Manufaktur Indonesia dan Sejumlah Negara ASEAN Makin Payah, Tenaga Kerja Dikurangi

Kinerja manufaktur Indonesia makin lemah pada Juni 2025. Terlihat dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia versi S&P Global Juni 2025 yang makin terkontraksi (minus) ke level 46,9 (indeks <50) dari 47,4 pada Mei 2025.
Dengan demikian selama 3 bulan beruntun sejak April 2025, PMI manufaktur Indonesia terkontraksi. PMI Mei 2025 sebenarnya membaik dibanding April yang tercatat di level 46,7. Namun Juni perbaikan itu tak berlanjut.
Penurunan PMI manufaktur Juni 2025 itu juga dialami sebagian negara ASEAN, seperti Malaysia (dari 48,8 ke 48,6), Thailand (dari 49,9 ke 49,5), Vietnam (dari 50,5 ke 45,6), dan Singapura (dari 50,6 ke 49,6). Juga menurun atau masih terkontraksi PMI sejumlah negara maju seperti Inggris, Perancis, Jerman, Taiwan, Korsel, dan China.
Manufaktur atau industri pengolahan adalah penopang utama perekonomian. Pasalnya manufaktur menciptakan lapangan kerja formal, memberikan nilai tambah tinggi terhadap perekonomian, dan menyerap banyak tenaga kerja.
Karena itu perkembangan manufaktur selalu mendapat sorotan, antara lain melalui PMI yang dilansir lembaga rating S&P Global secara berkala.
PMI adalah indikator kondisi manufaktur, yang didapat dari survei bulanan terhadap manajer pembelian (purchasing) di industri pengolahan.
PMI ekspansi (indeks >50) menunjukkan manufaktur bergairah karena permintaan meningkat, yang selanjutnya menaikkan produksi dan kebutuhan terhadap tenaga kerja.
Karena penjualan meningkat dan stok berkurang, perusahaan meningkatkan pembelian bahan baku dan lain-lain yang tercermin dari ekspansi PMI.
PMI kontraksi (indeks <50) menunjukkan sebaliknya. Manufaktur melesu karena permintaan menurun, yang selanjutnya menurunkan produksi dan kebutuhan terhadap tenaga kerja.
Karena penjualan menurun dan stok tidak berkurang, perusahaan mengurangi pembelian bahan baku dan lain-lain yang tercermin dari kontraksi PMI.
Baca juga: Penjualan Merosot, Manufaktur Indonesia Nyungsep, Kembali ke Zona Kontraksi
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai penurunan PMI Indonesia pada Juni 2025 itu karena dua faktor utama. Pertama, pada Juni pengusaha masih menunggu paket kebijakan deregulasi yang pro-bisnis. Kedua, pelemahan permintaan pasar ekspor dan domestik karena perang tarif global, serta penurunan daya beli masyarakat.
Permintaan pasar dan daya beli menurun, industri manufaktur pun mengurangi produksi dan tenaga kerja yang tercermin dari penurunan pembelian (purchasing) oleh perusahaan manufaktur. Manufaktur adalah penopang utama perekonomian. Karena itu naik turunnya menjadi fokus perhatian.
Menurut Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arief, pada Juni 2025 pelaku industri menunggu kebijakan pro industri dari pemerintah, seperti kebijakan yang melindungi pasar domestik dari gempuran produk jadi impor murah, di tengah tekanan penurunan daya beli masyarakat.
Salah satu kebijakan pro industri yang ditunggu itu adalah revisi Permendag No. 8/2024 yang telah dilakukan pemerintah melalui paket Kebijakan Deregulasi dan Kemudahan Berusaha pada 30 Juni 2025.
“Dampak positif kebijakan yang membatasi impor produk jadi itu, diperkirakan baru akan terasa sekitar dua bulan ke depan, terutama pada industri tekstil, pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi,” kata Febri melalui keterangan resmi beberapa hari lalu.
Selain itu industri manufaktur juga masih menunggu penetapan kebijakan perubahan pelabuhan masuk (entry port) untuk produk impor jadi dari negara yang mengalami oversupply.
Selama ini produk impor jadi berharga murah masuk melalui berbagai pelabuhan Indonesia. Dengan adanya pembatasan entry port, gempuran produk impor murah di pasar domestik akan berkurang yang sekaligus meningkatkan permintaan domestik produk dalam negeri.
Penandatangan kesepakatan dagang Indonesia-Uni Eropa atau IEU CEPA, juga sangat ditunggu-tunggu industri manufaktur berorientasi ekspor.
Perang dagang global memaksa industri berorientasi ekspor untuk aktif membuka pasar baru. IEU-CEPA diharapkan bisa memfasilitasi hal itu, karena sebagian produk manufaktur Indonesia bisa masuk ke Uni Eropa.
Meski perang tarif dagang global sedikit mereda, namun dampaknya masih dirasakan sampai saat ini oleh industri dalam negeri berorientasi ekspor.
Pelemahan pasar ekspor itu membuat sebagian industri dalam negeri melirik pasar domestik untuk menyerap produk mereka. Namun, karena pasar domestik sudah dibanjiri produk impor murah, harapan itu tak terpenuhi.
Apalagi, pasar dalam negeri juga menghadapi turunnya daya beli masyarakat. Masyarakat lebih memprioritaskan memenuhi kebutuhan dasar dibanding produk manufaktur sekunder atau tersier.
Bahkan, kalangan menengah ke atas juga cenderung menabung atau menginvestasikan dana mereka, guna mengantisipasi risiko ekonomi ke depan yang makin diliputi ketidakpastian.
Baca juga: Kinerja Manufaktur Indonesia Terus Menurun
Di sisi lain, belanja pemerintah terutama belanja produk-produk manufaktur baru dimulai pertengahan Juni 2025. Belanja pemerintah pada proyek infrastruktur dan kontruksi sudah mulai dirasakan dampaknya pada industri keramik, semen, kaca, besi dan baja.
Begitu juga kebijakan insentif pemerintah selama liburan sekolah yang dimulai akhir Juni 2025, plus gaji ke-13 bagi PNS, sudah mulai dirasakan dampaknya oleh industri makanan, minuman, kertas, serta tekstil dan pakaian jadi.
“Belanja pemerintah atas produk manufaktur, insentif liburan sekolah, serta gaji ke-13 dan kenaikan permintaan menjelang tahun ajaran baru, diharapkan meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli produk-produk manufaktur ke depan,” ujar Febri.
Usamah Bhatti, ekonom S&P Global Market Intelligence, menjelaskan, penurunan kinerja manufaktur Indonesia pada Juni 2025 makin dalam karena lemahnya permintaan pasar.
“Penurunan penjualan sebagian besar dari pasar domestik. Sedangkan ekspor tidak mengalami perubahan setelah dua bulan berturut-turut mengalami kontraksi,” katanya.
Penurunan penjualan itu memicu penurunan produksi dan penjualan. Juga mendorong perusahaan menjalankan strategi penghematan dengan mengurangi tenaga kerja dan aktivitas pembelian.
“Ke depan perusahaan manufaktur kurang begitu optimis terhadap perkiraan output (produksi). Bahkan kepercayaan diri (pelaku industri) turun ke posisi terendah dalam delapan bulan terakhir,” jelas Bhatti.