Opini Rumah 18 Meter Persegi, Layakkah?

Oleh Muhammad Joni, SH. MH
Advokat, Sekretaris Majelis Pakar The HUD Institute
Ketahuilah tuan dan puan, rumah bukan sekadar tempat berteduh. Ia adalah ruang bagi sang hidup. Juga ruang sosial untuk bertumbuh dan ruang bermartabat untuk maslahat. Namun di banyak kota Indonesia, kita masih menjumpai rumah-rumah yang terpaksa sempit, seluas hanya 18 meter persegi (m2) yang dihuni bersama lebih dari dua orang. Bahkan lebih satu keluarga.
Pertanyaannya sederhana tapi citarasanya fundamental: layakkah rumah seperti ini dihuni di negeri bertuah bertitel ratna mutu manikam dan gemah ripah loh jinawi?
Jawabannya mengacu pada standar kesehatan dan spasial, alahai rumah 18 m2 langsung tidak memenuhi kriteria Peraturan Menteri Kesehatan No. 1077 Tahun 2011, bahwa: rumah sehat harus memiliki lantai kedap air, sirkulasi udara, cahaya alami, dan sanitasi yang baik.
Dari sisi spasial, rumah 18 m2-biasanya hanya 3×6 meter-tidak memadai untuk fungsi dasar hunian yaitu untuk tidur, masak, mandi, dan aktivitas keluarga lainnya walau bisa bernafas. Tidak ada zona privat, tidak ada ruang servis, dan tidak ada sirkulasi. Alhasil kegiatan privat meluber ke ruang publik, jalanan, taman, bisa juga pos keamanan perumahan.
Standar Nasional Indonesia (SNI 03-1733-2004) dan Permen PUPR No. 10 Tahun 2019 menetapkan luas minimum hunian adalah 36 m2 untuk satu keluarga. Maka rumah 18 m2 auto tidak memenuhi standar minimum itu.
Jika bertanya pada instrumen nasional dan internasional bahwa ukuran kelayakan yang berlaku global, maka wajar merujuk instrumen nasional UU No. 1 Tahun 2011 bahwa rumah adalah hak dasar warga untuk hidup sejahtera.
Permenkes dan Permen PUPR menyatakan kelayakan harus mencakup kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan. Lalu SNI: Standar teknis tentang minimum ruang per orang dan keluarga.
Merujuk instrumen internasional versi UN-Habitat, lugas bahwa rumah layak = aman, terjangkau, layak secara fisik, punya infrastruktur dasar, dan berada di lokasi layak huni. Versi SDGs Tujuan 11.1: bahwa akses semua warga ke perumahan layak dan terjangkau pada tahun 2030.
Hal senada dari ICESCR Pasal 11 yang menjamin hak setiap orang atas standar hidup yang layak, termasuk tempat tinggal yang memadai. Sebab iku, rumah berukuran 18 m2 yang pas seluas lahan tanahnya, tidak layak huni dan melanggar hampir semua prinsip hunian layak baik nasional maupun internasional.
Baca juga: Opini: Program 3 Juta Rumah: Ambisi Besar, Regulasi Kompleks, dan Tantangan di Lapangan
Kemiskinan Spasial: Bukan Soal Uang, Tapi Akses Ruang
Dalam pandangan Zulfi Syarif Koto, tokoh perumahan rakyat yang Ketua Umum The HUD Institute, bahwa ruang dan perumahan rakyat, kemiskinan bukan hanya karena tidak punya uang, tapi karena tidak diberi akses ruang kota yang layak. Tak berlebihan maupun blak-blakan kalau menyebut ini sebagai kemiskinan spasial.
Aduhmak, kemiskinan spasial terjadi karena warga miskin hanya diberi sisa ruang kota yang tersisa-sempit, kumuh, tanpa infrastruktur, dan tanpa jaminan hukum. Rumah 18 m2 tanpa air bersih adalah bentuk nyata dari pemiskinan spasial yang sistematis dan di luar visi mengentaskan kemiskinan hunian.
Jadi jangan sisihkan keadilan ruang yang juga adalah pangkal dari keadilan sosial. Kalau kita salah merancang kota, kita sedang memiskinkan rakyat secara sistematis.
Perbandingan Global: Malaysia, Hong Kong, Swedia
Kabar dari Malaysia dengan Program PR1MA yang menetapkan standar rumah subsidi minimal sekitar 79 m2 dengan fungsi ruang terpisah dan sanitasi layak. Sebagai informasi, program Malaysia bertitel PR1MA atau Perumahan Rakyat 1Malaysia adalah program perumahan yang bertujuan menyediakan rumah terjangkau bagi warga Malaysia berpenghasilan menengah.
Program ini dikelola oleh PR1MA Corporation Malaysia, sebuah badan yang bertanggung jawab merencanakan, mengembangkan, dan membangun perumahan berkualitas di lokasi strategis. Bagaimana kita?
Dari Hong Kong yang spasialnya padat, pemerintah menyediakan Public Rental Housing minimal 13 m2 per orang, bukan per keluarga. Itupun dengan fasilitas modern dan sanitasi sehat adalah keharusan.
Kabar dari Swedia
Lugas menganut pendekatan “Housing First”, karena itu negara menjamin setiap orang dengan tempat tinggal yang sehat dan manusiawi, bukan sekadar ruang berteduh. Di negara-negara tersebut, rumah berukuran 18 m2 tidak akan diakui sebagai hunian yang layak.
Lantas apa rekomendasi kebijakan? Ayo inovasi kebijakan yang melampaui kriteria “layak administratif” dari ide industrialisasi rumah mini menuju kepada “layak bermartabat” yang membuat rakyat ngguyu, senyum. Tegakkan standar rumah layak tidak hanya sebagai statistik angka tapi sebagai ukuran kualitas hidup yang membuat rakyat ngguyu.
Tolak rumah ekstrem mikro yang tidak menjamin kesehatan dan terlebih rawan privasi. Bangun rumah vertikal terjangkau skala besar di perkotaan dengan metode transit oriented development (TOD) dengan intervensi efektif lahan, inovasi pembiayaan, dan subsidi produktif negara, yang seperti ini tentu bisa jadi solusi. Mengapa tidak disegerakan, Tuan Menteri?
Adopsi prinsip hak atas perumahan dalam kerangka hukum, bukan hanya program sosial bergaya karakatif namun menjadi ajeg dengan sistem nasional perumahan rakyat. Lawan kemiskinan spasial dengan keadilan tata ruang dan partisipasi warga dalam perencanaan kota, mengapa tidak dicoba?
Epilog
Rumah adalah pemenuhan hak, bukan program dan kebijakan sisa. Rumah 18 m2 bukan sekadar masalah optimalisasi lahan dan akrobatik arsitektur cilik. Ia adalah cermin besar dari ketimpangan ruang, kegagalan kebijakan, dan kemiskinan yang dilembagakan.
Rumah bukan soal “cukup ada saja”, tapi soal “cukup hidup layak”. Kita butuh rumah yang membebaskan manusia, bukan yang menjebaknya dalam kemiskinan spasial. Tabik.