Investasi Properti itu Cengli Asal Mengerti

Resesi akibat pandemi seperti saat ini adalah momen yang tepat berinvestasi dalam properti, karena harganya sedang turun. Perencana keuangan dari Tatadana Consulting Tejasari Ahmad menyatankan, saat resesi pilih instrumen investasi bernilai tinggi tapi sedang turun harganya. Contohnya, properti dan saham.
“Kalau dijual lagi saat ekonomi pulih, kita bisa dapet return berlipat-lipat. Untuk saham pilih yang bluechip. Sedangkan properti cari yang barangnya bagus, lokasi strategis, dan pemiliknya menawarkan dengan harga diskon,” katanya seperti dikutip CNN Indonesia akhir Juni lalu. Ia tidak menyarankan berinvestasi dalam emas, karena saat resesi harganya justru meninggi.
INVESTOR PROPERTI SEJATI HARUS BERSUSAH PAYAH MENDAPATKAN PROPERTI YANG LAYAK INVESTASI
Hanya, tidak seperti di negara-negara maju, di Indonesia belum ada data supplydemand properti yang terpercaya. Developer berlomba membangun properti dalam waktu bersamaan tanpa data memadai. Akibatnya, pasar kebanjiran suplai dan kita sulit memprediksi prospeknya. Kalau terlanjur membeli, kenaikan nilainya pelan saja dan sulit disewakan. Investor pun terpaksa menahan propertinya lebih lama sebelum bisa menjualnya dengan harga yang menguntungkan.
Bisa juga suplai tidak berlebihan, tapi developer ketinggian menetapkan harga jual, dan investor karena berbagai sebab menerima harga itu. Ini juga akan membuat kenaikan nilai properti dan pasar sewanya tidak menggembirakan. Lalu, bagaimana sebaiknya berinvestasi dalam properti supaya dapat return yang pantas? Tak ada satu jawaban yang cespleng. Seperti semua bentuk investasi, investasi properti juga ada proses dan lika-likunya. Semua harus dilalui dengan segala manis dan pahitnya. Dari situ kita akan tahu bagaimana membuat investasi properti jadi cengli.
Beli Rp21 juta, jual Rp600 juta
Memang, banyak cerita orang awam membeli rumah sekian puluh juta, 10- 20 tahun kemudian dijual ratusan juta. Seorang bankir bank BUMN misalnya, kepada HousingEstate menyebutkan, baru enam bulan bekerja setamat kuliah, ia langsung membeli rumah tipe 36/70 seharga Rp21 juta di Mulyosari, Surabaya, dengan KPR berjangka 20 tahun. Setelah berjalan 15 tahun, ia menjual rumah yang sudah direnovasi di sana-sini itu Rp600 juta. Pembelian properti, kendati untuk dihuni sendiri, dengan sendirinya merupakan investasi.
Apakah si bankir untung dari investasi rumah itu? Untuk mengujinya, kata pakar properti Panangian Simanungkalit, coba beli rumah dengan luas, kualitas, dan lokasi yang kurang lebih setara dengan duit Rp600 juta itu. Kalau bisa dan masih ada sisa dana, investasi properti itu menguntungkan. Bila uangnya tak bersisa, untungnya tidak seberapa. Sebaliknya kalau nombok, investasinya merugi.

Ada yang menyatakan, karena kebutuhannya yang masih besar, di Indonesia ”properti itu dijemur saja pasti untung”. Pernyataan ini untuk sebagian ada benarnya, tapi pada sebagian besar kasus tidak berlaku. Membeli rumah murah dengan akses yang bagus mungkin benar ”dijemur saja pasti untung” karena peminatnya bejibun. Tapi, untuk rumah menengah atas yang pasarnya terbatas, ceritanya mungkin berbeda. Kenaikannya sangat tergantung pada suplai dan demand di lokasi. Kalau suplainya terlalu banyak, kenaikan nilainya kecil saja, disewakan pun susah. Karena kita tidak punya data demand dan suplai rumah yang valid, kita sulit memprediksi potensi investasinya saat dibeli.
Seorang konsultan pajak ternama di Jakarta, misalnya, bercerita tentang investasi dua rumah menengah atas di sebuah kota baru di Serpong, Tangerang (Banten). Ia membelinya tahun 2014 dengan harga Rp2 miliar/unit tunai. ”Sampai sekarang kenaikan harganya tidak signifikan. Saya coba jual, paling tinggi ditawar Rp2,3 miliar. Disewakan juga susah. Jadi, belum saya lepas,” katanya kepada HousingEstate. Itu berarti nilai rumahnya turun dan investasinya merugi. Coba, kalau uang Rp4 miliar itu didepositokan, paling tidak ia mendapat return 4 persen per tahun net.
