HousingEstate, Jakarta - Banyaknya insentif yang ditawarkan developer real estate 2-3 tahun terakhir membuat konsumen lebih mudah mendapatkan rumah. Tapi, berbagai insentif itu juga berisiko. Risiko paling fatal, pengembangnya kabur atau pembangunan rumahnya tersendat. Padahal, kamu sudah mencicil uang muka sekian lama ke rekening pengembang. Rumah real estate umumnya dipasarkan inden, masih berupa gambar dengan janji serah terima kemudian. Jadi, pegangan kamu hanya bukti pemesanan rumah, atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan developer bila uang muka pembelian rumahnya sudah lunas.
PPJB ini juga tidak kuat sebagai pegangan konsumen kalau developer ingkar janji (wan prestasi), kendati memuat rinci hak dan kewajiban para pihak yang bertransaksi. Soalnya, PPJB rumah inden umumnya dibuat di bawah tangan, bukan di hadapan Notaris/PPAT. Kasus wan prestasi ini banyak terjadi selama pandemi dua tahun belakangan. Sepasang milenial muda di Jakarta, baru-baru ini mengeluh kepada housingestate.id, betapa rumah mungil yang dibelinya di sebuah perumahan di kawasan Parung Panjang, Bogor, sampai sekarang belum juga dibangun, sudah meleset dari janji hingga hampir empat bulan. Padahal, uang muka itu rumah sudah lunas. Karena itu bank juga belum berani memberinya KPR. Kalau begitu, bagaimana dong cara paling aman membeli rumah? Beli rumah yang sudah jadi. Lokasi persil dan bangunannya sudah jelas dan bisa diperiksa. Begitu juga sertifikatnya. Harganya juga lebih riil dan dan lebih rendah daripada rumah inden sekelas.
Memang, sangat sedikit developer yang sejaka awal memasarkan rumah jadi. Kalaupun ada, harga rumahnya pasti lebih tinggi. Tapi, di sejumlah proyek ada rumah ready stock, entah karena belum laku, ditarik lagi dari konsumennya karena gagal bayar, atau rumah yang dibeli investor dan dititipkan kepada developer untuk dijual.
Betul, kebanyakan rumah ready stock itu ada kekurangannya. Umumnya berupa rumah hoek (sudut) yang kavelingnya jauh lebih luas sehingga lebih tinggi harganya, atau rumah di atas kaveling yang tidak standar. Kalau itu masalahnya, cari rumah sekelas yang baru beberapa tahun diserah-terimakan atau dihuni, yang ingin dijual pemilik atau penghuninya.
Lokasi rumahnya tidak harus di perumahan yang sama, tapi bisa di perumahan di kawasan serupa yang setara kualitasnya bila kamu ngebet punya rumah harus di kawasan itu. Bagaimana kalau rumah jadi seperti itu juga tidak ditemukan? Ya, udah, belilah rumah inden, tapi usahakan menggunakan kredit pemilikan rumah (KPR) dari bank, tidak tunai atau tunai bertahap yang disetor langsung ke rekening developer.
Caranya, lihat dulu rumah favoritmu dan tanyakan kepada developernya, apakah rumahnya bisa dibeli dengan KPR? Kalau dijawab bisa, jangan buru-buru bayar tanda jadi apalagi uang muka. Datangi dulu bank yang disebutkan bisa memberikan KPR, dan pastikan bahwa bank itu memang mau memberikan KPR untuk pembelian rumah di proyek perumahan tersebut.
Dengan menggunakan KPR dari bank, relatif sama amannya baik membeli rumah jadi maupun inden. Soalnya, bank akan memastikan dulu legalitas proyek dan reputasi developernya sebelum mau memberikan pembiayaan. Bank juga akan menaksir kewajaran harga rumahnya sebelum mengucurkan kredit. Bank akan membuat perjanjian buy back guarantee dengan developer, berisi kewajiban developer menyiapkan jaminan ganti rugi bila wan prestasi dalam mengembangkan proyeknya.
Memang, harga rumah inden yang dibeli dengan KPR bank bisa sedikit lebih tinggi dibanding bila dibeli secara tunai atau tunai bertahap. Tapi, sepadan dengan keamanannya.
Hanya, perlu diingat saat membeli rumah dengan KPR. Kalau pembayaran uang mukanya dicicil, kamu harus memastikan tetap layak mendapat KPR saat cicilan depe itu lunas. Soalnya, tidak ada bank yang mau memastikan sejak awal, bahwa setelah nanti depe-nya lunas, kamu pasti mendapat KPR. Misalnya, rumah seharga Rp400 juta bila dibeli dengan KPR 20 tahun, bunga 12% per tahun, dan depe 15% (Rp60 juta) yang bisa dicicil 24 bulan (2 tahun), angsuran depe-nya sekitar Rp3,7 juta/bulan. Nah, untuk cicilan sebesar itu kamu harus punya tabungan sedikitnya Rp5,5 juta/bulan, supaya dinilai layak mendapat KPR, karena bank menghitung kemampuan mencicil debitur (peminjam) maksimal 70% dari tabungan bersihnya.
Bila selama mencicil depe kamu mengambil kredit lain sehingga nilai tabungan itu turun, kamu bisa gagal mendapat KPR saat depe lunas dua tahun kemudian. Dampaknya? Depe yang sudah disetor ke rekening developer bisa disunat dulu sebelum dikembalikan. Kalau tidak mau depe-nya dipotong, developer memakasa kamu melanjutkan pembelian rumah secara tunai bertahap yang angsurannya pasti jauh lebih besar.
Baca Juga
Membeli rumah inden di proyek yang sudah lengkap legalitasnya, dan/atau di proyek developer yang bagus reputasinya, juga cenderung lebih aman. Tapi, terlalu sedikit konsumen yang berani menanyakan aneka legalitas itu kepada developer, dan mengkonfirmasinya ke instansi terkait. Developer bereputasi pun kadang tidak menjamin. “Developer dengan nama besar pun bisa kepleset (wan prestasi),” kata Ferry Salanto, Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia, salah satu perusahaan konsultan properti asing di Jakarta. Jadi, paling aman tetap membeli rumah siap huni, atau membeli dengan KPR baik untuk rumah inden maupun rumah jadi.