Sabtu, September 6, 2025
HomeNewsEkonomiBegini Penjelasan BPS Soal Perbedaan Angka Kemiskinan Bank Dunia dengan BPS

Begini Penjelasan BPS Soal Perbedaan Angka Kemiskinan Bank Dunia dengan BPS

Awal April 2025 Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook menyebutkan, tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan.

Di sisi lain, data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) mengubngkapkan, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 mencapai 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Perbedaan angka yang jomplang itu menimbulkan banyak tanggapan dari pengamat terutama para ekonom. Umumnya ekonom menyatakan, angka kemiskinan versi Bank Dunia itu lebih realistis. Karena itu sudah seharusnya BPS mengacu pada standar Bank Dunia itu, dan meninggalkan standar kemiskinan yang saat ini digunakan.

Berkaitan dengan itu, BPS pun memberikan penjelasan tertulis, Jum’at (2/5/29025). Menurut BPS, semua pihak perlu bijak memahami angka kemiskinan baik versi Bank Dunia maupun BPS.

“Penting dipahami secara bijak, kedua data itu tidak saling bertentangan. Perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda,” tulis BPS.

Bank Dunia memiliki 3 pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global, dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara.

Yaitu, international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem (USD2,15 per kapita per hari), USD3,65 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income), dan USD6,85 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).

Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam USD PPP atau purchasing power parity. Yaitu, metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Jadi, nilai dolar yang digunakan bukanlah nilai tukar yang berlaku saat, ini melainkan paritas daya beli. USD1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03.

Angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3 persen, diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan dengan menggunakan standar USD6,85 PPP, yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.

Baca juga: Jumlah Penduduk Miskin Terus Menurun

Bank Dunia juga menyarankan agar tiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) masing-masing, yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.

Walaupun Indonesia saat ini berada pada klasifikasi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) dengan Gross National Income (GNI) per kapita USD4.870 tahun 2023, perlu ditekankan posisi Indonesia baru naik kelas ke kategori UMIC dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar. Yaitu, antara USD4.516-USD14.005.

“Karena itu bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang jauh lebih tinggi,” tulis BPS.

Sementara BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar itu dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari. Disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun.

Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

Dengan metode itu, garis kemiskinan yang dihitung BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan. Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp595.242 per bulan.

Namun, perlu diperhatikan, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang. Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per bulan.

Garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda.

Sebagai contoh, garis kemiskinan rumah tangga di DKI Jakarta mencapai Rp4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) Rp3.102.215, dan di Lampung Rp2.821.375. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah.

Baca juga: Rumah dan Rokok Penyumbang Kemiskinan Terbesar Selain Beras

Perlu kehati-hatian dalam membaca angka garis kemiskinan. Garis kemiskinan adalah angka rata-rata yang, tanpa memperhitungkan karakteristik individu seperti usia, jenis kelamin, atau jenis pekerjaan. Secara mikro, angka itu tidak bisa langsung diartikan sebagai batas pengeluaran orang per orang.

Sebagai contoh, di DKI Jakarta garis kemiskinan per kapita pada September 2024 sebesar Rp846.085 per bulan. Jika ada satu rumah tangga dengan lima anggota (ayah, ibu, dan tiga balita), maka tidak tepat jika diasumsikan kebutuhan atau pengeluaran ayah sama dengan balita.

Karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga. Dalam kasus ini, garis kemiskinan rumah tangga tersebut adalah Rp4.230.425 per bulan. Angka inilah yang lebih representatif untuk memahami kondisi sosial ekonomi rumah tangga tersebut.

“Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang, dan bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji 20 ribu/hari bukan orang miskin,” tegas BPS.

Terakhir, perlu dipahami pula bahwa, penduduk yang berada di atas garis kemiskinan (GK) belum tentu otomatis tergolong sejahtera atau kaya.

Di atas kelompok miskin, terdapat kelompok rentan miskin (1,0-1,5 x GK), kelompok menuju kelas menengah (1,5-3,5 GK), kelas menengah (3,5-17 x GK), dan kelas atas (17 x GK).

Kondisi September 2024, persentase kelompok miskin adalah 8,57 persen (24,06 juta jiwa), kelompok rentan miskin 24,42 persen (68,51 juta jiwa), kelompok menuju kelas menengah 49,29 persen (138,31 juta jiwa), kelas menengah 17,25 persen (48,41 juta jiwa), dan kelas atas 0,46 persen (1,29 juta jiwa).

Berita Terkait

Ekonomi

Berita Terkini