OJK: Tidak Semua Kredit Hapus Buku Bisa Hapus Tagih

Tingginya kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) terutama pada UMKM saat pandemi Covid-19, mendorong munculnya usulan kebijakan hapus buku-hapus tagih untuk sebagian kredit bermasalah tersebut.
Pasalnya, sebagian kredit bermasalah itu sudah sulit direstrukturisasi, kendati OJK sudah merilis kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit terkait pandemi Covid-19.
Dengan dihapus buku dan hapus tagih, diharapkan kredit macet tersebut tidak lagi menggelayuti kinerja bank, sekaligus membantu UMKM untuk bisa kembali melanjutkan usahanya setelah terpuruk selama pandemi.
Masalahnya hapus buku dan hapus tagih itu tidak bisa dilaksanakan begitu saja. Terlebih-lebih pada lembaga keuangan berstatus BUMN.
Soalnya ada UU yang mengatur tentang kegiatan yang dinilai mengakibatkan kerugian negara. Jadi, salah-salah hapus buku dan hapus tagih itu bisa dinilai merugikan negara yang membuat direksi bank BUMN dipidana.
Karena itu kata Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, melalui keterangan resmi baru-baru ini, saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai kebijakan hapus tagih itu, yang rencananya akan berlaku untuk lembaga keuangan BUMN.
Dalam RPP itu diatur, debitur (pengutang) yang bisa mendapat hapus tagih memiliki kriteria tertentu. Jadi, tidak seluruh kredit yang telah dihapus buku oleh bank akan dihapus tagih.
“Kredit yang dihapus tagih adalah kredit yang telah dihapusbukukan dari neraca bank, dan telah dibentuk cadangan kerugian penurunan nilainya sebesar 100 persen, atau telah dibiayakan sebelumnya. Dalam RPP itu diatur juga, transaksi hapus tagih itu tidak termasuk kerugian negara,” kata Dian.
Baca juga: Bank Indonesia Tawarkan Inovasi Pembiayaan Digital untuk UMKM
Dian menjelaskan, secara umum risiko kredit UMKM memang lebih tinggi dibanding kredit korporasi dan rumah tangga, karena bisnis UMKM lebih sensitif terhadap perubahan kondisi ekonomi dan daya beli.
Pertumbuhan kredit UMKM yang melambat dan berakhirnya relaksasi restrukturisasi kredit terkait pandemi Covid 19, menyebabkan rasio NPL UMKM meningkat.
“Peningkatan NPL itu telah diprediksi sebelumnya dan sudah dimitigasi bank melalui pembentukan cadangan yang cukup, sehingga rasio NPL UMKM masih tergolong dalam acceptable level,” ujar Dian.
NPL gross UMKM Juni 2024 tercatat 4,04 persen, menurun dibanding Mei 2024 sebesar 4,27 persen, meskipun secara tahunan (yoy) masih meningkat.
Sementara LaR (Liquidity at Risk) kredit UMKM menurun menjadi 13,50 persen (Mei 2024: 13,83 persen) dari 16,84 persen, makin mendekati level sebelum pandemi (Des 2019: 12,74 persen). “Ini mengindikasikan ke depan kualitas kredit UMKM akan tetap terjaga bahkan membaik,” pungkas Dian.