Minggu, September 7, 2025
HomeBerita PropertiDigital Marketing Selama Pandemi, Sebatas Penyampai Informasi

Digital Marketing Selama Pandemi, Sebatas Penyampai Informasi

Digital atau online marketing di bisnis properti selama pendemi Covid-19 belum bisa diandalkan untuk meghasilkan penjualan sebagai subsitusi pemasaran offline yang ditutup sementara.

Menurut Anton Sitorus, Head of Research & Consultancy Savills Indonesia, digital marketing di bisnis properti baru bisa dimanfaatkan untuk penyampaian informasi marketing, mengumpulkan peminat, belum bisa sampai ke tahap transaksi. Transaksinya nanti setelah situasi pulih bila calon konsumen yang sudah memesan secara online jadi melanjutkan transaksi.

“Mungkin ada konsumen yang bayar booking fee atau NUP (nomor urut pemesanan) secara online, tapi jumlahnya masih sangat sedikit. Dan, itu kan juga belum bisa disebut transaksi. Jadi, online marketing bisa membantu developer tetap eksis selama pendemi, sarana menawarkan promo-promo, tapi belum bisa jadi solusi (pemasaran),” katanya kepada housingestate.id akhir pekan ini.

Ia menyebutkan, di Amerika Serikat yang teknologi, infrastruktur, dan regulasinya sudah siap, memang transaksi properti secara online sudah bisa dilakukan. Tapi, secara umum di manapun juga transaksi properti tetap masih sulit dilakukan full online seperti e-commerce. Tetap harus disertai marketing offline. Harga dan risikonya yang tinggi dan produk akan dipakai dalam waktu lama, serta spek-nya yang tidak bisa persis sama dengan produk jadinya, membuat orang merasa tetap perlu melihat langsung sebuah produk properti sebelum membeli. Selain itu di Indonesia, proses transaksi, regulasi, dan dokumentasinyaa juga mengharuskan semua pihak terkait mentransaksikan properti secara offline.

Untuk produk elektronik yang speknya sama dengan barang jadinya karena buatan pabrik, orang memang sudah biasa membelinya online. Tapi, untuk kendaraan bermotor yang lebih besar dan harganya lebih tinggi, orang tetap merasa perlu melihat produknya langsung dulu sebelum membeli sama seperti properti. Padahal, otomotif serupa dengan produk elektronik, spek yang dicantumkan di brosur sama dengan barang jadinya, karena sama-sama bikinan pabrik. .

“Kenapa begitu? Karena barangnya besar, harga dan risikonya tinggi, dan akan dipakai lama. Jadi, pembeliannya melibatkan faktor emosional. Itulah kenapa untuk busana pun yang harganya jauh lebih murah, banyak orang tetap merasa harus melihat dan menyentuh barangnya langsung dulu sebelum beli, tidak bisa online, karena pemakaiannya juga menyentuh faktor emosional,” jelas Anton.

Pendapat senada diutarakan Ignatius Untung, Ketua Umum Indonesian e-Commerce Association (idEA). Ia menyatakan, digital marketing di bisnis properti belum bisa sampai ke tahap e-commerce karena produknya berisiko tinggi. Jadi, orang tetap perlu melihat lokasi dan rumahnya serta ketemu langsung marketingnya sebelum membeli.

“Tapi, ingat digital marketing memang bukan untuk menangkap (capture) permintaan tapi menciptakan (create)-nya. Karena proses pembelian properti itu panjang dan perlu banyak pertimbangan, orang perlu informasi yang lengkap dan jujur sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan. Memberikan informasi yang lengkap dan berkualitas sesuai kebutuhan konsumen itulah fungsi digital marketing. Berapa banyak developer yang sudah melakukannya? Padahal, semua tahu sekarang orang cari semua informasi termasuk properti secara online,” jelasnya.

Berita Terkait

Ekonomi

Utang Pinjol dan Paylater Warga RI Terus Meningkat Tinggi

Buy now pay later (BNPL) adalah layanan keuangan yang...

Belasan Investor Kazakhstan Lirik IKN

Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia...

Program Perumahan Salah Satu yang Diharapkan Buka Lapangan Kerja

Pemerintah terus menjalin kolaborasi dengan pelaku usaha untuk membuat...

Menko Airlangga Minta Pengusaha Tahan PHK dan Buka Program Magang Berbayar untuk Sarjana Baru

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta para pengusaha...

Berita Terkini