Sabtu, September 6, 2025
HomeTren PropertiWFH Jadi Tren Kerja Masa Depan?

WFH Jadi Tren Kerja Masa Depan?

Seperti teknologi digital, pandemi Covid-19 mendisrupsi semua hal termasuk cara bekerja. Pandemi yang per 25 Juli 2020 sudah menginfeksi lebih dari 15 juta orang itu, telah menciptakan working from home (WFH) dan learning from home (LFH) paling masif dalam sejarah, akibat adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan lockdown.

Cara kerja fleksibel ini sebenarnya sudah lebih dulu dimasyarakatkan coworking space (ruang kerja bersama untuk memudahkan kolaborasi) yang kian menjamur 5-6 tahun terakhir di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Melalui ruang-ruang coworking yang tersebar di berbagai lokasi, orang bisa bekerja dari mana saja, tidak harus ke kantor atau punya kantor.

PANDEMI COVID-19 MEMUNCULKAN SISTEM KERJA JARAK JAUH TERBESAR DALAM SEJARAH. FLEKSIBILITAS PUN JADI TREN MASIF CARA BEKERJA

Bedanya, pada WFH jumlah orang yang bekerja di satu tempat terbatas pada penghuni rumah, di coworking space banyak orang dari berbagai kalangan dan institusi berbeda yang bekerja bareng di sebuah ruang dengan dukungan teknologi digital. Karena itu kepadatannya jauh lebih tinggi, kecuali bagi anggota (member) yang memilih ruang kerja pribadi (privat) yang biayanya tentu lebih mahal.

“Karena itu, pandemi Covid-19 akan membawa tren kerja fleksibel itu ke level baru,” tulis riset terbaru Savills Indonesia, perusahaan konsultan properti asing di Jakarta, bertajuk “Coworking Trend in The New Normal” yang diterima HousingEstate awal Juli lalu.

Pandemi itu sendiri belum berakhir. Masih merajalela di sejumlah negara, kendati menurun di negara-negara lain. Bahkan, sangat mungkin masih akan lama baru berakhir. Tapi, orang harus memulai lagi kehidupannya. Tidak mungkin menunggu sampai virus itu benar-benar lenyap, baru beraktivitas. Hanya, tidak seperti zaman oud normaal (normal lama), kini orang harus beraktivitas dengan protokol baru agar tidak memperparah penyebaran virus itu. Antara lain dengan selalu memakai masker, menjaga jarak, rutin mencuci tangan, dan kalau sakit tidak beraktifitas dulu di luar rumah. Itulah yang disebut niuw normaal.

Berbagai perusahaan dunia seperti Twitter dan Facebook, sudah mengambil langkah drastis. Mengizinkan karyawannya WFH secara permanen. Sebagian perusahaan menerapkan sistem kerja bergiliran antara WFH dan di kantor, untuk mengurangi kerumunan. Sebagian lagi tetap menerapkan cara kerja konvensional. WFH pun menjadi budaya kerja baru. Ini memberi tantangan terhadap bisnis ruang kantor, terlebih coworking space.

WFH terbesar

Perusahaan-perusaahaan rintisan berbasis teknologi informasi (start up company), sebenarnya sangat terbantu oleh keberadaan coworking ketimbang harus menyewa kantor konvensional yang sistem sewanya rigid dan tinggi. Selain lebih fleksibel dan murah biayanya, coworking space juga membuat orang bisa bertemu dengan banyak orang berbeda yang memudahkan terjadinya kolaborasi dan pembentukan jejaring. Sesuatu yang tidak bisa didapat di kantor konvensional.

Kantor konvensional

“Kolaborasi dan pembentukan jejaring adalah salah satu kunci sukses start up,” kata Carlson Lau, founder Co-Hive, operator coworking space terbesar di Indonesia, dalam sebuah wawancara dengan HousingEstate. Namun, pandemi Covid-19 telah menciptakan WFH terbesar dalam sejarah. Perusahaan-perusahaan menyiapkan sistem, platform, dan aplikasi untuk mendukung karyawannya bekerja dari jarak jauh.