Kolektor bukan investor
Menurut Panangian, kendati kebutuhan rumah masih tinggi, di Indonesia harga rumah juga bisa turun. Memang, di atas kertas harganya terus meninggi. Tapi, cobalah jual. Kita akan tahu nilai yang sebenarnya. ”Masalahnya, tidak banyak yang mau melepas propertinya. Jadi, harga di atas kertas itu bertahan. Di Indonesia yang main properti umumnya kolektor, bukan investor. Mereka mengoleksi properti sebagai instrumen untuk menyimpan duitnya. Kalau tidak butuh-butuh banget, propertinya tidak dijual,” katanya.
Sebuah proyek apartemen menengah di pusat bisnis sebuah kota baru di Serpong, bisa jadi contoh lain. Saat dilansir 10 tahun lalu, peminatnya membludak. Yang ditawarkan ribuan unit di empat menara pertama dari total 10 menara yang akan dikembangkan. Calon konsumen sampai harus naik meja dan berteriak-teriak supaya bisa mendapatkan unitnya yang dilepas dengan harga perdana Rp300-an juta/unit (tipe studio 23 m2 semigross) itu. Banyak yang memesan tiga, lima, bahkan 10 unit.

Peminatnya bukan hanya kalangan awam seperti encim-encim, tapi juga mereka yang memang sudah lama jadi investor properti di Serpong. HousingEstate ikut menyaksikan keriuhan pemasaran apartemen tersebut. Orang begitu antusias, karena lokasi apartemen di pusat bisnis kota baru yang sudah ramai dilengkapi aneka fasilitas dan harganya sangat terjangkau. Sebagai perbandingan, harga rumah tapak terkecil di berbagai klaster di sekitarnya sudah di atas Rp2 miliar/unit waktu itu. Selain itu di sekitar apartemen berdiri beberapa kampus universitas swasta ternama dengan ribuan mahasiswa.
Developernya juga tersohor sebagai spesialis pengembang kota baru dengan produk-produk properti yang selama ini dinilai selalu menguntungkan bila dibeli. Tapi, apa yang terjadi 10 tahun kemudian jauh dari ekspektasi konsumen. Saat ini di pasaran unit apartemen itu ditawarkan dengan harga yang tidak banyak berbeda dengan harga perolehannya dulu. Kenapa demikian? Karena banyak unit apartemen yang tidak tersewa. Entah karena lesunya pasar properti sejak 2013, atau karena suplai apartemen di lokasi memang over, atau kombinasi antara keduanya dan faktor lain.
”Unit yang saya punya saya lepas dengan harga perolehan sekalipun, daripada makin merugi. Soalnya, service charge-nya jalan terus, padahal yang nyewa nggak ada,” kata seorang investor kawakan di Serpong yang mengoleksi 10 unit. Untuk mengkompensasi kerugian, hasil penjualan unit-unit apartemennya itu langsung ia belikan rumah tapak yang ditawarkan dengan harga bantingan. Jadi, bila nanti dijual, ia berharap bisa mendapat capital gain (surplus dari hasil penjualan sebuah properti) yang besar dari rumah itu.
Pahami pasar
Sebelum itu di kota baru yang sama sudah dikembangkan dua menara apartemen menengah dengan harga lebih tinggi (mulai dari Rp500 jutaan/unit-harga perdana). Target utamanya para mahasiswa sebuah universitas swasta besar di dekatnya. Saat itu juga banyak pemilik duit yang membeli, dengan harapan laku disewakan kepada para mahasiswa tersebut. Tapi, yang terjadi serupa dengan apartemen Rp300 jutaan itu. Banyak unitnya susah disewakan. Apa pasal?
Tarif sewanya dinilai ketinggian, Rp3-4 juta/bulan. Selain itu di apartemen para mahasiswa juga tidak leluasa ngumpul. Padahal, di sekitar apartemen ada banyak klaster rumah tapak menengah atas yang sebagian disewakan pemiliknya. Satu rumah dua lantai berukuran 120-an m2 misalnya, bisa diisi 6-8 mahasiswa dibanding unit apartemen yang hanya dua orang. Tarif sewa rumah-rumah seharga Rp2,5-3 miliaran itu juga lebih rendah, sekitar Rp1,5 juta/bulan/kamar. Di klaster itu penyewa juga leluasa meriung, kendati sempat memicu protes penghuni yang tidak menyewakan rumahnya karena merasa terganggu.

