IMF Proyeksikan Rasio Utang Pemerintah Menurun

Pemerintah konsisten mengelola utang secara cermat dan terukur, dengan menjaga risiko suku bunga, mata uang, likuiditas, dan jatuh temponya secara optimal. Dengan demikian APBN tetap sehat, kredibel, dan berkesinambungan, guna mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
“Komitmen pemerintah menjaga stabilitas fiskal melalui APBN yang kredibel itu diakui lembaga internasional,” kata Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Ferry Irawan di Jakarta melalui keterangan tertulis, Jumat (23/8/2024).
Sebelumnya sejumlah ekonomi menyebutkan beratnya beban utang pemerintah yang saat ini sudah mencapai lebih dari Rp8.500 triliun. Tahun depan pembayaran utang itu berikut bunganya mencapai lebih dari Rp550 triliun.
Ferry menyatakan, utang harus diambil pemerintah guna memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN, karena pendapatan negara belum sepenuhnya mampu membiayai belanjanya termasuk untuk pembiayaan investasi.
Selain itu utang juga menjadi alat strategis dalam mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik, yang bermanfaat dalam memperkuat daya tahan ekonomi nasional terhadap guncangan eksternal (global).
Rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama 2014-2019 meningkat dari 24,68 persen menjadi 30,23 persen.
Selama pandemi Covid-19 (2020-2022), laju utang pemerintah meningkat signifikan, sehingga tahun 2023 rasio utang itu melesat menjadi 39,21 persen PDB.
Kendati demikian, menurut Ferry, rasio utang pemerintah itu jauh lebih rendah dibanding negara lain, seperti Malaysia (67,3 persen PDB), Tiongkok (83,6 persen PDB) dan India (82,7 persen PDB).
Tahun ini per Juli 2024 rasio utang pemerintah menurun menjadi 38,68 persen PDB, jauh di bawah batas 60 persen sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara.
Baca juga: Utang Pemerintah Terus Menggunung, Akhir Juli 2024 Tembus Rp8.502 Triliun
Struktur utang pemerintah disebut Ferry masih tergolong sehat. Per akhir Juli 2024 profil jatuh temponya rata-rata tertimbang 8 tahun.
Sebagian besar utang pemerintah itu (70,49 persen) berupa Surat Berharga Negara (SBN) domestik atau rupiah. Selebihnya 17,27 persen SBN valas, dan 12,24 persen pinjaman.
Kebanyakan utang pemerintah berupa SBN itu dipegang lembaga keuangan (39,6 persen), dan Bank Indonesia (24,3 persen). Asing hanya memegang 14,0 persen, investor individu 8,7 persen, sisanya institusi domestik lain.
Ferry menjelaskan, komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal melalui utang itu diakui lembaga internasional. Dalam Article IV Consultation 2024, IMF menyatakan Indonesia telah menunjukkan disiplin fiskal yang kuat, memberikan ruang fiskal yang cukup untuk mengantisipasi risiko dengan tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.
IMF memproyeksikan utang pemerintah Indonesia menurun secara bertahap menjadi 38,3 persen PDB dalam jangka menengah. S&P Global Ratings mempertahankan peringkat utang Indonesia pada level BBB dengan prospek stabil, juga karena menilai Indonesia berhasil menjaga stabilitas fiskal melalui kebijakan yang prudent.
“Dalam RAPBN 2025 pembiayaan utang (netto) direncanakan Rp775,9 trilliun, terutama untuk mendukung percepatan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” ujar Ferry.
Rasio utang terhadap PDB 2025 diproyeksikan antara 37,82-38,71 persen, dan rasio pendapatan negara terhadap PDB direncanakan 12,32 persen.