Kalau WFH efektif dan layak menjadi cara kerja di era niuw normaal, kenapa pula orang harus pergi ke coworking? Apalagi, seperti sudah disinggung di atas, coworking adalah melting pot tempat bertemunya orang dari mana-mana. Ruang kerja itu bisa dinilai sebagai salah satu area potensial penyebaran virus Corona dan karena itu cenderung dihindari. Saat ini menurut Savills sebagian besar coworking di Jakarta sudah ditutup, kendati di sebagian area permintaan terhadap ruang kerja fleksibel ini tetap kuat.

Savills memperkirakan, saat ini terdapat lebih dari 200 outlet coworking space di Indonesia. Sekitar 90 persen ada di Jakarta. Selama enam bulan pertama 2020 pertambahan ruangnya sangat sedikit, sekitat 15.000 m2 dibanding 40.000 m2 pada periode yang sama tahun lalu. Total di Jakarta saat ini terdapat 200.000 m2 coworking. Sekitar 64 persen ada di kawasan pusat bisnis (CBD), disusul di luar CBD di Jakarta Selatan (18 persen), Jakarta Pusat (7 persen), Jakarta Utara (6 persen), dan Jakarta Barat (5 persen). Operatornya antara lain Co-Hive, GoWork, WeWork, Conclave, Connext, Kolega, Union Space, dan Wellspaces.co.

Biaya yang dikenakan kepada member, bisa harian dan bulanan tergantung jenis ruang. Sesuatu yang tidak bisa diperoleh di kantor konvensional. Untuk meja bersama misalanya, biaya penggunaannya saat ini rata-rata Rp110.0000/orang/hari atau Rp1,6 juta per bulan. Sementara untuk ruang kerja privat antara Rp1 juta-Rp100 juta/bulan untuk 1-20 orang lebih. Selain perorangan, profesional, start up, dan pekerja lepas, berbagai perusahaan atau organisasi besar juga mulai memanfaatkan coworking sebagai tempat kerja.

Diskon tarif

Agar tetap bertahan selama pandemi, para operator menerapkan paket keanggotaan yang lebih fleksibel, seperti pemberian diskon biaya, jeda keanggotaan, dan lain-lain. “Mereka melakukannya karena melihat banyak anggota memilih WFH dan anggota baru menunda kepindahan (ke coworking). Diskon untuk biaya bulanan meja bersama bisa mencapai 40-60 persen, ruang privat 10-45 persen,” tulis Savills.

Bagi ruang kantor konvensional yang kontrak sewanya selama ini cenderung rigid pun, era niuw normaal mestinya juga membuatnya berubah menjadi lebih fleksibel supaya tetap bisa bertahan. Fleksibel bukan hanya dalam kontrak, tarif, dan cara pengenaan sewa, tapi juga dalam desain, bentuk, dan ukuran ruang yang bisa disewakan.

Sementara bagi coworking yang bisnisnya sangat terpukul oleh pandemi, menguatnya tren kerja fleksibel akibat WFH bisa dilihat sebagai prospek, karena sejak awal fleksibilitas sudah menjadi konsepnya. Fleksibilitas yang ditawarkan coworking bisa membantu berbagai perusahaan mendapatkan tempat kerja yang lebih efisien,” tulis Savills. Begitu pula status sebagai melting pot di sisi lain sebenarnya merupakan nilai lebih, selain suasana tempat kerja yang informal, menyenangkan, dan bervariasi.

Inilah peluang coworking untuk tetap optimis meneruskan bisnis di era normal baru. Event-event untuk mempertemukan berbagai komunitas dan membantu anggota tetap terhubung, yang juga menjadi bagian penting dari coworking, perlu didesain ulang bentuk penyelenggaraannya agar tetap menarik dan secure. Beberapa operator misalnya, menyelenggarakan event online untuk anggotanya selama pandemi. Dengan biaya jauh lebih rendah dan fleksibel, ruang yang bervariasi, dan lokasi tersebar di banyak tempat, coworking adalah tempat kerja yang tepat untuk mereka yang modalnya terbatas seperti UKM, start up, pekerja independen, profesional, dan lain-lain.

