HousingEstate, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) melalui Keputusan Menteri PUPR No. 535/KPTS/M/2019 telah menetapkan harga baru rumah bersubsidi untuk tahun 2020. Ketentuan harga baru ini sudah ditetapkan sejak Desember 2019 dan berlaku efektif per 1 April 2020.

Ada lima wilayah dengan patokan harga berbeda. Untuk wilayah Jawa dan Sumatera (kecuali Jabodetabek, Riau, Bangka Belitung, dan Mentawai), harga rumahnya disesuaiakan dari tahun 2019 Rp140 juta  menjadi Rp150,5 juta. Wilayah Kalimantan (kecuali Kabupaten Murung Raya dan Mahakam Ulu) ada penyesuaian harga dari Rp153 juta menjadi Rp164,5 juta.

Wilayah Sulawesi, Bangka Belitung, dan Riau, terjadi penyesuaian dari Rp146 juta menjadi Rp156,5 juta. Kemudian Maluku, Bali, Nusa Tenggara, Jabodetabek, Anambas, Murung Raya, dan Mahakam Ulu penyesuaian harganya dari Rp158 juta menjadi Rp168 juta. Patokan harga di Papua dari Rp212 juta menjadi Rp219 juta.

Kalangan pengembang menyambut baik kenaikan patokan harga ini. Menurut asosiasi Real Estate Indonesia (REI) patokan harga baru tersebut merupakan usulan REI sejak lama. “Yang mengherankan kenapa harga  sudah ditetapkan sejak  2019  tapi baru diberlakukan April 2020,” Kata Totok Luisda, Ketua Umum DPP REI.

“Sebagai pengembang tentu kami mengapresiasi kenaikan ini walaupun kita mempertanyakan kenapa ada jarak pemberlakuannya, apa sih bedanya? Kita perusahaan pengembang ini membutuhkan proses yang panjang dan investasi yang tidak sedikit dengan kenyataan semua harga pada naik,” ujarnya kepada housingestate.id, Jumat (3/4).

Totok juga merespon kritikan beberapa pihak termasuk dari kalangan pemerintah yang menyebut kalangan pengembang menahan produknya untuk mendapatkan patokan harga baru ini. Kritikan lainnya, cost structure produk yang sudah dikembangkan sebelumnya tapi dihitung menggunakan cost structure yang baru.

Menurutnya, hal tersebut tidak terlepas dari panjangnya proses pengembangan suatu kawasan. Terlebih untuk rumah murah dengan margin yang sangat tipis. Pengembang, jelas Totok, tidak bisa disamakan dengan jenis usaha perdagangan lain yang hanya membeli dengan harga pokok sekian, kemudian mengambil margin untuk keuntungannya.

Ada banyak faktor yang harus diperhitungkan karena pengembang bekerja dengan cara meng-create suatu kawasan kosong yang belum bernilai menjadi suatu kawasan yang bernilai tinggi termasuk untuk memfasilitasi kehidupan. Dalam perjalanannya ada banyak faktor khususnya kenaikan harga yang pasti terjadi dalam setiap prosesnya.

“Dalam pengembangan itu ada cost of money yang harus kita keluarkan. Investasi sudah sejak lama, harga pada naik terus, itu bagaimana? Kalau suplai kurang nanti kita disalahkan lagi. Kalau pemerintah jadi pengembang, saya yakin pasti akan minta patokan harga tahun 2022 dari sekarang,” katanya.