HousingEstate, Jakarta - Dalam sebuah webinar di Jakarta akhir Maret lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia dan sejumlah negara lain telah pulih dari pandemi Covid-19. “Situasinya sudah menyentuh level seperti sebelum pandemi (awal 2020),” katanya seperti dikutip pers, Senin (28/3/2022).
Karena pendemi sudah mereda, aktivitas ekonomi pun mulai pulih. Itu terlihat dari konsumsi masyarakat yang telah kembali seperti pra pandemi dan meningkatnya investasi. Itulah kenapa pertumbuhan ekonomi kwartal akhir 2021 bisa mencapai lebih dari 5 persen. Konsumsi masyarakat dan investasi pemerintah adalah dua kontributor utama pertumbuhan ekonomi, diikuti investasi pemerintah, dengan yang terakhir ini sangat tergantung pada postur APBN.
Karena itu para pebisnis, termasuk pengembang real estate, optimis pasar mulai pulih dan bersemangat lagi mengembangkan proyeknya. Bahkan, sejumlah pengembang mengaku penjualan proyeknya sudah menggembirakan sejak kwartal akhir tahun lalu.
Namun, peningkatan tinggi konsumsi masyarakat akibat tertahan selama dua tahun pandemi itu, juga ada konsekwensinya. Yaitu, peningkatan inflasi yang dipicu kenaikan tajam harga energi, komoditas tambang dan pangan. Dan, itu sudah terjadi di banyak negara termasuk negara-negara maju.
Pandemi seperti sudah diketahui, meninggalkan banyak luka. Salah satunya, kacaunya rantai pasok barang antar-negara termasuk energi. Akibatnya, suplai tidak mampu mengimbangi kenaikan permintaan yang tinggi pasca pandemi, sehingga harga barang global meningkat pesat.
Di satu sisi Indonesia diuntungkan, karena harga komoditas primernya (CPO, batu bara, minyak bumi, dan lain-lain) meningkat tajam, nilai ekspor melonjak, neraca pembayaran surplus selama 25 bulan terakhir, dan penerimaan pajak melesat. Tapi, di sisi lain, itu tadi, keuntungan itu juga diiringi dengan ancaman inflasi.
Ancaman inflasi itu makin nyata menyusul invasi Rusia ke Ukraina akhir Februari lalu. Rusia adalah salah satu produsen utama energi (gas alam dan minyak bumi) dunia, sedangkan Ukraina produsen besar gandum global.
Situasinya makin runyam, karena negara-negara Barat menerapkan sanksi terhadap Rusia menyusul invasi itu. Suplai energi dari Rusia diboikot. Sementara Ukraina kesulitan menanam dan mengekspor gandumnya karena perang, Suplai pangan dan energi dunia pun makin seret.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, harga komoditas dunia melonjak makin tajam tahun ini akibat invasi Rusia itu. Inflasi di banyak negara pun meninggi sehingga mencatat rekor baru dan suku bunga bergerak naik.
Secara tahunan (year on year), harga gas alam global misalnya, melesat 125,8%, batu bara 166,1%, minyak bumi Brent 45,7%, minyak sawit mentah (CPO) 20,9%, gandum 55,6%, jagung 31,5%, kedelai 28,1%, dan biji-bijian 15,5%. Akibatnya, inflasi di berbagai negara termasuk negara maju, mencatat rekor baru. Di Brazil tercatat 12,1%, Amerika Serikat 8,5%, Inggris 9%, Afrika Selatan 5,9%, dan Australia 7,7%.
“Itu inflasi tertinggi yang dicatat negara-negara advanced (maju) selama 40 tahun terakhir,” katanya dalam jumpa pers APBN Kita di Jakarta, Senin (23/5/2022). Banyak pihak awalnya memperkirakan, tekanan inflasi hanya sementara karena meningkat tajamnya permintaan pasca pandemi. Namun, invasi Rusia ke Ukraina yang berkepanjangan, menepis perkiraan itu.
Jadi, inflasi kali ini mungkin akan lebih lama, dan berasal dari dua sisi sekaligus: demand pull karena melesatnya permintaan pasca pandemi, dan cost push karena naiknya biaya produksi akibat kenaikan harga energi dan bahan baku.
Berbagai negara pun melakukan pengetatan moneter guna meredam laju inflasi itu, dengan menaikkan bunga acuan. Moneter mengetat, bunga bank akan meningkat pesat, yang selanjutnya akan melemahkan pertumbuhan ekonomi, bahkan memicu resesi.
