HousingEstate, Jakarta - Saat ini hampir semua proyek perumahan dan apartemen menawarkan promo menarik untuk memikat konsumen. Salah satu bentuknya, free biaya KPR (kredit pemilikan rumah) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Promo itu sayang dilewatkan konsumen yang sudah siap membeli rumah, karena nilainya signifikan, mencapai 8-10 persen dari harga rumah/nilai kredit. Yaitu, sekitar 5% untuk BPHTB dan 4-5% untuk biaya KPR. Yang penting developernya jujur. Bukan menaikkan harga rumahnya dulu, baru menawarkan promo tersebut. Untuk mengetahui apakah harga rumahnya wajar atau di-mark up dulu oleh developernya, cek harga rumah setara di sekitarnya yang sudah jadi dan dihuni. Kalau harga rumah yang baru hanya sekitar 10 persen lebih tinggi (plus minus) dari rumah yang sudah beberapa tahun diserahterimakan/dihuni, berarti harganya masih wajar.
Sebenarnya biaya KPR yang benar-benar dipungut bank hanya biaya provisi dan administrasi. Sedangkan biaya lain seperti biaya legalitas (AJB, SKMHT, APHT, SHT, akad kredit, notaris, appraisal, meterai) dan asuransi (jiwa dan kerugian) masuk ke berbagai institusi lain. Tapi, orang lazim menyebut semuanya sebagai biaya KPR. Pembeli rumah dengan KPR atau debitur, harus melunasinya saat membeli rumah, karena satu sama lain terkait menjadi syarat jual beli dan persetujuan/pencairan kredit.
Misalnya, transaksi rumah yang sudah jadi, harus diikat Akta Jual Beli (AJB). Tujuh hari paling lama setelah AJB, tanahnya sudah harus disertifikatkan (BBN) atas nama pembeli, karena sudah terjadi peralihan hak. Ingat, selain biaya KPR, masih ada pajak dan biaya lain yang harus kamu bayar saat membeli rumah. Antara lain Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen (saat ini didiskon pemerintah menjadi 5 persen), serta biaya pemecahan sertifikat dan pembuatan sertifikat atas nama pembeli atau yang dikenal dengan istilah bea balik nama (BBN) itu. Kalau PPN, BPHTB, dan PBB nilainya sudah ajeg, biaya BBN dalam praktik bisa jutaan rupiah. Begitu juga biaya pemecahan sertifikat induk atas nama developer, juga bisa jutaan dari resminya hanya ratusan ribu. Biaya ini tentu dibebankan ke harga rumah.
Kamu perlu tahu, kalau kita membeli rumah baru di proyek real estate, tanahnya harus sudah bersertifikat atas nama si developer (penjual), dan sudah dipecah-pecah menjadi kaveling-kaveling (persil) sebelum dipasarkan berikut bangunan di atasnya. Dengan demikian, kaveling rumah itu siap disertifikatkan atas nama pembeli setelah terjual. Kalau belum, PPAT tidak mau membuatkan AJB.
“Split sertifikat itu biaya resminya Rp120 ribuan, tapi kenyataannya bisa Rp2,5-5 juta Bagi kita itu kendala, menambah biaya (yang kemudian dibebankan ke harga rumah). Tapi, karena (praktik itu) terbiasa dilakukan bertahun-tahun, tidak dirasa sebagai kendala lagi. Bahkan, saking biasanya, orang tidak lagi menganggapnya sebagai permasalahan,” kata seorang developer perumahan menengah kepada housingestate.id beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Developer tidak bisa berbuat apa-apa terhadap pungli yang dilakukan birokrasi itu, karena harus segera memasarkan perumahannya. Keluhan sudah sangat kerap disampaikan, tapi tindakan serius pemerintah mengatasi persoalan itu belum ada. Sekali lagi, promo gratis biaya KPR dan BPHTB itu sangat layak dimanfaatkan. Mumpung banyak developer hari ini menawarkannya. Karena lumayan meringankan konsumen dari keharusan menyediakan dana tunai di awal saat membeli rumah dengan KPR.