Bunga Kredit Naik, Pendapatan BTN Bisa Nambah dari KPR Subsidi

Bank Indonesia (BI) sudah memutuskan kenaikan BI rate menjadi 6,25% dari sebelumnya 6%, sebagai respon terhadap kondisi geopolitik global yang tak menentu yang memicu pelarian modal dan membuat rupiah terkulai. Kenaikan bunga acuan itu akan mengerek kenaikan bunga bank yang saat ini sebenarnya sudah relatif tinggi. Transmisi kenaikan paling cepat akan terjadi pada bunga dana seperti deposito dll.
Namun, bunga kredit komersial tidak serta merta meningkat, walaupun kemungkinannya tetap terbuka bila kenaikan bunga pasar cukup signifikan. Bankir harus menghitung betul dampak kenaikan bunga kredit itu terhadap kolektibilitas (kol) kreditnya. “Bunga (acuan) naik, apa kita langsung ikut naikin bunga? Belum tentu. Kecuali dari (semula bunga kreditnya) fixed, (berubah) ke floating, (itu otomatis naik),” kata Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BBTN) Nixon LP Napitupulu saat memaparkan kinerja keuangan BBTN Triwulan I-2024 di Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Baca juga: Dana Mahal, BTN Kendorkan Penyaluran Kredit
Selama ini, jelasnya, untuk kredit yang bunganya sudah floating, BTN jarang menaikkan bunganya kendati bunga acuan meningkat. “Kenapa? Karena nanti kol duanya naik. Naik sedikit saja bunganya, langsung jadi kol dua. Kurang bayar,” ucapnya. Turunnya kualitas kredit itu bisa menambah non performing loan (NPL) atau kredit bermasalah BTN, yang selanjutnya mempengaruhi profitabilitasnya. Saat ini NPL gross BTN tercatat 3%, cukup tinggi dibanding NPL gross industri perbankan yang hanya 2,19% (31 Desember 2023).
Terlebih KPR subsidi, baik dengan skim Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) maupun Subsidi Selisih Bunga (SSB), Nixon menyatakan kenaikan bunga pasar tidak ada pengaruhnya sama sekali. Soalnya, bunganya sudah dijamin pemerintah fixed (tetap) 5% per tahun selama periode KPR. Bahkan sebaliknya, dari KPR dengan skim SSB, BTN berpotensi mendapatkan tambahan pendapatan bila bunga pasar meningkat.
Soalnya mekanisme penyaluran subsidi pada KPR SSB berbeda dengan KPR FLPP.
Pada KPR FLPP subsidi diberikan dalam bentuk dana bergulir berbunga sangat lunak. Bank mencampur dana ini dengan dana yang dihimpunnya sendiri, sebelum menyalurkannya menjadi KPR FLPP dengan bunga fixed 5% per tahun. Bank kemudian mengembalikan dana FLPP itu ke pemerintah (BP Tapera) mengikuti pembayaran angsuran oleh debitur.
Sedangkan pada KPR SSB, pemerintah memberikan subsidi dengan membayar selisih bunga KPR subsidi dengan bunga KPR komersial. Dananya menjadi pendapatan bank, dan tidak kembali lagi ke pemerintah. Misalnya, bunga KPR komersial 12%, sedangkan bunga KPR subsidi 5%, maka selisih bunga 7% menjadi tanggungan pemerintah yang dibayarkan ke bank penyalur KPR. “Jadi, kalau bunga kredit di pasar naik, dari KPR SSB ada potensi tambahan pendapatan bagi BTN karena selisih bunga yang harus dibayar pemerintah meningkat,” jelas Nixon.
Sementara tentang dampak pelemahan kurs rupiah terhadap pasar perumahan menengah ke bawah termasuk rumah subsidi, Nixon juga memperkirakan kecil saja. Alasannya, hampir seluruh bahan bakunya berasal dari dalam negeri, tidak ada yang impor. Begitu pula tenaga kerjanya baik yang terampil maupun tidak. Semuanya warga domestik. Jadi, dampak inflasinya kecil, begitu pula pengaruhnya terhadap bisnis BBTN yang sebagian besar kreditnya disalurkan untuk perumahan di segmen tersebut.