Lengkapnya, Savills menyarankan, pertama, coworking melakukan penyesuaian model bisnis agar lebih menarik bagi banyak perusahaan, seperti jeda keanggotaan untuk bakal anggota, sewa yang lebih rendah, diskon sewa untuk anggota eksisting, pemberian lebih banyak periode cancel bagi anggota tanpa denda, dan lain-lain. Setelah pandemi berakhir, pemberian keringanan bisa dilanjutkan beberapa waktu, karena saat itu pasti banyak usaha mengalami kesulitan keuangan.

Kedua, menerapkan protokol kesehatan yang ketat di setiap coworking, seperti penyediaan hand sanitizer atau tempat cuci tangan di titik-titik tertentu, redesain ruang dan furntur untuk memastikan adanya physical distancing, pengurangan jumlah meja dan area komunal, pembersihan berkala berbagai furnitur dan aksesoris setelah digunakan, pembatasan jumlah anggota yang bekerja dalam waktu bersamaan di ruang kerja terbuka, dan penerapan aturan khusus di ruang kerja privat untuk memastikan kebersihannya.

Ketiga, mencoba lebih kreatif dan inovatif, misalnya menggarap pasar lain seperti mahasiswa yang saat ini LFH, mengadakan lokakarya online untuk anggota, menjalin kemitraan dengan perusahaan baru dan bisnis lokal, dan lain-lain.

Keempat, berinvestasi lebih banyak dalam teknologi informasi, karena merupakan tulang punggung utama cara kerja fleksibel. “Bekerja jarak jauh membuat orang butuh koneksi internet yang mumpuni untuk ngobrol, konferensi, kolaborasi video, dan lain-lain,” tulis Savills.

 

Semula Kompak, Sekarang Lapang

Colliers International Indonesia, perusahaan konsultan asing lain di Jakarta, menyatakan, pandemi membentuk ulang cara orang bekerja dan bisnis ruang kantor. Sebagian akan tetap WFH, sebagian kembali masuk kantor, atau kombinasi keduanya: sekian hari kerja di kantor, sebagian hari lagi dari rumah atau coworking. Bahkan, pandemi membuat banyak perusahaan kesulitan keuangan, sehingga sebagian mungkin memilih memindahkan kantor ke area pinggiran yang sewanya lebih murah.

“Dalam situasi seperti saat ini semua gedung kantor fokus bagaimana mengisi ruangnya. Berkaitan dengan itu kami melihat sejumlah tren yang mungkin terjadi di masa depan. Antara lain pemindahan kantor (oleh penyewa) ke wilayah pinggiran, walaupun di Indonesia mungkin perlu lebih banyak waktu untuk melakukannya karena kondisi saat ini,” kata Bagus Adikusumo, Head of Office Services Colliers Indonesia, dalam rilis insight and recommendation “Back to Work: Explore Workplace and Operational Efficiency ain the Age of Covid-19”, awal Juli di Jakarta.

Christina Ng, Head of Facilities Management, menambahkan, setiap perusahaan perlu menyiapkan rencana yang matang mengenai sistem, prosedur, dan pedoman kerja baru sebelum kembali beroperasi. Untuk itu setidaknya ada lima bidang yang perlu terus ditangani secara teratur. “Salah satunya desain ruang kerja yang memperhatikan protokol kesehatan, termasuk penyediaan ruang kesehatan bila memungkinkan,” ujarnya. Fungsi ruang kesehatan itu, meminimalkan pergerakan orang yang merasa tidak sehat sebelum dibawa ke fasilitas kesehatan atau diizinkan pulang.

Colliers tidak menyebutkan bagaimana bentuk desain ruang kantor di era new normal itu.. Tapi, tulisan di sejumlah media asing seperti The Guadian, Forbes, dan laman World Economic Forum, dengan nara sumber para arsitek global yang sudah dikutip beberapa media di Indonesia, mungkin bisa jadi salah satu referensi kendati desain yang direkomendasikan mungkin tidak bisa diterapkan semua perusahaan.

