Ini Alasan BI Keukeuh Pertahankan BI Rate 6,25%

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Mei 2024 memutuskan tetap mempertahankan BI-Rate 6,25%, suku bunga deposit facility 5,50% dan lending facility 7,00%. Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, keputusan itu merupakan langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan stabilitas nilai tukar Rupiah, menjaga aliran masuk modal asing, dan mengontrol inflasi di kisaran target 2,5% plus minus 1% pada 2024 dan 2025.
Perry menyatakan, risiko memburuknya ketegangan geopolitik sejak akhir April 2024 tidak berlanjut. Ekonomi AS tumbuh kuat ditopang perbaikan permintaan domestik, kebijakan fiskal akomodatif, dan kenaikan ekspor. Inflasi AS per April melambat dibanding Maret tapi masih tinggi sejalan dengan pertumbuhan ekonominya yang kuat. Perkembangan inflasi itu meningkatkan kemungkinan penurunan Fed Funds Rate (FFR) akhir 2024. Dampak semua kondisi di atas, tertahannya penguatan dolar AS secara global dan menurunnya yield US Treasury meski masih tetap tinggi.
Selain itu aliran modal ke negara berkembang termasuk Indonesia kembali terjadi, sehingga mengurangi tekanan terhadap nilai tukar mata uangnya. “Kendati demikian risiko terkait arah penurunan FFR dan dinamika ketegangan geopolitik global tetap perlu dicermati, karena dapat kembali mendorong peningkatan ketidakpastian pasar keuangan global, menekan mata uang negara berkembang, meningkatkan tekanan inflasi, dan menurunkan prospek pertumbuhan ekonomi dunia,” kata Perry seperti dikutip keterangan tertulis Asisten Gubernur BI/Kepala Departemen Komunikasi Erwin Haryono beberapa hari lalu.
Ia menyebut saat ini nilai tukar Rupiah secara bulanan (hingga 21 Mei 2024) menguat 1,66% (ptp), setelah April melemah 2,49% (ptp). Penguatan kurs Rupiah itu diklaimnya merupakan dampak positif kebijakan BI April 2024 yang menaikkan BI rate dari 6% menjadi 6,25%. “Transmisi kebijakan moneter pascakenaikan BI-Rate berjalan baik. Kebijakan itu mendorong aliran masuk modal asing, terutama ke SBN (Surat Berharga Negara) dan SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia) sebesar USD4,2 miliar hingga 20 Mei 2024,” ujar Perry.
Ia mengungkapkan, BI juga terus mengoptimalkan berbagai instrumen moneter pro-market, yaitu SRBI, SVBI (Sekuritas Valas Bank Indonesia), dan SUVBI (Sukuk Valas Bank Indonesia), untuk mendukung aliran masuk modal asing. “Hasil asesmen menunjukkan penerbitan SRBI meningkatkan transmisi kebijakan moneter ke pasar uang, pasar SBN, dan pasar valas, dan berpengaruh positif terhadap pemanfaatan aset portofolio bank dalam optimalisasi pembiayaan kredit,” kata Perry.
Hingga 21 Mei 2024, posisi SRBI, SVBI, dan SUVBI masing-masing tercatat Rp508,41 triliun, USD2,13 miliar, dan USD257 juta. “Di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi, penerbitan SRBI mendukung aliran masuk modal asing ke dalam negeri. Tercermin dari kepemilikan asing yang meningkat dari Rp71,55 triliun (18,18% dari total outstanding) pada 23 April 2024, menjadi Rp142,90 triliun (28,11% dari total outstanding) pada 21 Mei 2024,” tuturnya.
Baca juga: Modal Asing Deras Masuk, Kurs Rupiah Kembali di Bawah Rp16.000
Perry pun menyebut bunga SRBI tenor 6, 9, dan 12 bulan per 17 Mei 2024 yang berada di level 7,29%, 7,38%, dan 7,48%. Meningkat dibanding hasil lelang 19 April 2024 sebesar 6,81%, 6,82%, dan 6,94%, sehingga mendukung efektivitas SRBI sebagai instrumen moneter pro-market. Sementara yield SBN tenor 2 dan 10 tahun meningkat pascakenaikan BI-Rate, dari 6,31% dan 6,71% akhir Maret menjadi 6,86% dan 7,21% akhir April, sehingga meningkatkan daya tarik imbal hasilnya. “Tapi, per 21 Mei yield SBN kembali turun menjadi 6,70% dan 6,86% seiring kenaikan aliran modal asing ke SBN,” katanya.
Kendati BI rate naik, bunga perbankan tetap terjaga karena memadainya likuiditas, sejalan dengan bauran kebijakan BI serta dampak kebijakan transparansi SBDK (Suku Bunga Dasar Kredit) yang membuat efisiensi bunga bank tetap terjaga. “Bunga deposito satu bulan dan bunga kredit (SBDK) pada April tercatat masing-masing 4,59% dan 9,25%, relatif stabil dibanding bulan sebelumnya,” ungkapnya.
Perry mengakui, nilai tukar Rupiah melemah 3,74% dibanding akhir Desember 2023. Tapi lebih baik dibandingkan pelemahan Peso Filipina, Won Korea, dan Baht Thailand masing-masing sebesar 4,91%, 5,52%, dan 5,99%. “Ke depan nilai tukar Rupiah diprakirakan stabil dengan kecenderungan menguat didorong imbal hasil yang menarik sejalan dengan kenaikan BI-Rate, premi risiko yang turun, prospek ekonomi yang lebih baik, dan komitmen BI untuk terus menstabilkan nilai tukarnya,” pungkasnya.