGKA WAKTU KREDIT/PEMBIAYAAN PEMILIKAN RUMAH, BATASAN HARGA JUAL RUMAH UMUM TAPAK DAN SATUAN RUMAH SUSUN UMUM, BATASAN LUAS TANAH DAN LUAS LANTAI RUMAH UMUM TAPAK, LUAS LANTAI SATUAN RUMAH SUSUN UMUM SERTA BESARAN SUBSIDI BANTUAN UANG MUKA PERUMAHAN tertanggal 24 Maret 2020.
Subsidi berlaku baik untuk pembelian hunian secara kredit dengan bank konvensional maupun syariah. Jenis kredit pemilikan rumah/apartemen (KPR/KPA) bersubsidinya adalah KPR Sejahtera dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumaha, KPR Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan Selisih Marjin (SSM). Di luar itu ada juga subsidi bantuan uang muka (SBUM).
Sebelumnya pemerintah sudah menghapuskan KPR SSB tahun ini, fokus menyalurkan KPR sebsidi FLPP ditambah KPR BP2BT yang memberikan subsidi uang muka besar namun bunga KPR-nya komersial. Tahun ini menyusul wabah Covid-19, pemerintah menghidupkan lagi KPR SSB dengan menyediakan anggaran subsidi untuk 175 ribu rumah, sebagai stimulus terhadap bisnis properti secara umum dari guncangan ekonomi akibat wabah dahsyat itu.
Khusus untuk wilayah Papua dan Papua Barat, menurut Kepmen 242 yang baru itu, bunga kredit pemilikan rumah (KPR) atau apartemen (KPA)-nya juga diturunkan menjadi 4 persen per tahun fixed (tetap) selama masa subsidi. Sedangkan untuk wilayah lain tetap 5 persen seperti sebelumnya.
Khusus Papua dan Papua Barat juga, SBUM-nya ditetapkan Rp10 juta per debitur, sedangkan untuk rumah bersubsidi di wilayah lain Rp4 juta.
Tenor atau masa KPR atau KPA-nya tidak berubah, maksimal 20 tahun. Hanya saja, masa subsidinya tidak lagi diberikan selama tenor kredit/pembiayaan 20 tahun seperti sebelumnya, tapi dibatasi paling lama 10 tahun.
Sebelumnya, untuk memperbesar kapasitas pemberian subsidi sehingga lebih banyak masyarakat berpenghasilan rendah/menengah (MBR/MBM) yang bisa mendapatkannya, asosiasi perusahaan developer seperti Himperra dan REI sudah mengusulkan adanya pembatasan masa pemberian subsidi tersebut.
Untuk rumah tapak bersubsidi luas kavelingnya dibatas minimal 60 m2 dan maksimal 200 m2, luas bangunan paling kurang 21 m2 dan paling besar 36 m2. Sedangkan untuk rumah susun luas unit paling kurang 21 m2 dan paling luas 36 m2.
Sementara untuk KPR bersubsidi yang surat persetujuan pemberian kreditnya diterbitkan bank tanggal 27 Desember–31 Maret 2020, batas penghasilan maksimal penerima subsidi masih tetap Rp4 juta/bulan (rumah tapak) dan Rp7 juta (rumah susun).
Dalam Kepmen yang sama pemerintah menegaskan kembali patokan harga jual rymah tapak dan rumah susun yang bisa mendapat subsidi dalam kepemilikannya secara kredit. Yaitu, Rp150.500.000–Rp219.000.000 per unit tergantung provinsi atau kabupaten/kota (rumah tapak), dan Rp248.000.000 (Rp6,9 juita/m2)–Rp565.200.000 (Rp15,7 juta/m2) tergantung provinsi atau kabupaten/kota.