 

Tanpa Kontak Langsung

Esensi desain yang mereka rekomendasikan, meminimalkan kontak langsung melalui penerapan teknologi digital dan memastikan adanya physical distancing. Gedung kantor perusahaan pengelolaan limbah Bee’ah di Sharjah, Uni Emirat Arab, rancangan Zaha Hadid Architects misalnya, dibuat dengan jalur tanpa kontak langsung. Desain sudah dibuat sebelum pandemi, dan cocok diterapkan untuk desain kantor pasca pandemi.

Jadi, karyawan tidak perlu menyentuh interior gedung langsung dengan tangan. Dengan sensor gerak dan teknologi pengenalan wajah, pintu kantor akan terbuka otomatis. Membuka pintu lift bisa dengan aplikasi di smartphone. Teknologi yang sama bisa dipakai untuk mengingatkan karyawan agar selalu menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan. Caranya melalui pengembangan fitur pelacak di kantor untuk mengontrol pergerakan karyawan. Karyawan otomatis diingatkan bila melanggar aturan menjaga jarak.
Sementara Facebook membuat eksperimen meja futuristik berupa layar virtual mengambang di udara. Para karyawan bisa melakukan rapat virtual tanpa harus menyentuh apapun. Facebook juga tengah mengerjakan Codec Avatars atau avatar virtual yang mirip karyawan. Jadi, karyawan bisa melakukan interaksi sosial seperti di dunia nyata tanpa harus bertemu langsung.

Cushman & Wakefield, perusahaan konsultan properti global, mendesain ruang kerja baru dengan penerapan jarak antar karyawan sejauh 6 kaki atau sekitar 1,8 meter yang disebut “Six Feet Office”. Arjun Kaickers, arsitek terkenal yang kini bekerja di Zaha Hadid Architects, mengatakan, ke depan koridor ruang kantor akan didesain lebih luas, untuk memastikan dipatuhinya physical distancing. Perubahan desain interior itu juga akan mencakup aneka furniturnya. Pada masa oud normaal, desain ruang dan furnitur kantor dibuat kompak untuk efisiensi. Ini faktor lain yang membuat coworking mendapat sambutan hangat.

“Tapi, sekarang kita mungkin akan melihat kebalikannya, karena orang tidak mau lagi duduk bersama begitu dekat,” katanya. Bahkan, mungkin akan ada aturan yang membatasi jumlah orang di satu ruangan, di lift dan lobi. Kemungkinan lain desain interior kantor pasca pandemi, banyaknya sekat yang dibuat untuk membatasi ruangan antar bagian seperti 10-20 tahun lalu, dan lebih banyak tangga. Selain itu karena virus Corona bisa juga menular melalui mikrodroplet di udara, ruang kantor di era niuw normaal juga harus mendapatkan banyak cahaya alami, lebih terbuka, atau memiliki sirkulasi udara yang bagus. Saat naskah ini ditulis, peningkatan kasus penderita Covid sebagian besar disumbang komunitas dan klaster perkantoran yang umumnya tertutup. Padahal, menurut epidemiolog potensi penularan di perkantoran yang indoor 20 kali lipat daripada di ruang luar (outdoor).

Desain interior rumah pun demikian, akan mengalami perubahan, menyusul terbentuknya budaya WFH. Orang jadi sadar, interior rumah mempengaruhi suasana hati, kemampuan kerja, serta kesehatan fisik dan mental saat WFH. Karena itu, menurut desainer interior Stanley Sun, orang merasa perlu membuat ruang tersendiri di rumah yang didesain begitu rupa agar bisa mendukung WFH, melakukan pertemuan, rapat, atau konferensi virtual. Jadi, ruang perlu didukung teknologi digital yang mumpuni, memiliki sistem pencahayaan dan ventilasi udara yang baik, dengan pilihan material, desain furnitur, aksesoris, dan pewarnaan yang tepat. Tapi, ini juga hanya bisa diterapkan di rumah yang berukuran cukup besar, tidak di rumah mungil apalagi rumah bersubsidi.