Jadi, pertama, kita harus memahami pasar dengan baik, baru berinvestasi. Untuk itu kita perlu memupuk pengetahuan, banyak membaca, mendengar, berdiskusi, menyerap, serta rajin memelototi perkembangan kawasan, harga sewa, dan pasar secara umum. Apartemen misalnya, return-nya terutama dari pendapatan sewa (yield), bukan dari capital gain atau surplus penjualan unit. Soalnya, kenaikan nilai apartemen kian lama makin melambat.
Pakar properti menyatakan, apartemen dan properti komersial lain layak jadi investasi bila mampu menghasilkan yield 7-9 persen per tahun. Sementara kenaikan nilai jualnya, rata-rata hanya 4-5 persen saja per tahun. Itu artinya, kalau harganya Rp500 juta, sebuah apartemen harus bisa disewakan Rp35 juta-45 juta/tahun. Jadi, kalau mau membeli apartemen, anda harus yakin potensi sewanya bisa sebesar itu.
Sampai saat ini Serpong masih menjadi kawasan pengembangan real estate paling favorit di pinggiran Jakarta atau Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi). Banyak orang ingin tinggal di Serpong, karena punya banyak kota baru dengan fasilitas komplit dan akses bagus. Tapi, yang banyak dicari rumah seharga di bawah Rp1-2 miliar/unit tergantung lokasi. Sebagian besar masih mencari rumah tapak, bukan apartemen.
Sebaliknya rumah tapak yang memiliki kaveling tanah sendiri, yield-nya jauh lebih kecil, rata-rata 3-3,5 persen. Keuntungan terbesarnya dari capital gain yang secara umum mencapai rata-rata 10-12 persen per tahun.
Kedua, berinvestasi dalam properti tidak boleh greedy (tamak) dan terbawa suasana, tapi tetap tenang dan terkontrol. Orang memesan lima unit, kita jangan terpicu memborong 10 unit. Ini sangat tidak dianjurkan dalam investasi properti yang padat modal.
Masuk susah keluar gampang
Ketiga, selalu mematuhi prinsip investasi ini: tidak menaruh banyak dana di satu keranjang, tapi disebar di sejumlah properti berbeda. Bahasa lainnya, lebih baik membeli lima rumah seharga Rp1 miliar/unit ketimbang satu rumah Rp5 miliar. Investasi sebagus apapun selalu ada risiko jeblok. Jadi, kalau yang satu amsyong, bisa di-cover properti lain yang menguntungkan.
Memang perlu upaya kontinyu seperti yang sudah disebutkan di atas supaya investasi properti jadi cenglie. Anda harus tekun menelisik banyak properti, pasaran harga dan sewanya, serta potensi pembeli sebelum memutuskan berinvestasi. ”Investor sejati itu masuk susah, keluar gampang,” kata Panangian. Maksudnya, investor beneran bekerja keras mencari properti yang layak investasi, sehingga nanti mudah melepasnya dengan harga yang menguntungkan. Bukan sebaliknya, masuk gampang keluar susah.
Caranya? Sambil terus belajar, mulai saja dulu dengan membeli rumah murah di lokasi yang cukup bagus. Misalnya, di daerah yang sudah mapan, cukup baik lingkunganya, dekat universitas, jalur transportasi massal, atau koridor bisnis, yang tidak ada lagi pengembangan baru. Atau cari rumah menengah yang dilepas dengan diskon besar karena pemiliknya sangat butuh uang (SBU).
”Investasi properti pertama itu harus rumah tinggal, karena merupakan kebutuhan dasar,” kata ekonom Roy Sembel. Rumah lebih mudah dijual lagi dan disewakan. Apalagi, kalau lokasinya bagus dan harganya rendah. Bagaimana kita tahu harga rumahnya memang rendah? Cek pasaran harga sejumlah rumah sekelas di kawasan.
Ada juga yang menyarankan, untuk properti baru, pasti untung bila memesannya saat prelaunching karena harganya jauh lebih rendah daripada harga price list. Hanya, kebanyakan orang sulit memastikan yang diperolehnya memang harga prelaunching (perdana), karena istilah prelaunching bisa begitu fleksibel pengertiannya di tangan developer. Setelah makin pandai, secara bertahap bolehlah meningkat berinvestasi dalam properti yang lebih tinggi. Pengalaman disertai pengetahuan akhirnya akan membuat anda mahir berinvestasi. Paham mana properti yang akan memberikan cuan, mana yang amsyong.