Sabtu, September 6, 2025
HomeMoneterRisiko Masih Tinggi, BI Putuskan BI Rate Tetap 6,5 Persen

Risiko Masih Tinggi, BI Putuskan BI Rate Tetap 6,5 Persen

Terus menguatnya nilai tukar rupiah (pekan ini mencapai level Rp15.400-an per dolar AS/USD), membuat banyak pihak berharap Bank Indonesia (BI) bisa menurunkan bunga acuan BI Rate yang saat ini tercatat 6,25 persen.

Dengan penurunan BI Rate, likuiditas di pasar uang diharapkan bisa lebih longgar dan bunganya menurun, yang selanjutnya mendorong penurunan bunga kredit dan menggairahkan investasi dan ekonomi secara keseluruhan.

Saat ini seperti diungkapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), biaya dana perbankan meningkat sebagaimana terlihat dari kenaikan suku bunga dana pihak ketiga (DPK), menyusul kenaikan BI Rate April lalu, dan melemahnya kurs rupiah.

Namun, harapan itu belum bisa dipenuhi BI. Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, 20-21 Agustus 2024, memutuskan mempertahankan BI-Rate 6,25 persen, bunga deposit facility 5,50 persen, dan bunga lending facility 7,00 persen.

“Keputusan ini konsisten dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability, demi penguatan lebih lanjut nilai tukar rupiah, serta langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1 persen,” tulis BI melalui keterangan resmi, Rabu (21/8/2024).

Untuk mengimbanginya, BI menyatakan, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan ke dunia usaha dan rumah tangga, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.

BI menyatakan, ketidakpastian pasar keuangan global mulai mereda, namun risiko masih tinggi. Ekonomi global 2024 diprakirakan tumbuh 3,2 persen dengan kecenderungan melambat.

Baca juga: BI Rate Tetap 6,25 Persen, Rupiah Menguat

Ekonomi Amerika Serikat (AS) diprediksi mulai melambat di semester II 2024, seiring penurunan permintaan domestik. Sementara ekonomi Tiongkok belum kuat, yang membaik ekonomi Eropa.

Perlambatan ekonomi AS berdampak pada meningkatnya pengangguran, dan menurunnya inflasi yang lebih cepat ke arah sasaran inflasi jangka panjang sebesar 2 persen.

Hal itu mendorong kuatnya ekspektasi penurunan bunga acuan bank sentral AS Fed Funds Rate (FFR), yang lebih cepat dan lebih besar dari prakiraan.

Dampak lebih lanjut, mendorong penurunan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS US Treasury tenor 2 tahun, diikuti penurunan yield US Treasury 10 tahun, dan pelemahan USD terhadap berbagai mata uang dunia.

Perkembangan tersebut membuat meningkatnya aliran masuk modal asing dan memperkuat mata uang negara berkembang termasuk Indonesia.

“Namun risiko terkait kekhawatiran resesi di AS dan dinamika geopolitik perlu harus dicermati. Kondisi ini memerlukan kehati-hatian dalam merumuskan respons kebijakan, dari rambatan ketidakpastian global terhadap perekonomian domestik,” tulis BI.

Berita Terkait

Ekonomi

Berita Terkini