Sejauh ini laju inflasi di Indonesia masih terkendali di bawah 3%. Karena itu Bank Indonesia (BI) masih mempertahankan suku bunga acuan di level 3,5%. Tapi, hanya soal waktu laju inflasi di Indonesia juga ikut melesat, dan dengan demikian juga bunga acuan, dan selanjutnya suku bunga perbankan.
Alasannya, pengetatan moneter melalui peningkatan bunga acuan di negara-negara maju itu akan memicu keluarnya banyak dana asing dari Indonesia. Akibatnya, Indonesia kekeringan likuiditas dan bank-bank menaikkan bunga. Dampak lain kenaikan bunga dan pelarian modal asing itu, rupiah makin melemah, sehingga mengganggu postur APBN sebagai shock absorber ekonomi dunia yang rusuh, karena biaya utang jadi membesar.
Alasan berikutnya, pada akhirnya pemerintah harus menaikkan harga barang bersubsidi (BBM, tarif listrik, dan elpiji 3 kg), karena APBN sudah begitu berat menanggung aneka subsidi dan biaya perlindungan sosial selama pandemi. Presiden Jokowi sudah menyatakan secara terbuka, bagaimana sulitnya pemerintah menahan harga Pertalite agar tidak perlu dinaikkan.
Harga energi itu naik, harga aneka barang pun meningkat, dan inflasi langsung meninggi. Sekarang saja, sebelum pemerintah menaikkan harga barang bersubsidi itu, harga aneka pangan di pasar sudah melonjak tinggi. Mulai dari telur ayam, cabai, sayur mayur, daging, mie instan, dan banyak lagi. Sementara harga minyak goreng sudah sejak empat bulan lalu melesat akibat kenaikan tajam harga CPO di pasar dunia.
Kalau sudah begini, tinggal menunggu waktu BI menaikkan bunga acuan, yang selanjutnya akan diikuti dengan kenaikan bunga bank. Bunga naik, konsumsi dan investasi akan melemah, begitu pula kemampuan APBN berekspansi karena membengkaknya biaya utang, yang selanjutnya membuat pertumbuhan ekonomi merosot.
Kalau ekonomi sudah merosot, bisnis properti pun akan ikut melesu. Apalagi, properti terbilang bisnis yang peka terhadap fluktuasi bunga, karena lebih dari 70% transaksinya menggunakan kredit bank. Sebegitu suramnyakah prospek ekonomi Indonesia ke depan?
Sebagian ekonom sejauh ini masih rada optimis. Alasannya, karena pemerintah belum menaikkan harga produk-produk bersubsidi itu. Kalau nanti sudah dinaikkan, ceritanya akan lain. BI sendiri sudah menyatakan, menunggu kebijakan pemerintah soal harga produk-produk bersubsidi itu sebelum mengambil kebijakan lebih lanjut soal bunga acuan.
Tahun ini, banyak ekonom memperkirakan, BI hanya akan menaikkan bunga acuan antara 25-75 basis poin untuk menahan laju inflasi agar tidak terlalu tinggi. Tapi, tahun depan, bila pemerintah menaikkan harga energi bersubsidi itu, kenaikan bunga acuan diperkirakan akan lebih besar.
Para pemain bisnis properti perlu mengantisipasi situasi itu sejak dini, agar pengembangan dan pemasaran proyeknya tidak terlalu seret. Berharap saja pemerintah tidak menaikkan harga energi itu, atau menaikkannya secara selektif, sehingga pertumbuhan ekonomi tetap bagus dan bisnis properti tidak harus lesu lagi. Apalagi, dengan aktivitas pasar yang makin normal, sektor jasa, pariwisata, dan UMKM juga mulai pulih, dan semangat berinvestasi kembali bergairah.
Pemerintah sendiri yang diwakili Sri Mulyani, dalam rapat dengan DPR, Selasa (31/5/2023), masih optimis mengasumsikan pertumbuhan ekonomi 2023 antara 5,3%-5,9%, dan inflasi tetap terjaga cukup rendah.
Baca Juga
Lengkapnya, asumsi RAPBN 2023 itu adalah: pertumbuhan ekonomi 5,3%-5,9%, inflasi 2%-4%, nilai tukar Rp14.300 – Rp14.800, suku bunga SUN 10 tahun 7,34% – 9,16%, harga minyak mentah RI USD 80 – 100 per barel, lifting minyak bumi 619-680 ribu barel/hari, dan lifting gas 1.002-1.110 ribu barel setara minyak per hari. Dengan asumsi makro seperti itu, berarti pemerintah optimis mampu mengatasi tantangan ekonomi yang berat tahun ini.