 

Arsitektur Sudah Mengatur

Wahyu Achadi, Direktur HomeWork Design and Build

Kalau belajar desain arsitektur dan menerapkannya dengan baik, pasti tidak kesulitan mendesain ruang untuk era niuw normaal. Hukum desain itu kan zonasi, bagaimana mengatur zoning, organisasi ruang, baru estetika. Itu artinya ada area publik, semi publik, privat, semi privat, bagaimana akses dan sirkulasi yang aman antar berbagai zona tersebut. Mirip kategori wilayah penderita Covid. Ada zona merah, kuning, hijau.

Pandemi menghendaki kita menjaga jarak, tidak boleh ada touch. Ilmu arsitektur sejak awal menerapkan hal itu. Antar-ruang harus ada flow, area mana yang boleh ada interaksi, mana yang nggak boleh karena merupakan area privat, bagaimana mengatur supaya orang dari luar nggak bisa masuk. Jadi, tanpa ada Covid pun, desain arsitektur yang baik sudah mengatur seperti itu. Itu berlaku baik pada rumah, kantor, maupun sekolah dan lain-lain. Masalahnya, apakah selama ini prinsip desain itu diterapkan atau tidak?

Sekarang, gara-gara pandemi Covid-19, muncul istilah new normal design. Meja belajar ada pembatas akriliknya, aktivitas offline menjadi problem, karena kita harus menjaga jarak. Rumah didesain memiliki dropbox di bagian depan. Desain seperti itu sudah saya terapkan walaupun nggak ada Covid, untuk memudahkan orang mengantarkan paket. Dropbox itu bisa dibuat dari kardus. Kasih instruksi yang jelas untuk pengantar (saat memasukkan paket ke boks)..

Tapi, untuk rumah yang sudah jadi memang sulit menerapkan desain itu, karena sudah nggak bisa diapa-apain. Paling harus bersih-bersih dulu sebelum masuk ke rumah. Jadi, bikin ruang bilas di luar rumah untuk disinfektan. Tapi, ini belum ada izin untuk keamanannya. Apa iya orang boleh disemprot disinfektan? Jadi, kalau zonanya sudah ajeg (seperti pada rumah yang sudah jadi), desainnya tidak bisa diubah, tindakannya yang diubah. Di salah satu gedung kantor misalnya, ambil karcis parkir nggak usah pencet tombol, cukup melambaikan tangan, tiketnya keluar.

Tentang menarik keran keluar rumah (untuk fasilitas cuci tangan), mestinya itu sudah standar. Di luar rumah selalu harus ada keran air. Saya kalau mendesain, bahkan tidak membuat tempat menaruh tabung gas di bawah pantry, tapi di luar di ruang servis. Jadi, yang mengantar gas, galon air minum, nggak perlu masuk ke dalam rumah. Kalau ruang servis di belakang, saya buatkan akses semacam gang menuju ke situ dari depan. Jadi, diatur zonasinya. Ini area servis, ini aksesnya, sehingga tidak mengganggu zona privat. Pengaturan zonasi semacam itu juga untuk keamanan.

Arsitektur sudah mengatur soal zonasi ruang yang baik itu. Hanya, selama ini banyak yang tidak menerapkan karena lebih mengejar estetika. Bagaimana desain new normal untuk rumah deret yang sempit atau rumah bersubsidi? Warganya harus membuat community based development untuk membangun sarana komunal, misalnya dekat gerbang masuk perumahan atau di RPTRA (taman umum lokal). Jadi, bukan hanya bikin portal. Di situ disediakan tempat warga perumahan membersihkan diri sebelum masuk ke rumah masing-masing. Bahkan, warga secara kolektif bisa meminta pemerintah setempat membuatkan sarana itu. Nanti, warga yang merawat. Jadi, untuk rumah-rumah mungil, desainnya harus berbasis komunitas. Desain rumahnya sendiri susah disesuaikan dengan protokol Covid.

Berita Terkait

Ekonomi

Berita Terkini