HousingEstate, Jakarta - Jehansyah Siregar, Dosen Kelompok Keahlian Perumahan dan Permukiman, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) ITB Bandung, mengritik klaim Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tentang pencapaian Program Sejuta Rumah (PSR). Tahun ini misalnya, sepanjang Januari-September pemerintah mengklaim, realisasi PSR mencapai 896.121 unit. Terdiri dari rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) 771.753 unit, dan rumah non MBR 124.368 unit.
Dari jumlah rumah MBR itu, sebanyak 351.057 unit pembangunannya dilaksanakan Kementerian PUPR, kemudian oleh pengembang 323.714 unit, kementerian dan lembaga lain 19.289 unit, pemda 37.567 unit, program tangung jawab sosial perusahaan (CSR) 1.285 unit, dan masyarakat umum 38.839 unit. Sedangkan dari 124.368 unit hunian non MBR, sebanyak 46.238 unit dibangun pengembang dan 78.130 unit oleh masyarakat umum.
Menurut Jehansyah, cara menilai kinerja pembangunan perumahan rakyat itu tidak berubah sejak tahun 2015. Pemerintah memasukkan pembangunan rumah yang dilakukan semua kalangan ke dalam PSR. Bahkan, pembangunan rumah komersial yang dilakukan pengembang swasta sebagai investasi properti sekalipun. Tujuannya, agar target PSR setiap tahun terlihat tercapai atau bahkan melampaui target. “Cara-cara seperti itu salah kaprah dan tidak akan menyelesaikan masalah perumahan rakyat. Terbukti dari data BPS tahun 2020, angka housing backlog dan permukiman kumuh bertambah luas,” katanya kepada housingestate.id, Senin (6/11/2023). Ia menyatakan, setidaknya ada tiga alasan kenapa klaim pemerintah itu salah kaprah.
Pertama, klaim itu tidak mengurangi housing backlog yang mencapai sekitar 15 juta unit. Program bedah rumah yang hanya memperbaiki sebagian dinding dan atap rumah swadaya, tidak bisa dihitung sebagai pembangunan satu unit rumah. Bantuan pembangunan prasarana dan sarana umum (PSU) untuk perumahan bersubsidi berupa jalan dan drainase juga demikian. Memasukkan bantuan PSU ke dalam capaian PSR berarti menghitung dua kali pembangunan rumah bersubsidi oleh pengembang. Sementara jumlah unit hunian yang dibangun pemerintah untuk pondok santri, asrama tentara dan polisi serta mahasiswa, terlalu kecil untuk bisa berkontribusi mengurangi housing backlog.
Kedua, banyak pembangunan rumah rakyat yang salah sasaran. Misalnya, penerima manfaat berpendapatan jauh di atas UMP. Lokasi perumahan tidak memenuhi kebutuhan MBR di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya, karena dibangun di pinggiran kota yang sangat jauh dari tempat kerja mereka. Kualitas bangunannya juga buruk. Selain itu dari klaim 351.057 unit rumah yang pembangunannya dilaksanakan Kementerian PUPR, di dalamnya juga terdapat suplai rumah bersubsidi dari para pengembang. Jehansyah menjelaskan, KPR bersubsidi pada dasarnya adalah program bantuan pembiayaan pemilikan rumah dari APBN. Program seperti itu tidak menunjukkan kinerja pemerintah dalam memproduksi perumahan karena hanya menyentuh sisi konsumen kredit. Terlebih suplai rumah komersial dari pengembang sebanyak 323.714 unit. Sama sekali tidak bisa dihitung sebagai capaian PSR dan mengurangi backlog karena berada di ranah bisnis dan investasi properti.
Ketiga, klaim pemerintah soal capaian PSR itu mengklaim domain masyarakat. “Klaim capaian PSR yang dihitung dari pembangunan rumah oleh semua kalangan itu tidak tepat sama sekali. Bahwa seluruh orang membangun perumahan dan permukimannya sendiri, itu sudah menjadi praktek sejak dulu. Semua itu domain masyarakat, ada di ranah privat, baik secara individu maupun organisasi. Capaian masyarakat itu tidak boleh diklaim sebagai capaian pemerintah,” tegas Jehansyah. Ia berpendapat, klaim PSR yang dihitung dari capaian seluruh kalangan itu mengaburkan peran utama pemerintah di sektor perumahan.
“Dengan klaim seperti itu, pemerintah menjalankan program perumahan rakyat yang tidak efektif. Masalah perumahan rakyat itu utamanya di perkotaan. Backlog timbul karena perkembangan perkotaan yang huniannya tidak terjangkau oleh kebanyakan warga, sehingga makin meluaskan kawasan kumuh,” jelas Jehansyah. Menurut dia, Kementerian PUPR harusnya fokus pada program-program di sisi produksi perumahan dengan prioritas di perkotaan. Caranya dengan menyiapkan instrumen pengembang publik dalam bentuk BUMN atau BUMD. Bukan dengan cara memperbanyak satuan kerja proyek APBN. “Kegemaran mengerjakan proyek seperti ini menghilangkan peran kementerian sebagai regulator, berganti menjadi operator,” ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, harus segera mengevaluasi total program-program perumahannya. Pemerintah perlu mengembangkan program public rental housing yang sebelumnya sudah dijalankan BUMN. Juga membina program perumahan yang dijalankan BUMD di daerah. “Untuk itu Kementerian PUPR perlu menyempurnakan program rusunawa (rumah susun sederhana sewa), dan menghapus rusunami (rumah susun sederhana milik) yang kualitas bangunannya buruk dan kini jadi sarang masalah sosial,” pungkas Jehansyah.